Artikel Keislaman


Edit

Wakaf, Masjid, Pondok dan Madrasah

KH. Muhibbul Aman Aly

Wakaf secara bahasa adalah mengekang. Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at.

Dasar hukum wakaf ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim:

إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رواه مسلم

“Apabila anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya”. HR.Muslim.

Para ulama menafsiri kalimat “shodaqoh jariyah” dalam hadits di atas dengan wakaf.

Rukun-rukun Wakaf

Wakaf dapat terbentuk apabila terpenuhi pilar-pilar utamanya.

  1. Wakif/orang yang wakaf. Wakif disyaratkan harus orang yang sudah baligh dan aqil. Wakaf anak yang masih belum baligh atau orang yang gila hukumnya tidak sah. Sedangkan wakaf dari orang kafir hukumnya sah.
  2. Mawquf/barang yang diwakafkan. Syarat obyek yang dapat diwakafkan harus benda yang dapat dimanfaatkan tidak dengan merusak bendanya. Maka tidak sah hukumnya wakaf lilin karena penggunaannya dengan merusak bendanya. Demikian pula tidak sah mewakafkan uang tunai, karena pemanfaatannya dengan cara dibelanjakan.
  3. Shighot/kalimat wakaf.
    Shighot wakaf harus diucapkan secara lisan, tidak cukup dengan diucapkan dalam hati saja (niyat). Sedangkan shighot wakaf dalam bentuk tulisan dianggap sah jika disertai dengan niyat saat menulis.

    Jika seseorang membuat bangunan bentuk masjid dan mempersilahkan untuk dijadikan tempat shalat, yang demikian ini masih belum dianggap wakaf sehingga bangunan tersebut statusnya masih tetap menjadi milik yang bersangkutan karena tidak terdapat kalimat sighot wakaf. Kecuali jika mempersilahkan bangunan tersebut untuk ditempati I’tikaf, maka hukumnya menjadi masjid.

    Berkata Ibnu hajar Al-haytami: Yang demikian ini dikarenakan i’tikaf tidak sah kecuali dilakukan di masjid sehingga pemberian ijin dari yang bersangkutan untuk beri’tikaf di bangunan tersebut mengisyaratkan bermaksud dijadikan sebagai masjid. Berbeda dengan hanya sekedar mempersilahkan untuk ditempati shalat saja.
  4. Mawquf ‘alaih/penerima wakaf. Ada dua macam penerima wakaf:
    1. Mawquf ‘alaih mu’ayyan. Yaitu, wakaf kepada perorangan tertentu yang disebutkan oleh wakif, baik satu orang atau lebih.
    2. Mawquf ‘alaih ghoyru mu’ayyan. Yaitu, wakaf kepada orang yang tidak ditentukan, seperti kepada golongan fakir miskin, santri pondok, kaum muslimin dan lain-lain.

Dalam wakaf kepada mawquf ‘alaih mu’ayyan, disyaratkan harus sudah wujud mawquf ‘alaihnya ketika shighot wakaf diucapkan, maka tidak sah wakaf kepada orang yang belum lahir, atau kepada masjid yang belum dibangun. Sedangkan wakaf kepada mawquf ‘alaih ghoyru mu’ayyan disyaratkan tidak untuk tujuan ma’siyat, seperti gereja dan lain-lain.

Wakaf Masjid

Ada beberapa macam shighot dalam wakaf masjid:

  • Sebidang tanah diwakafkan menjadi masjid, seperti perkataan wakif:

    “aku jadikan tempat ini sebagai masjid”.

    Dengan perkataan wakif seperti ini, menurut pendapat yang kuat hukumnya secara langsung tanah yang dimaksud menjadi masjid meskipun tidak terdapat bangunan masjid, sehingga hamparan tanah itu diberlakukan hukum masjid, seperti haram bagi yang berhadats besar berdiam di tempat itu, sah i’tikaf, sunnah shalat tahiyyatul masjid dan lain-lain.

    Dengan demikian masjid tidak harus berbentuk fisik bangunan, meskipun berupa hamparan tanah kosong, jika oleh pemiliknya dijadikan masjid dengan shighot sebagaimana diatas, maka sah hukumnya.

