Nasihat Kyai


Edit

KH. A. Mustofa Bisri: Pesantren & Kyai

Pesantren kembali menjadi perhatian dan sorotan ketika ada teroris yang mengaku jebolan pesantren dan Ustadz Baasyir, salah satu pengasuh pesantren di Solo ditangkap (meski tidak pernah jelas duduk perkaranya). Sebelumnya sudah banyak pengamat dan penulis, baik dari luar maupun dalam negeri yang berusaha berbicara tentang pesantren, yaitu suatu lembaga pendidikan khas Indonesia yang dikenal sebagai tempat mencetak ahli-ahli agama (Islam). Istilahnya Tafaqquh fid diin. Umumnya para pengamat dan penulis tentang pesantren itu terlalu sederhana dalam pengamatannya dan menganggap bahwa jenis pesantren itu hanya satu. Memang secara umum, pesantren memilki tipologi yang sama. Sebuah lembaga yang dipimpin dan diasuh oleh kyai dalam satu komplek yang bercirikan adanya masjid atau surau sebagai pusat pengajaran dan asrama sebagai tempat tinggal para santri, disamping rumah tempat tinggal kyai, dengan kitab kuning sebagai buku wajib/pegangan. Disamping ciri lahiriah itu, masih ada ciri umum yang menandai karkteristik pesantren, yaitu kemandirian dan ketaatan santri kepada kyai yang sering ditanggapi sinis sebagai pengkultusan.

Kalupun ada yang lebih teliti, paling-paling hanya menyinggung adanya dua model pesantren, yakni tradisional (atau yang biasa disebut salaf) dan modern. Ini bisa dimaklumi, karena pengamatan biasanya didasarkan pada sampel ‘ayyinah’, beberapa pesantren yang ghalibnya diambil dari pesantren-pesantren yang terkenal. Padahal meski mempunyai tipologi umum yang sama, pesantren juga sangat ditentukan karakternya oleh kyai yang memimpinnya.

Memang lazimnya kyai pesantren berasal dari jebolan pesantren pula. Para kyai yang berasal dari jebolan pesantren sama, umumnya akan memilki kemiripan satu sama lain dalam memimpin pesantrennya. Namun harus diingat bahwa lazimnya para kyai tidak berguru hanya pada satu pesantren, tapi berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Bahkan sebagai contoh, almarhum Kyai Machrus Ali Lirboyo Kediri (yang sudah banyak menjelajahi banyak pesantren di Jawa) ketika putra-putranya sudah menjadi kyai, Kyai Machrus masih terus berguru ke pesantren lain meskipun hanya di bulan Ramadhan.

Kecenderungan dan pribadi kyai sendiri biasanya jarang dijadikan variabel. Padahal sebagai pendiri dan ‘pemilik’ pesantren (terutama yang salaf) dalam menentukan corak pesantrennya, yang tidak terlepas dari karakter dan kecenderungan pribadinya. Pesantren yang kyainya cenderung kepada politik, misalnya, akan berbeda dengan pesantren yang kyainya tidak suka politik. Kyai yang sufi corak pesantrennya berbeda dengan pesantren yang dipimpin oleh ‘kyai syariat’. (Kyai sufi dan Kyai syareat ini inipun masih berbeda sesuai dengan aliran-aliran masing-masing). Pesantren yang dipimpin oleh hikmah berbeda dengan pesantren yang kyainya sama sekali tidak tertarik pada ilmu hikmah. Demikian seterusnya. Maka, meskipun ciri kyai/pesantren sama-sama ingin memberi manfaat kepada umat/masyarakat, kita bisa melihat tampilan-tampilannya yang berbeda.

Ada lagi yang luput dari pengamatan ‘orang luar’ termasuk para pengamat, yaitu tentang hubungan kyai-santri. Khususnya kepatuhan santri terhadap kyai yang mereka anggap berlebih-lebihan, berbau feodal, pengkultusan, dan sebagainya. Inipun bisa dimaklumi, karena mereka hanya melihat mazhahir luar ditambah perilaku ikut-ikutan dari masyarakat yang tidak mengerti hakikat hubungan kyai-santri itu dan adanya ‘kyai-kyai’ baru yang memanfaatkan keawaman masyarakat tersebut.

