Privatisasi Aset Negara
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terus merugi, pemilik saham pemerintahan tertentu, aset yang disita, dijaminkan oleh perusahaan swasta. Karena pertimbangan kebijakan moneter, dilakukan privatisasi dan pelelangan secara terbuka. Pihak pembeli aset-aset eks milik negara RI, bisa jadi pengusaha asing atau WNA yang membuka bidang usaha di Indonesia. Kedaulatan pemerintah (tasarruf al-imam) seharusnya telah terkait dengan kepentingan orang banyak. Tapi tragisnya privatisasi pada obyek yang menyentuh hajat hidup rakyat seperti listrik, produksi BBM, eksplorasi tambang dan sejenisnya, justru lebih menguntungkan pihak swasta asing, sedangkan rakyat harus menerima kenaikan harga barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari. Berbagai tekanan lembaga keuangan internasional (IMF, dll) lebih diperbandingkan oleh pihak eksekutif daripada kepentingan nasional.
Pertanyaan
- Apakah kepemilikan negara terhadap badan usahanya dan berbagai kebijakan mengelolanya itu representatif mewakili kepemilikan rakyat?
- Apakah privatisasi perusahaan eks BUMN menjadi PERSERO dan sejenisnya mutlak menjadi kewenangan negara tanpa memperdulikan kepentingan rakyat setempat, dibenarkan oleh kaidah hukum Islam ?
- Bagaimana konsep mengedepankan "mashalih al-raiyah"terkait dengan aset milik negara?
Jawab
Kepemilikan negara terhadap badan usahanya termasuk mewakili rakyat?
Tidak dibenarkan karena tashorruf imam harus bermanfaat pada rakyat? Konsepnya adalah dengan sistem pemerataan jika kebutuhannya sama dan mengedepankan paling penting jika kebutuhannya tidak sama, serta mengedepankan maslahah umum daripada maslahah individu. Maslahah yang dimaksud adalah hal yang menyangkut perlindungan agama dan kehidupan manusia.
Dasar Pengambilan hukum
Adabun Nabawi Hal: 96
Fiqh al-Daulah fil Islam Hal: 35
Al-Ahkam as-Sulthoniyah al-Mawardi Hal: 31
Asybah wan Nadhoir Hal: 83
Al-Imam 'inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah Hal: 358
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi Juz 8 Hal: 638