    Oleh karena seluruh hamparan tanah tersebut statusnya langsung berubah menjadi masjid, maka pemanfaatan tanah tersebut secara keseluhuran harus difungsikan masjid, dan tidak boleh ada bagian tanah yang difungsikan untuk selain masjid, misalnya dibangun toilet, kantor dan lain-lain.
  • Wakaf tanah agar dibangun masjid. Berbeda dengan bagian pertama, wakaf model ini, wakif tidak menjadikan tanah yang dimaksud sebagai masjid, tetapi dimaksudkan agar di atastanah itu dibangun masjid. Dengan demikian tanah yang diwakafkan tidak serta merta menjadi masjid, akan tetapi statusnya sebagai tanah wakaf yang disyaratkan oleh wakif agar dibangun masjid.

    Wakaf model ini memungkinkan pembangunan fisik masjid sesuai dengan model masjid yang berlaku saat wakaf. Artinya, hamparan tanah itu tidak harus seluruhnya dibangun fisik masjid, dan boleh dibangun beberapa fasilitas pendukung masjid menurut yang berlaku pada saat itu, seperti kamar mandi, toilet, halaman dan lain-lain.
  • Wakaf bangunan menjadi masjid. Artinya tanah dan bangunan yang sudah jadi, diwakafkan menjadi masjid, baik bangunan tersebut model masjid atau tidak. Wakaf masjid model ini menjadikan tanah dan bangunan tersebut dihukumi masjid setelah shighot wakaf diucapkan.
  • Menghimpun dana untuk pembangunan masjid di atas lahan kosong yang bukan berstatus masjid. Artinya, uang atau barang yang terkumpul dari penyumbang digunakan untuk pembangunan masjid. Wakaf masjid model ini tidak memerlukan shighot. Karena bangunan yang berdiri dari hasil sumbangan itu dengan sendirinya berlaku hukum masjid meskipun tidak terdapat shighot wakaf dari penyumbang maupun pengurus masjid, sebab setiap bahan material bangunan yang sudah terpasang dalam bangunan fisik masjid dengan sendirinya menjadi masjid.

    Adapun uang atau barang yang terkumpul dan dibelanjakan untuk pembangunan sarana penunjang masjid, seperti kamar mandi dan lain-lain, tidak dihukumi masjid, sebab pada saat penarikan sumbangan, masing-maisng penyumbang sudah dapat memahami bahwa uang atau material yang terkumpul dari para penyumbang tidak hanya dialokasikan untuk biaya pembangunan fisik masjid, tetapi juga untuk sarana penunjang lainnya.

    Dengan demikian pengurus pembangunan masjid boleh mengunakan sebagian dari sumbangan yang terkumpul untuk pembangunan sarana penunjang masjid berdasarkan kerelaan dari penyumbang yang dapat diketahui dari kebiasaan yang berlaku dalam pembangunan masjid.

Jika ada bangunan dengan model masjid, sedang kita tidak mengetahui secara pasti siapa yang membangunnya, apakah dibangun di atas tanah tak bertuan (ardlul mawat) atau tanah milik, dan apakah yang membangunya telah melafadzkan shighot wakaf atau tidak, maka diberlakukan hukum-hukum masjid atas bangunan tersebut, baik telah masyhur di kalangan masyarakat penyebutan masjid atau tidak. Demikian dikatakan oleh imam Ibnu Hajar al-Haytami.

Sementara menurut imam al-Romli disyaratkan bangunan itu telah masyhur dimasyarakat disebut masjid. Berkata Syekh ‘Ali Syibromalisi: Pendapat Ibnu Hajar yang paling mendekati kebenaran.

Kepengurusan Masjid

Dalam hukum Islam, kepemilikan atas benda yang diwakafkan kepada mawquf ghoyru mu’ayyan, seperti masjid, pondok pesantren dan semisal, sepenuhnya terlepas dari hubungan hak seseorang, dalam istilah fiqh disebut wakaf tahriri .

Berkata Syekh Ibnu Hajar Al-haytami: Menurut pendapat yang kuat, kepemilikan atas barang wakaf kepada perorangan atau bukan perorangan berpindah kepada Allah, yakni terlepas dari kepemilikan pribadi seseorang. Maka barang wakaf tidak menjadi milik wakif/orang yang mewakafkan juga tidak menjadi milik mawquf ‘alaih/penerima wakaf.