Mazhahir luar itulah yang menjebak para pengamat, menganggap bahwa kepatuhan santri kepada kyai itu merupakan sesuatu yang sengaja ditekankan di pesantren. Karena hanya melihat mazhahir luar itu saja, ada pengamat yang berkesimpulan bahwa kepatuhan yang ‘berlebih-lebihan’ ini merupakan gabungan dua hal yaitu kepatuhan doktrinal dan kesadaran mitologis. Maksudnya, kepatuhan yang dibentuk oleh-peraturan-peraturan pesantren dan kesadaran yang dibentuk oleh melalui konstruk pemikiran-pemikiran dengan memupuk kepercayaan-kepercayaan magis dan kekuatan-kekuatan adikodrati.

Pengamatan sederhana atau anggapan sederahana itu merupakan gebyah uyah, generalisasi dan secara tidak lagsung mendiskretkan kyai-kyai yang mukhlis yang menganggap tabu beramal lighoirillah, beramal tidak karena Allah tapi agar dihormati orang.

Pesantren salaf (yang lama) umumnya benar-benar milik kyainya. Santri hanya datang dengan bekal untuk hidupnya sendiri di pesantren. Bahkan ada atau banyak santri yang untuk hidupnya pun nunut (ditanggung) kyainya. Boleh dikata kyai pesantren salaf seperti itu, ibaratnya mewakafkan diri dan seluruh miliknya untuk para santri. Dia memikirkan, mendidik, mengajar, dan mendoakan santri tanpa pamrih. Bukan saja saat santri itu mondok di pesantrennya, tetapi juga ketika mereka sudah terjun di masyarakat.

Almarhum ayah, Kyai Bisri Mustofa sering diundang ke luar kota dan tidak jarang panitia memaksanya untuk mengisi pengajian pada hari-hari di mana pesantrenya tidak libur. Bila harus melakukan hal yang seperti itu, beliau selalu bermunajat kepada Allah sebelum naik mimbar, ”Ya Allah, engkau tahu hamba datang kemari karena diminta saudara-saudara hamba untuk menyampaikan firman-firman-Mu dan sabda-sabda rasul-Mu, namun semantara hamba d isini, santri-santri hamba yang saya tinggal dipesantren prei, tidak hamba ajar. Oleh karena itu, Ya Allah, apabila amal hamba disini ada pahalanya, hamba mohon tidak usah Engkau berikan kepada hamba, ganti saja pahala itu dengan kefutuhnya hati santri-santri hamba tersebut.”

Almarhum Kyai Umar Mangkuyudan Sala, pernah meminta kepada lurah pondok pesantrennya untuk menuliskan dafatar santri yang ternakal agar ketika bertahajud dan mendoakan santri-santrinya, beliau bisa menngkhususkan nama-nama santri ternakal itu.

Almarhum Kyai Maksum Lasem bukan saja setiap waktu membangunkan santri-santrinya untuk sholat dan belajar, mendoakan mereka setiap berdoa. Namun kemanapun beliau pergi selalu menyempatkan berkunjung ke rumah santri beliau yang beliau lewati, sekedar untuk melihat keadaannya.

Almarhum Kyai Ali Maksum Krapyak Yogya (satu-satunya kyai yang tidak dipanggil ‘kyai’ oleh santri-santrinya, tapi dengan panggilan “Bapak/Pak”) apabila punya gawe mantu atau apa saja, selalu mengundang santri-santrinya yang sudah berumah tangga dan selalu diembel-embeli tulisan tangan beliau seperti ”Ya waladii Fulan, ojo lali lho” (Hai anakku Anu, jangan lupa lho!).

Beberapa kyai itu hanya sekedar contoh dari tradisi kyai bersama santrinya. Hampir semua kyai yang saya kenal, memiliki hubungan batin dengan santrinya sedemikian rupa, sehingga saya mengangggap wajar apabila sikap santri terhadap kyai yang seperti itu mengesankan pengkultusan. Pak Ali Maksum adalah kyai saya yang tidak digdaya, pesantrennya tidak memiliki aturan harus menghormat kyai. Beliau tidak pernah mendoktrin santri-santri dengan semacam maqolahana ‘abdu man ‘allamani walau harfan waahidan” (saya adalah budak orang yang mengajariku meski hanya satu huruf saja). Saya sering diajak diskusi, diminta membantah beliau bila dilihatnya saya tidak setuju pendapat beliau. Namun sebagai santrinya, saya menghormatinya secara khusus, tak peduli orang akan mengatakan saya mengkultuskannnya.

