Bahtsul Masail Diniyah


Edit

Khutbah memakai tongkat

  1. Apakah ada dalilnya, sujud syukur harus didahului sujud tilawah?
  2. Bagaimana hukumnya orang khutbah memegang tongkat dengan tangan kanan?
  3. Bagaimana hukumnya orang khutbah yang mustami’ (pendengar) tidak tahu bahasa Arab, kemudian ada yang mengatakan boleh diterjemahkan kedalam bahasa Jawa. Apakah betul?

Jawaban:

  1. Tidak ada, sebab sujud syukur itu disebabkan karena kedatangan nikmat yang tiba-tiba atau tertolaknya sesuatu bencana dan tidak boleh dilakukan pada waktu sedang salat, karena sujud syukur itu tidak termasuk rangkaian salat. Sedang sujud tilawah adalah disebabkan karena membaca ayat-ayat sajdah, baik di luar salat maupun sedang dalam keadaan salat dengan berdiri.

    Dasar pengambilan:

    1. Kitab Nihayatuz Zain halaman 81:

      (فَرْعٌ) تُسَنُّ سَجْدَةُ التِّلاَوَةِ لِمَنْ قَرَأَ آيَةَ سَجْدَةٍ قِرَاءَةً مَشْرُوعَةً مَقْصُودَةً أو سَمِعَهَا, وَيُتَأكَّدُ السُجُودُ لِلسَّامِعِ سُجُودَ القَارئِ. وَالمُرَادُ بِالمَشْرُوعِ أنْ لاَ تَكُونَ مُحَرَّمَةً وَلاَ مَكْرُوهَةً لِذَاتِهَا وَخَرَجَ غَيْرُ المَقْصُدَةِ كَقِراءَةِ النَائِمِ وَالسَّاهِى وَالسَّكْرَانِ وَالطُّيُورِ وَنَحْوِهَا, وَبِالمَشْرُوعِ غَيْرُهَا كَقِرَاءَةِ البَالِغِ المُسْلِمِ الجُنُبِ وَكَقِراءَةِ المُصَلِّى فِى غَيْرِ القِيَامِ.

      (cabang) Disunahkan sujud tilawah bagi orang yang membaca ayat sajadah dengan bacaan yang disyariatkan dan disengaja, atau bagi orang yang mendengarnya. Sujud tilawah itu disunahkan dengan sunat muakkad bagi orang yang mendengarkan ayat tersebut seperti sujud dari orang yang membacanya. Yang dimaksud dengan bacaan yang disyariatkan adalah bacaan yang tidak diharamkan dan tidak pula dimakruhkan bagi bacaan itu sendiri. Dan tidak termasuk bacaan yang tidak disengaja, seperti bacaan orang yang tidur, orang yang lupa, orang yang mabuk, burung, dan lain-lainnya. Dan tidak termasuk bacaan yang disyariatkan adalah bacaan lainnya sebagaimana bacaan orang yang sudah baligh yang muslim dalam keadaan junub, dan seperti bacaan orang yang salat dalam keadaan tidak berdiri.

    2. Kitab Fathul Wahhab juz 1 halaman 56:

      وَسَجْدَةُ الشُكْرِ لاَتَدْخُلُ صَلاَةً. وَتُسَنُّ لِهُجُومِ نِعْمَةٍ كَحُدُوثِ وَلَدٍ او مَالٍ لِلإِتِّبَاعِ. رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ. بِخِلاَفِ النِعَمِ المُسْتَمِرَّةِ كَالعَافِيَةِ وَالإِسْلاَمِ لأنَّ ذَلِكَ يُؤَدِّى إلَى إسْتِغْرَاقِ العُمْرِ, أوإنْدِفَاعِ نِقْمَةٍ كَنَجَاةٍ مِنْ هَدْمٍ او غَرْقٍ لللإِتِبَاعِ. رَوَاهُ ابن حِبَّانْ.