Pendapat lain mengatakan milik wakif. Ada pula yang mengatakan milik mawquf ‘alaih. Tetapi perbedaan pendapat ini berlaku pada wakaf yang dimaksudkan untuk diambil penghasilannya. Berbeda dengan wakaf yang jelas tahrir, seperti masjid dan wakaf untuk pemakamanan umum, maka para ulama’ sepakat kepemilikannya untuk Allah.

Oleh karena hak atas barang wakaf terlepas dari ikatan seseorang, maka agama memerintahkan harus ada orang yang megelola dan merawat benda wakaf. Dalam fiqh disebut nadhir.

Dalam kaitan pengelolaan masjid, kepengurusan masjid ada dua macam: nadhir dan qoyyim. Nadhir adalah orang yang bertanggung jawab atas perawatan, pemeliharaan dan pengembangan aset wakaf. Sedangkan qoyyim adalah pekerja lapangan yang bertugas membantu nadhir dalam menjaga, merawat serta memakmurkan masjid.

Penentuan orang yang bertugas sebagai nadhir dapat dilakukan melalui penunjukan langsung oleh wakif, artinya wakif mempunyai hak untuk menunjuk siapa yang akan mengurus harta yang diwakafkan. Apabila wakif tidak menunjuk seseorang yang bertugas sebagai nadhir, maka tokoh masyarakat (sulaha’ul balad) wajib menunjuk seseorang yang bertugas sebagai nadhir, jika tidak maka ia berdosa. Nadhir yang ditunjuk oleh wakif atau dibentuk oleh tokoh masyarakat dapat terdiri dari beberapa orang yang salah satunya ditunjuk sebagai ketua yang memiliki tanggung jawab penuh atas tugas-tugas nadhir.

Pejabat nadhir yang ditunjuk harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. Al-‘adalah. Yakni, dapat dipercaya dan berkelakuan baik.
  2. Al-kifayah wal ihtida’ ilat tasaharruf. Yakni, memiliki kemampuan dalam mengelola harta wakaf.

Takmir Masjid

Istilah takmir masjid sebenarnya tidak dikenal dalam fiqh. Secara bahasa takmir berarti meramaikan. Takmir masjid berarti yang meramaikan masjid. Bisa jadi istilah yang populer di Indonesia ini merujuk pada ayat Al-qur’an:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ ۖ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٟٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ ﴿١٨﴾

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.QS:Taubah 9:18.

Apabila dilihat pada fungsi dan tugas-tugas takmir masjid yang terdiri dari beberapa pengurus yang memilki tugas dan wewenang sesuai dengan jabatannya, ketakmiran masjid ini adakalanya tercakup dalam fungsi dan tugas nadhir ada pula yang tercakup dalam fungsi dan tugas qoyyim.

Tugas Nadhir Masjid

Secara umum tugas nadhir adalah bertanggung jawab atas segala hal yang menyangkut pengelolaan, pemanfaatan, perawatan dan pengembangan harta masjid. Semua kebijakan yang diambil oleh nadhir harus selalu mempertimbangkan kemaslahatan yang kembali kepada masjid. Penggunaan harta masjid harus didasarkan kepentingan masjid yang bersangkutan. Secara rinci tugas-tugas tersebut dapat dibagi sebagai berikut:

Mengelola Harta Masjid

Yang dimaksud dengan harta masjid adalah semua harta yang dimilki masjid. Harta milik masjid dapat diperoleh dari pemberian/hibah atau hasil wakaf.

Asas penglolaan harta masjid adalah kemaslahatan yang kembali kepada masjid. Artinya segala kebijakan yang diambil oleh nadhir harus selalu mengacu kepada kepentingan masjid. Penggunaan harta masjid tidak boleh didasarkan pada kepentingan pribadi atau lembaga diluar masjid yang bersangkutan. Harta masjid tidak sah dihibahkan, dipinjamkan dan dihutangkan kepada pihak manapun, karena masjid sebagai lembaga bukan tergolong ahliyatut tabarru’ (yang dapat berderma dan memberi pinjaman).