Wa Ba’du, pesantren yang memang merupakan sumber yang tak kering-kering untuk dibicarakan. Dewasa ini di mana pesantren lagi-lagi sedang menjadi perhatian dan sorotan, percakapan tentang pesantren jadi semakin semarak. Apabila diingat bahwa seiring banyaknya ‘jenis kyai’, pesantren pun mengalami banyak perubahan (baik yang positif maupun yang negatif) dan semakin banyak jenisnya. Ini tentunya memberi pengaruh yang tidak kecil kepada masyarakat yang selama ini menjadikannya kiblat. Seharusnya ini menjadikan kyai ‘model lama’, terutama kyai-kyai pengasuh pesantren, lebih serius memikirkan dan memperhatikan atbaa’-nya para santri dan umatnya.

Kyai dan Politk

Kalau tokoh politik atau pemimpin partai (apapun partainya) gegeran, mungkin orang akan menganggapnya wajar. Justru jika tidak ada gegeran di kalangan tokoh-tokoh partai, barangkali orang malah bertanya-tanya, “Ada apa ini, kok pertemuan tokoh-tokoh politik tidak ada gegerannya?” tapi jika kyai-kyai ikut terlibat dalam gegerannya orang-orang politik bisa dipastikan akan banyak orang yang mempertanyakan, “Ngapain kyai-kyai itu kok ikut-ikut berpolitik?”

Kyai memang unik. Dia memimpin umat (‘umat’ dalam tulisan ini, umumnya saya maksudkan untuk menunjuk mereka yang menganggap kyai sebagai imam, guru, atau panutan; mereka umunya terdiri dari santri-santri dan masyarakat santri), tetapi sekaligus juga diatur umat. Biasanya dalilnya kyai untuk mengikuti ‘aturan umat’ ialah, “Sayyidulqoumi khaadimuhum” (Pemimpin kaum adalah pelayan mereka). Repotnya umat itu sangat beragam. Jika saja ‘jenis’-nya bermacam-macam, apalagi umat. Ada umat yang suka mengatur, kyai tidak boleh begini, kyai tidak boleh begitu. Ada juga yang agak lunak, kyai tidak boleh begitu asal begini.

Bekerja pun kyai diatur oleh umat. Misalnya kyai tidak boleh jualan ayam di pasar. Bahkan ada yang melarang berdagang dalam bentuk apapun. Ada yang membatasi kegiatan kyai hanya boleh mengajar santri-santrinya. Kumpulan pun demikian, ada yang ‘melarang’ kyai bergaul dengan masyarakat tertentu. (saya yang padahal baru gus, belum kyai-pernah diundang ke lokasi PSK; ada saja yang melarang saya datang, dan marah ketika saya tidak menghiraukan larangan mereka). Ingat dulu banyak kyai yang ‘dihukum’ umatnya, hanya gara-gara berdoa dalam acara kampanye Golkar.

Nah ketika tingkah laku para politisi dan pemimpin-pemimpin partai seperti yang sudah sama-sama kita saksikan, maka banyak umat yang melarang atau minimal tidak men-seyogyakan kyai berpolitik, bahkan sekedar terlibat dalam percaturan politik.

Yang berangkali dilupakan banyak orang ialah kyai itu seperti pernah saya tulis di surat kabar ini, jenisnya banyak sekali. Kyai yang murni itu pertama-tama mestilah mempunyai komitmen ri’ayatul ummah (mengayomi), dan berkhidmat kepada umat. Di sinilah kita harus cermat dan tidak boleh menyamaratakan, melakukan generalisasi, gebyah uyah. Bahwa ada atau mungkin banyak kyai yang mempunyai kecenderungan berpolitik praktis itu sudah jelas. Namun pasti banyak pula kyai yang merasa harus terlibat dalam urusan politik, bukan karena kecenderungan berpolitik, namun semata-mata karena ingin membela umatnya yang berada dalam wadah politik.