      Sujud syukur itu tidak masuk dalam rangkaian sesuatu salat. Sujud syukur itu disunnahkan karena kedatangan nikmat yang tiba-tiba, seperti kelahiran seorang anak atau mendapat harta, karena mengikuti sunnah. Abu Dawud telah meriwayatkan nya. Berbeda kenikmatan-kenikmatan yang terus menerus seperti kesejahteraan dan agama Islam. Karena hal itu akan mendatangkan penghabisan umur; atau karena tertolaknya bencana, seperti selamat dari kehancuran atau tenggelam, karena mengikuti sunna. Ibn Hibban telah meriwayatkannya.


  2. Hukumnya makruh.

    Dasar pengambilan:

    Kitab al Hawasyil Madaniyah Juz 2 halaman 44:

    وَأنْ يَعْتَمِدَ الخَطِيْبُ عَلَى نَحْوِ عَصَا او سَيْفٍ او قَوسٍ بِيَسَارِهِ لِلإِتِّبَاعِ, وَحِكْمَتُهُ أنَّ هَذَا الدِّيْنَ, بِالسِّلاَحِ, وَتَكُونُ يُمْنَاهُ مَشْغُولَةَ بِالمِنْبَرِ إنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ كَعَاجٍ او ذَرْكِ طَيْرٍ. فَإن لَم يَجِدْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ جَعَلَ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى تَحْتَ صَدْرِهِ.

    Dan hendaklah khotib memegang pada seumpama tongkat atau pedang atau gendewa dengan tangan kirinya karena mengikuti ulama’ salaf, hikmahnya adalah sesungguhnya agama ini telah tegak dengan bantuan senjata, dan tangan kanannya adalah disibukkan dengan mimbar jika pada mimbar tersebut tidak terdapat najis seperti gading atau kotoran burung. Jika khotib tidak mendapatkan sesuatu dari hal tersebut, maka dia menjadikan tangan kanannya diatas tangan kirinya di bawah dadanya.

  3. Menerjemahkan rukun khutbah itu hukumnya boleh.

    Dasar pengambilan:

    Kitab Al Fiqhul Manhaji juz 1 halaman 206:

    أَنْ تُتْلَى أَرْكَانُ الخُطْبَةِ بِاللُغَةِ العَرَبِيَّةِ. عَلَى الخَطِيبِ أنْ يَخْطُبَ بِاللُغَةِ العَرَبِيَّةِ وَإنْ لَم يَفْهَمْهَا الحَاضِرُونَ, فَإنْ لَمْ يَكُنْ ثَمَّةَ مَنْ لَمْ يَعْلَمُ العَربِيَّةَ وَمضَى زَمَانٌ أمْكَنَ خِلاَلَهُ تَعَلُّمُهَا أَثِمُوا جَمِيْعًا وَلاَ جُمُعَةَ لَهُمْ بَلْ يُصَلُّونَهَا ظُهْرًا. أَمَّا إذَا لَمْ تَمْضِ مُدَّةٌ يُمْكِنُ تُعُلُّم العَرَبِيَّةِ خِلاَلَهَا تَرْجَمَ أركَانَ الخُطْبَةِ بِاللُغَةِ الَّتِى شَاءَ وَصَحَّتْ بِذَلِكَ الجُمُعَةُ.

    Hendaklah rukun-rukun khutbah itu dibaca dengan bahasa Arab. Wajib bagi khotib untuk berkhutbah dengan bahasa Arab meskipun para hadirin tidak memahaminya. Jika disitu tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab, sedangkan telah lampau satu masa yang di celah waktu tersebut memungkinkan untuk mempelajari bahasa Arab, maka mereka semuanya berdosa, dan salat Jum'at tidaklah sah bagi mereka, dan mereka wajib melakukan salat dzuhur. Adapun jika tidak berlalu satu masa yang memungkinkan belajar bahasa Arab di sela-sela waktu tersebut, maka khotib menerjemahkan rukun-rukun khutbah dengan bahasa yang dia sukai dan dengan terjemah tersebut salat jumuahnya sah.