Pada umumnya pengurus masjid banyak yang kurang memperhatikan tentang pemanfaatan harta masjid. Sering dijumpai harta masjid digunakan untuk kepentingan pribadi, baik pribadi pengurus atau orang lain, seperti menggunakan inventaris masjid atau pondok untuk acara pernikahan dan lain-lain, meminjam/hutang uang masjid atau pondok. Praktek ini jelas haram hukumnya dan tergolong ghoshob, meskipun atas seizin ketua atau pengurus lainnya, baik pengurus tersebut memperoleh gaji atau tidak, sebab pemanfaatan harta masjid harus sepenuhnya untuk kepentingan masjid yang bersangkutan bukan kepentingan pengurus atau lainnya.

Nadhir masjid juga dituntut untuk sedapat mungkin mengembangkan harta masjid yang berpotensi mendatangkan keuntungan. Bahkan jika dimungkinkan, harta masjid yang tidak sedang dibutuhkan untuk keperluan masjid, dapat diperdagangkan untuk memperoleh keuntungan. Dalam usaha mengembangkan harta masjid, nadhir dituntut untuk berlaku hati-hati sebelum memutuskan. Resiko kerugian harus secara cermat diperhitungkan.

Penyaluran Harta Masjid

Harta yang dimilki oleh masjid harus disalurkan sesuai dengan keperuntukannya. Penggunaan harta masjid secara umum terbagi menjadi dua:

  1. Imaraoh. Yaitu segala kebutuhan masjid yang berkaitan dengan fisik masjid, seperti pembangunan fisik, pagar, cat dan lain-lain. Termasuk dalam kategori ini, keperluan masjid yang berkaitan dengan kebersihan masjid dan peralatannya, seperti sapu dan lain-lain, juga gaji yang diberikan untuk petugas kebersihan masjid.
  2. Masolih. Yaitu segala kebutuhan yang berkaitan dengan kepentingan masjid, baik untuk keperluan fisik masjid sebagaimana dalam bagian pertama atau keperluan-keperluan lainnya, seperti karpet, penerangan masjid, pengeras suara bahkan makanan yang disajikan untuk para jama’ah jika diperlukan untuk meramaikan masjid, dan lain-lain. Bagian ini sifatnya lebih umum dari bagian pertama.

Harta masjid yang didapat dari wakaf, harus disesuaikan dengan keperuntukan wakaf tersebut. Jika didapat dari hasil wakaf untuk pembangunan masjid (imaroh), maka hasil wakaf tersebut hanya dapat dipergunakan untuk pembangunan masjid, dan jika didapat dari hasil wakaf untuk kebutuhan masjid (masolih) atau tidak ada penjelasan secara rinci dari wakif, maka hasil wakaf dapat dipergunakan untuk semua kepetingan masjid. Demikian juga harta yang didapat dari hibah, jika penyumbang menyatakan pemberian tersebut hanya untuk pembangunan misalnya, maka sumbangan tersebut hanya dapat dipergunakan untuk hal yang berkaitan dengan pembangunan masjid, dan apabila tidak dinyatakan, maka dapat dipergunakan untuk semua kepentingan masjid.

Hukum membuat hiasan atau aksesori masjid, menjadi perdebatan para ulama’, ada yang memperbolehkan asal tidak menggunakan uang masjid ada pula yang mengharamkan. Sebagian yang lain menyatakan makruh jika dapat mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat. Menurut sebagian ulama’ madzhab Syafi’i, jika dimaksudkan untuk memperindah masjid sehinggga nampak megah dan agung, maka hukumnya adalah boleh bahkan tergolong kebaikan.

Menjaga dan Merawat Masjid

Salah satu tugas utama nadhir adalah menjaga dan merawat masjid agar tetap terawat sehingga terasa nyaman bagi pengunjung. Disamping merawat kondisi masjid, nadhir juga harus mengawasi penggunaan fungsi masjid dan segala fasilitas yang dimilikinya. Masjid dan fasilitas yang dimiliki harus terjaga dari penggunaan yang bukan semestinya.

Bangunan fisik masjid tidak boleh dirubah atau dibongkar tanpa ada sebab yang menuntutnya. Menurut para ulama’ madzhab Syafi’i, pembongkaran bangunan masjid hanya diperbolehkan karena alasan yang mendesak, seperti perluasan masjid karena sudah tidak mampu menampung jama’ah, arah kiblat masjid tidak tepat, sehingga harus dibongkar dan diluruskan tepat ke arah kiblat, atau rapuhnya bangunan yang mengharuskan dilakukan renovasi. Renovasi masjid tidak boleh dilakukan hanya karena alasan mengikuti model.