Ambil contoh kyai-kyai yang dimasyhurkan pers sebagai kelompok kyai Langitan dalam kasus gegeran PKB. Muncul atau dikenalnya kelompok ini, dimulai sejak pertemuan kyai-kyai di pesantren Kyai Abdullah Faqih Langitan sehubungan dengan desakan tokoh-tokoh politik yang dikepalai Amien Rais untuk mencalonkan Gus Dur sebagai presiden alternatif. Meskipun dalam pertemuan itu dan beberapa kali sejak itu, mayoritas kyai tidak setuju gagasan Amien Rais cs itu, namun sejak itu, kelompok kyai-kyai yang berkumpul di Langitan dianggap sebagai kelompok pendukung Gus Dur.

Baik ketika membicarakan Gus Dur sebagai yang dicalonkan presiden, maupun sekarang dalam urusan PKB. Termasuk saat pendirian PKB itu sendiri, yang awalnya di dalam benak kyai itu adalah mashaalihul ummah (kepentingan umat). Komitmen keumatan ini yang implementasinya berbeda-beda. Ada kyai yang sejak awal ingin mengawal kepentingan umat yang berada dalam partai (termasuk dan khususnya PKB) dengan lebih dekat dan melibatkan diri langsung dalam struktur kepengurusan partai. Ada yang bertindak sebagai semacam pengontrol dari luar, agar partai yang dipilih umatnya tidak melenceng dari tujuan pertamanya demi kemaslahatan umat.

Yang barangkali masih perlu untuk dipelajari oleh para kyai itu adalah bagaimana Mu’asyaroh, bergaul dengan para politisi Indonesia yang kelihatannya sampai detik ini baru mampu melakukan perpokilan atau intrik-intrik ke dalam dan masih berpikir dalam kerangka cupet untuk kelompok sendiri. Sehingga tidak bisa dihindari munculnya pandanngan atas kiprah kyai dalam gegeran PKB, dimaknai sebagai dukungan salah satu kubu (yang sedang berseteru). Lebih dari itu sebenarnya, minimal untuk kalangan ‘politisi santri’ para kyai diharapkan dapat membimbing kepada sikap dan prilaku politik yang lebih berorientasi keumatan dan kebangsaan sebagaimana komitmen para kyai itu sendiri. Sehingga mereka tidak terus menerus hanya menjadi politikus sebagaimana politikus yang lain. Tetapi kiranya dapat meningkat menjadi negarawan-negarawan yang bermanfaat bagi umat atau bangsa secara keseluruhan.

Wawancara Imajiner Dengan Hadlaratussyeikh (KH. Hasyim Asy'ari)

Ketika Gus Dur menulis wawancara imajiner tentang DR. Nurcholis Madjid di majalah Editor, dia memulai dengan ungkapan guyon cerdasnya: “Kalau dulu Cristianto Wibisono mewancarai Bung Karno secara imajiner, tidak berarti hak melakukan wawancara jenis itu menjadi monopolinya. Seandainya ia bisa menunjukkan hak paten tertulis sekalipun, baik dari lembaga domestik maupun internasional, saya tetap saja dapat melakukan wawancara imajiner tentang DR. Nurcholis Madjid. Sebabnya karena Cristianto menjadikan tokoh yang diwawancarai itu sumber berita. Sedang saya justru mencari sumber itu di luar si tokoh.”

Ungkapan yang sama bisa saya kemukakan sekarang ini untuk mengawali tulisan latah saya ini.

Seandainya Cristianto maupun Gus Dur bisa menunjukkan hak paten tertulis sekalipun, baik dari lembaga domestik ataupun internasional, saya tetap saja dapat melakukan wawancara dengan Hadratussyeikh. Sebabnya? karena Cristianto menjadikan tokoh yang diwawancarai sebagai sumber berita dan Gus Dur mencari berita dari luar tokoh. Sedang saya hanya sekedar ingin “berkangen-kangenan” secara imajiner dengan tokoh saya.

Ungkapan saya berkangen-kangenan mungkin kurang tepat, meskipun sekedar imajiner, karenanya saya beri tanda kutip. Soalnya yang kangen hanya saya dan saya tidak menangi (pernah bertemu--Jw.) tokoh yang saya kangeni itu.

Dari apa yang saya dengar tentang Hadratussyeikh dan rekaman-rekaman buah pikiran beliau yang berhasil saya kumpulkan sampai saat ini, saya memperoleh gambaran yang demikian jelas mengenai bapak NU ini sehingga seolah-olah saya menangi beiau.

Dan ketika saya, baru-baru ini dihadiahi Kyai Muchit Muzadi kopi kitab susunan Sayyid Muhammad Asad Syihab (cetakan Bairut) berjudul “Al ‘Allamah Muhammada Hasyim Asy’ari Waadli’u Labinati Istiqlaalli Indonesia” (Maha Kyai Muhammad Hasyim Asy’ari peletak batu pertama kemerdekaan Indonesia) dan dua khutbah Hadratussyeikh, kangen saya pun menjadi-jadi. Keiginan untuk melakukan wawancara imajiner dengan beliau pun tidak bisa saya empet (tahan--Jw).

Tiba-tiba saya sudah berada dalam majlis yang luar biasa itu. Suatu Halaqoh raksasa yang menebarkan wibawa bukan main mendebarkan. Kalau saja tidak karena senyum-senyum lembut yang memancar dari wajah-wajah jernih sekalian yang hadir, niscaya tak akan tahan saya duduk di majelis ini.

Mereka yang duduk berhalaqoh dengan anggun d isekeliling saya tampak bagaikan sekelompok gunung yang memberikan rasa teduh dan damai. Sehingga rasa ngeri dan gelisah saya berkurang karenanya.

Begitu banyak wajah ratusan atau bahkan ribuan memancarkan cahaya, menyinari majelis, ada yang sudah saya kenal secara langsung atau melalui foto dan cerita-cerita, ada yang sebelumnya hanya saya kenal namanya, dan masih banyak lagi yang namanya pun tidak saya ketahui. Itu tentu kyai Abdul Wahab Hasbullah! Wajahnya yang kecil masih tetap berseri-seri menyembunyikan kekuatan yang tak terhingga.

Duduk disampingnya Kyai Bishri Syansuri, Kyai Raden Asnawi Kudus, Kyai Nawawi Pasuruan, Kyai Ridwan Semarang, Kyai Maksum Lasem, Kyai Nahrowi Malang, Kyai Ndoro Munthah Bangkalan, Kyai Abdul Hamid Faqih Gresik, Kyai Abdul Halim Cirebon, Kyai Ridwan Abdullah, Kyai Mas Alwi, dan Kyai Abdullah Ubaid dari Surabaya. Yang pakai torpus tinggi itu tentu Syeikh Ahmad Ghanaim Al-Misri dan yang di sampingnya itu Syeikh Abdul ‘Alim Ash-Shiddiqi.

Oh, itu Kyai Saleh Darat, Kyai Subeki Parakan, Kyai Abbas Buntet, Kyai Ma’ruf Kediri, Kyai Baidlowi lasem, Kyai Dalhar Magelang, Kyai Amir Pekalonngan, Kyai Mandur Temanggung!

Yang asyik berbisik-bisik itu pastilah Kyai Abdul Wahid Hasyim dan Kyai Mahfud Shiddiq, Kyai Dahlan dan Kyai Ilyas.

Saya melihat juga Kyai Sulaiman Kurdi Kalimantan, Sayyid Abdullah Gathmyr Palembang, Sayyid Ahmad Al-Habsyi Bogor, Kyai Djunaidi dan Kyai Marzuki Jakarta, Kyai Raden Adnan dan Kyai Masyud Sala, Kyai Mustain Tuban, Kyai Hambali dan Kyai Abdul Jalil Kudus, Kyai Yasin Banten, Kyai Manab Kediri, Kyai Munawir Jogja, Kyai Dimyati Termas, Kyai Cholil Lasem, Kyai Cholil Rembang, Kayi Saleh Tayu, Kyai Machfud Sedan, Kyai Zuhdi Pekalongan, Kyai Maksum Seblak, Kyai Abu Bakar Palembang, Kyai Dimyati Pemalang, Kyai Faqihuddin Sekar Putih, Kyai Abdul Latif Cibeber, Haji Hasan Gipo,Haji Mochtar Banyumas, Kyai Said dan Kyai Anwar Surabaya, Kyai Muhammadun Pondohan, Kyai Sirajd Payaman, Kyai Chudlori Tegalrejo, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Kyai Badruddin Honggowongso Salatiga, Kyai Machrus Ali Lirboyo, kyai, kyai …

Di tengah-tenah lautan kyai dan tokoh NU itu, Hadlratussyeikh bersila dengan agung, dengan wajah sareh yang senantiasa tersenyum.