Apabila dilakukan renovasi atau perluasan masjid karena perluasan atau bangunan yang sudah rapuh, maka sisa bongkaran masjid harus disimpan jika masih dibutuhkan untuk dipergunakan kembali. Dan jika tidak dibutuhkan lagi atau tidak memungkinkan untuk disimpan, maka boleh dijual. Hasil dari penjualan sedapat mungkin dipergunakan untuk membeli barang sejenis. Menurut Syekh Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal, hasil penjualan dipergunakan untuk semua kemaslahatan masjid.

Inventaris yang dimilki masjid, seperti karpet, speker, dan lain-lain, yang dibeli dengan uang milik masjid atau hibah dari seseorang hukumnya dapat dijual apabila diperlukan. Sedangkan yang didapat dari wakaf seseorang maka tidak boleh dijual.

Penerangan masjid adalah satu fasilitas penting yang dimiliki masjid. bahkan sunnah hukumnya menyediakan fasilitas lampu dan alas lantai didalam masjid. Nadhir berkewajiban untuk memperhatikan penggunaan lampu penerangan masjid. Artinya penggunaan lampu harus disesuaikan dengan kebutuhan. Penggunaan lampu secara berlebihan hukumnya adalah haram, karena pemborosan kas masjid. Pada malam hari ketika jama’ah sudah tidak ada, seluruh penerangan masjid harus dimatikan, kecuali beberapa lampu kecil untuk penerangan bangunan masjid agar tetap terlihat megah .

Untuk menjaga keamanan masjid dan barang-barang yang dimilki masjid, nadhir dibenarkan menutup pintu masjid sebagai langkah antisipasi.

Masjid sebagai tempat beribadah harus terjaga kesuciannya. Benda najis tidak boleh ada yang masuk ke dalam masjid, jika terlihat ada najis di masjid, maka harus segera disucikan. Adapun hukum membawa sandal ke dalam masjid sebagaimana yang umum terjadi, hukumnya diperbolehkan apabila terjaga dari najis dengan cara di bungkus atau di bersihkan terlebih dahulu.

Menurut para ulama’ mengajar anak-anak kecil dimasjid hukumnya adalah diperbolehkan dengan syarat harus dapat menjaga mereka dari rama-ramai, bermain dan mengotori masjid. Demikian juga makan-makan atau membagi makanan di dalam masjid pada dasarnya adalah diperbolehkan, kecuali apabila mengakibatkan kotornya masjid.

Berkata Syekh Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal: Dan telah berlaku kebiasaan di sebagian daerah melaksanakan acara seperti khataman al-Qur’an didalam masjid, dan membagi-bagikan kopi, manisan dan sesamanya, juga terdapat anak-anak kecil, sehingga menyebabkan kotornya masjid. Yang demikian ini hukumnya adalah haram, meskipun bershodaqoh sendiri adalah bagian dari ibadah, akan tetapi apabila bersamaan dengan hal yang diharamkan maka dapat menjadi haram hukumnya. Dan jika mau menyelenggarakan acara tersebut serta membagi-bagi shodaqoh, maka harus terjaga dari hal-hal yang diharamkan dalam masjid, yakni mengotori masjid, tidak menghormati masjid dan anak kecil bermain-main di masjid. Lalu beliau berkata: Sekiranya pembagian kopi atau manisan dan sesamanya dapat mengundang kehadiran anak-anak kecil sehingga menyebabkan merusak kehormatan masjid, maka orang yang melaksanakan acara ini berdosa karena perbuatan yang menyebabkan kemaksiyatan tergolong perbuatan yang maksiyat. Dan wajib bagi yang mampu mencegahnya untuk mencegah. Apabila dengan kehadirannya menyebabkan hilang kemunkaran ini, maka harus mendatanginya atau melarangnya. Dan jika dia tidak mampu mencegahnya, maka haram untuk mendatanginya. Selanjutnya beliau berkata: Dan berdosa para orang tua yang membiarkan anaknya merusak kehormatan masjid dengan bermain, ramai-ramai seperti umumnya anak-anak zaman sekarang.