Namun, betapapun jernih wajah-wajah mereka, saya masih melihat sebersit keprihatinan yang getir. Karenanya pertanyaan pertama yang saya ajukan setelah berhasil mengalahkan rasa rendah diri yang luar biasa adalah, “Hadratussyeikh saya melihat Hadratusyeikh dan sekalian masyayikh yang berada di sini begitu murung. Bahkan di kedua mata Hadratussyekh yang teduh, saya melihat air mata yang menggenang. Apakah dalam keadaan yang damai dan bahagia begini, masih ada sesuatu yang membuat Hadatussyeikh dan sekian masyayikh berprihatin? Apakah gerangan yang diprihatinkan?

Hampir serentak, Hadratussyeikh dan sekian masyayikh tersenyum. Senyum yang sulit saya ketahui maknanya. Tampaknya Kyai Abdul Wahab Hasbullah sudah akan menjawab pertanyaan saya, tapi buru-buru Hadratussyeikh memberi isyarat dengan lembut. Ditatapnya saya dengan senyum yang masih tersungging, seolah-olah beliau hendak membantu mengikis kegelisahan saya akibat wibawa yang mengepung dari segala jurusan. Beru kemudian beliau berkata dengan suara lunak namun jelas.

"Cucuku, kau benar. Kami semua disini, alhamdulillah hidup dalam keadan damai dan bahagia. Seperti yang kau lihat, kami tidak kurang suatu apa. Kalau ada yang memprihatinkan kami, itu justru keadaan kalian. Kami selalu mengikuti terus apa yang kamu lakukan dengan dan dalam jam'iyyah yang dulu kami dirikan. Kami sebenarnya berharap, setelah kami, jam'iyyah ini akan semakin kompak dan kokoh. Akan semakin berkembang. Semakin bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Semakin mendekati cita-citanya. Untuk itu kami telah meninggali bekal yang cukup. Ilmu yang lumayan, garis yang jelas, dan tuntunan yang gamblang."

“Jam'iyyah dulu kami dirikan untuk mempersatukan ulama’ Ahlussunnah Wal Jama’ah dan pengikutnya, tidak saja dalam rangka memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengajarkan ajaran Islam Ahlus sunnah wal Jma’ah, tetapi juga bagi khidmah kepada bangsa, negara, dan umat manusia.”

“Sebenarnya kami sudah bersyukur bahwa khittah kami telah berhasil dirumuskan dengan jelas dan rinci; sehingga generasi yang datang belakangan tidak kehilangan jejak para pendahulunya. Sehingga langkah-langkah perjuangan semakin mantap. Tapi kenapa rumusan itu tidak dipelajari dan dihayati secara cermat untuk diamalkan? Kenapa kemudian malah banyak warga jam'iyyah yang kaget, bahkan seperti lepas kendali? Satu dengan yang lain saing bertengkar dan saling mencerca. Tidak cukup sekedar berbeda pendapat (ikhtilaf), saling ungkur-ngkuran (tadaabur), bahkan saling memutuskan hubungan (taqaathu’). Padahal mereka, satu dengan yang lain bersaudara. Sebangsa. Setanah air. Se-agama. Se-ahlisunah wal jama’ah. Se-jam'iyyah.”

“Laa haula wala quwwata illa billah …”, gumam semua yang hadirin serempak, membuat tunduk saya semakin dalam. Saya merasakan berpasang-pasang mata menghujam ke diri saya bagai pisau-pisau yang panas. Sementara Hadratussyeikh melanjutkan masih dengan nada yang sareh, penuh kebapakan.

"Yang sedang bertikai itu sebenarnya masing-masing sedang membela kemuliaan apa? Mampertahankan prinsip Islam apa? Sehingga begitu ringan mengorbankan prinsip persaudaraan yang agung?”