Gaji Pengurus Masjid

Menurut sebagian ulama’, pengurus masjid yang tidak mampu atau tidak bekerja karena sibuk mengurus masjid, berhak memperoleh gaji. Gaji yang berhak diterima oleh pengurus masjid tidak boleh melampaui ujroh mitsil, yakni upah yang umum berlaku pada pekerjaan yang sama. Demikian juga mereka yang mengumpulkan dana untuk masjid, berhak menerima gaji sesuai dengan ujroh mitsil. Sedangkan sistem gaji dengan pola bagi hasil sesuai dengan prosentase yang disepakati dengan petugas pencari dana sebagaimana yang biasa berlaku di masyarakat adalah tidak dibenarkan.

Pondok Pesantren Dan Madrasah

Dalam istilah Indonesia, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang menampung para santri. Umumnya para santri menetap di asrama-asrama yang disediakan oleh lembaga pondok pesantren. Sedangkan madrasah adalah lembaga pendidikan formal yang lebih mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu agama. Dengan demikian pondok atau madrasah bukan bangunan fisik asrama ataupun gedung sekolah. Pondok atau madrasah adalah sebuah lembaga pendidikan yang dalam istilah fiqh termasuk dalam kategori jihat ‘ammah (badan hukum yang membawa misi tertentu untuk kepentingan yang tidak terikat kepada perorangan). Sedangkan bangunan fisik asrama atau gedung sekolah adakalanya milik lembaga yang bersangkutan, wakaf atau bahkan milik perorangan. Oleh karena pondok dan madrasah sebagai lembaga tergolong jihat ammah, maka dalam pengelolaannya disetarakan dengan pengelolaan masjid.

Sebagai lembaga, dalam hal tasarruf, pondok dan madrasah tergolong jihat tahriri. Artinya, sebagai lembaga, ia dapat memiliki dan dapat membelanjakan kepemilikannya layaknya perorangan. Dengan demikian, pondok pesantren dan madrasah, secara hukum, sah menerima hibah, wakaf dan sah melakukan transaksi jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.

Pengurus Pondok Dan Madrasah

Oleh karena status pondok pesantren dan madrasah sebagai lembaga tergolong jihat ammah, maka dalam mengelola lembaga ini dibutuhkan seorang nadhir atau penguasa yang bertanggung jawab atas segala kepemilikan aset, perawatan dan pembelanjaannya, sebagaimana nadhir dalam kepengurusan masjid.

Persyaratan orang yang menjabat sebagai pengurus atau penguasa lembaga ini sama dengan persyaratan yang dalam nahdir masjid. demikian juga tugas dan wewenang yang dimilki oleh pengurus pondok dan madrasah sama dengan tugas dan wewenang dalam nadhir masjid.

Kewajiban Pengurus Pondok dan Madrasah

Secara umum kewajiban pengurus lembaga pondok pesantren dan madrasah, adalah bertanggung jawab dalam penggunaan dan perawatan aset yang dimilki. Penggunaan aset lembaga ini harus didasarkan kepada kemaslahatan/kepentingan lembaga yang bersangkutan. Penggunaan atas harta lembaga harus mempertimbangkan tingkat keperluannya. Yakni keperluan yang mendesak harus lebih di dahulukan dari keperluan yang tidak mendesak. Penggunaan aset lembaga tidak boleh/haram untuk kepentingan lembaga lain atau pribadi, meskipun pribadi pengurusnya sendiri.

Wilayah/wewenang pengurus atas aset yang dimiliki lembaga, setara dengan wilayah yang dimiki oleh wali anak yatim atau anak kecil. Sebagaimna wali yatim atau anak kecil tidak dapat menggunakan uang atau barang yang dimiliki oleh anak yang dalam asuhannya untuk dipinjamkan atau di hutangkan. Demikian juga pengurus pondok atau madrasah tidak dapat meminjamkan atau menghutangkan uang atau barang yang dimilki lembaga pondok atau madrasah, meskipun dengan seizin ketua, meskipun kepada pribadi pengurus sendiri.

Jenis Harta Pondok Dan Madrasah

Secara sederhana, harta pondok atau madrasah dapat dibagi sebagai berikut:

  1. Diperoleh dari wakaf. Sebagaimana penjelasan terdahulu, lembaga pondok atau madrasah dimungkinkan untuk menerima wakaf dari seseorang.

    Misalnya, wakaf bangunan, tanah, kitab-kitab, dan lain-lain. Aset yang diperoleh dari wakaf (mauquf) diberlakukan hukum-hukum wakaf, seperti tidak boleh di jual, disewakan dan di rubah. Barang yang diwakafkan kepada lembaga, menurut pendapat yang kuat tidak dimiliki oleh lembaga yang bersangkutan akan tetapi beralih kepada Allah. Meskipun demikian, manfa’at dari benda wakaf dimiliki oleh lembaga yang bersangkutan sebagai mauquf alaih sehingga hasil yang diperoleh dimilki oleh lembaga yang bersangkutan.

    Pemanfa’atan benda wakaf (mauquf) harus sesuai dengan tujuan wakif yang dinyatakan (syartul wakif), atau mengikuti kebiasaan yang berlaku pada saat wakaf ducapkan, jika wakif tidak menyatakannya.
  2. Hasil yang di dapat dari aset wakaf. Yakni, jika benda yang diwakafkan kepada lembaga memperoleh hasil, seperti lahan pertanian yang diwakafkan untuk lembaga, maka hasil yang didapat menjadi milik lembaga (mauquf ‘alaih) dan dipergunakan sesuai dengan tujuan wakif yang dinyatakan jika ada pernyataan wakif. Jika tidak ada pernyataan dari wakif, maka hasil yang didapat dapat dipergunakan untuk semua kepentingan lembaga.
  3. Diperoleh dari hibah/shodaqoh. Harta yang diperoleh dari pemberian seseorang, penggunaanya disesuaikan dengan maksud pemberi. Apabila pemberi menyatakan shodaqoh yang diberikan dipergunakan untuk suatu keperluan, seperti pembangunan, maka harus digunakan sesuai dengan maksud pemberi. Jika pembangunan telah selesai, maka sisanya harus disimpan untuk keperluan pembangunan pada masa yang akan datang. Sedangkan pemberian yang tidak ada pernyataan apapun dari pemberi, maka dapat dipergunakan untuk semua kebutuhan lembaga.
  4. Diperoleh dari hasil usaha. Artinya, jika kondisi keuangan sedang tidak dibutuhkan untuk keperluan yang mendesak, pengurus lembaga diperkenankan menggunakan harta lembaga, untuk usaha tertentu, seperti membuka toko dan lain-lain setelah memeprtimbangkan dengan matang untung ruginya. Harta yang dapat diperdagangkan adalah harta yang dimilki oleh lembaga dan tidak terikat untuk keperluan tertentu, seperti hasil yang diperoleh dari wakaf untuk pembangunan atau shodaqoh yang oleh pemberi dinyatakan untuk pembanguan, maka tidak dapat dipergunakan kecuali untuk keperluan yang sudah dinyatakan oleh wakif atau pemberi shodaqoh. Hasil yang didapat dari usaha ini menjadi milik lembaga. Demikian juga diperbolehkan bagi pengurus untuk menyewakan benda-benda yang dimilki oleh lembaga jika dianggap menguntungkan dan tidak menganggu aktivitas lembaga itu. Hasil yang didapat dari usaha prsewaan ini, menjadi milik lembaga.
  5. Diperoleh dari iuran bulanan santri atau siswa (syahriyah). Pada umumnya pondok-pondok pesantren dan madrasah di Indonesia, menetapkan iuran sejumlah uang kepada siswa atau santri. Hasil yang diperoleh dari iuran sisiwa ini menjadi milik lembaga yang dipergunakan untuk keperluan lembaga.

Gaji Pengurus dan Tenaga pengajar

Dalam istilah fiqh, gaji pengajar atau pengurus pondok atau madrasah disebut jami'iyah. Hukum memberikan gaji ini adalah diperbolehkan sebagai upah atas tenaga dan fikirannya. Gaji ini dapat diambilkan dari harta yang dimilki oleh lembaga atau wakaf yang diperuntukkan untuk gaji pengurus dan pengajar jika memang ada.

Apabila pengurus atau guru yang bersangkutan tidak melaksanakan tugasnya dalam beberapa hari tanpa ada udzur, maka hak gaji yang diperoleh menjadi gugur sesuai dengan hari tidak masuk kerja.

Sedangkan hari-hari yang pada umumya memang diliburkan, seperti bulan Ramadlan, hari raya, hari Jum’at dan lain-lain, menurut pendapat imam Romli, pengurus atau pengajar masih dapat diberi gaji pada hari-hari itu meskipun tidak melakukan tugasnya.