Sejak awal saya kan sudah memperingatkan, baik dalam muqoddimah Al-Qonuun Al-Asasi maupun di banyak kesempatan yang lain, akan bahayanya perpecahan dan pentingnya menjaga persatuan. Dengan perpecahan tak ada sesuatu yang bisa dilakukan dengan baik. Sebaliknya dengan persatuan, tantangan yang bagaimanapun beratnya Insya Allah akan dapat diatasi.”

“Perbedaan pendapat mungkin dapat meluaskan wawasan, tetapi tabaahguudl, tahaaasud, tadaabur, dan taqoothu’ apapun alasannya hanya membuahkan kerugian yang besar dan dilarang oleh agama kita.”

“Kalau di dalam organisasi, tabaahguudl, tahaaasud, tadaabur, dan taqoothu’ itu merupakan malapetaka. Maka apapula itu namanya jika terjadi dalam tubuh organisasi ulama’ dan para pengikutnya?”

Hadratussyekh menari nafas panjang, diikuti serentak oleh ribuan gunung kyai. Suatu tarikan nafas yang disusul gemuruh dzikir dalam nada keluhan, "Laa haula walaa quwwata illa billah …"

Saya sedang menggumpulkan kebenaran untuk mengatakan kepada Hadratussyeikh bahwa warga jam'iyyah baik-baik saja kalaupun ada sedikit ketegangan itu wajar, kini sudah membaik tak perlu ada yang perlu diprihatinkan. Ketika beliau berkata, “Engkau tidak perlu menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Kami tahu semuanya. Mungkin keadaan yang sebenarnya tidak separah yang tampak oleh Kami. Namun yang tampak itu sudah membuat kami prihatin. Kami ingin khidmah dan yang dilakukan oleh jam'iyyah ini sebanding dengan kebesarannya.”

“Lalu apa nasehat Hadratussyeikh?” pertanyaan ini meluncur begitu saja tanpa saya sadari.

“Nasehatku, lebih mendekatlah kepada Allah. Bacalah lagi lebih cermat muqoddimah Al-Qonuun Al-Asasi dan khittah jam'iyyah. Pahami dan hayati maknanya, lalu amalkan! Waspadalah terhadap provokasi kepentingan sesaat! Itu saja.”

Mendengar nasehat singkat itu, tanpa saya sadari, saya melayangkan ke wajah-wajah jernih berwibawa di sekeliling saya. Semuanya mengangguk lembut seolah-olah meyakinkan saya bahwa nasehat Hadaratussyeikh itu tidaklah sesederhana yang saya duga.

“Dan belajarlah berbeda pendapat!” seru sebuah suara yang ternyata adalah suara Kyai Abdul Wahid Hasyim. “Berbeda pendapat dengan saudara adalah wajar. Yang tidak wajar dan sangat kekanak-kanakan adalah jika perbedaan pendapat menyebabkan permusuhan di antara sesama saudara.”

Sekali lagi semuanya mengangguk-angguk lembut.

Saya tidak bisa dan tidak ingin lagi meneruskan wawancara. Saya hanya menunggu. Ingin lebih banyak lagi nasehat. Tapi yang saya dengar kemuadian adalah ayat Al-Qur’an yang dibaca dengan khusyu’ oleh--masya Allah--Kyai Abdul Wahab Hasbullah.

“Washbir nafsaka ma’alladziina yad’uuna Robbahum bil ghodaati wal ‘asyiyi yuriiduuna wajhahu walaa ta’du ‘ainaka ‘anhum turiidu ziinatal hayaatid-dunya wala tuthi’ man aghfalnaa qolbahu ‘an dzikriNaa wattaba’a hawaahu wakaana amruhu furuuthaa.”

Dan bersabarlah kamu be rsama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari mengharapkan keridloan-Nya dan jangan palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharap gemerlap kehidupan dunia ini dan jangan ikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya serta adalah keadannya melampaui batas.

Dan dengan berakhirnya bascaan ayat 28 Al-Kahfi itu, saya tak mendengar lagi kecuali dzikir dan dzikir yang gemuruhya serasa hendak mengoyak langit.



Dikelola oleh Nun Media