Kolom Gus


Edit

Pesantren kuno

Beberapa santri terlihat asyik berdiskusi tentang pendidikan pesantren.

"Kalau dipikir-pikir, kita ini di pesantren kan ndak ada bedanya dengan anak sekolahan. Wong meski sekolah kita hanya melulu bergelut dengan kitab kuning, tapi rasanya ndak ada bedanya kan? Lha, terus kelebihan kita ini apa?"

Yang lain menanggapi, "Lho, kamu ini gimana? Jelas ada bedanya. Coba bayangkan, gubuk kita yang reot ini, dulu pernah ditawar oleh seorang pengusaha untuk dibongkar dan dibangun yang lebih permanen. Tapi kyai kita menolak dengan alasan ndak mau memutus amal jariyah orang terdahulu yang telah membangun gubuk ini. Disamping itu beliau mengatakan bahwa keikhlasan orang zaman dahulu dengan orang sekarang sudah beda. Sekarang, kita akan sulit menemukan orang yang mengais rezeki dengan mengandalkan kejujuran. Bahkan ketika bersedekah pun tak jarang kita menyaksikan bahwa mereka tidak mampu mengesampingkan pamrih sekecil apapun. Padahal kalau beliau mengiyakan, gubuk-gubuk ini sudah mentereng dan ber-AC semua."

Bagi masyarakat pesantren, pendidikan tidak hanya sekedar transfer ilmu dari guru kepada murid. Tetapi seorang guru di lingkungan pesantren harus mampu menjadi uswah hasanah bagi muridnya. Bukan sekedar mengajarkan ilmu tapi juga mendoakan muridnya. Pekerjaan guru--umumnya di Indonesia--bukanlah profesi yang dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan.

Dalam khazanah pesantren, term 'seseorang mengajar' lebih bernuansa pada menjalankan amanat sebagai seorang yang berilmu. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw,

اشد الناس عذابا يوم القيامة عالم لا ينفعه الله بعلمه

Orang yang paling menyakitkan adzabnya di akhirat kelak adalah seorang 'alim (berilmu) yang Allah tidak memberikan manfaat dengan ilmunya.

Termasuk ketiadaan manfaat adalah apabila ilmu tidak ditularkan kepada yang membutuhkan. Dengan demikian seorang murid bukan hanya harus berterima kasih pada guru telah dicerdaskan. Tetapi seorang guru juga semestinya berterima kasih pada murid berkat pengajaran ilmu.

Sehingga muncul interaksi ruhaniyah antara guru dan murid melalui upaya saling mendoakan sebagai wujud ucapan terima kasih. Ciri khas inilah yang sulit kita temui di lembaga pendidikan non-pesantren.

Bahkan saking besarnya motivasi keikhlasan dalam interaksi keilmuan ini, pak kyai tidak mau menggunakan kitab-kitab modern yang dikarang dengan tujuan komersil, yang tidak didasari keikhlasan lillah dan semata-mata nashru al ilm. Lebih dari itu, pak kyai juga menolak sumbangan dari pemerintah karena ketidakjelasan sumber dananya, yang bisa jadi berasal dari pajak prostitusi, miras, dan hal lain yang dilarang agama.

Namun, tidak semua pesantren menerapkan hal tersebut di atas. Tidak sedikit kyai yang rajin berkunjung kepada penguasa untuk mencari dana, agar dapat membangun pondoknya semegah hotel. Tak ada lagi kepedulian mengenai kitab yang digunakan dalam pengajaran karena yang penting santrinya cerdas dan paham dengan cepat, timpal peserta lainnya.

Itulah sekilas wacana pesantren salaf atau kuno yang saat ini semakin jarang ditemui. Karena kebanyakan pesantren hanya sekedar menggunakan embel-embel
"salafiyah". Maka tidak heran jika sekarang banyak terjadi peristiwa di mana guru ngaji melakukan perbuatan amoral di masyarakat atau bahkan mempermalukan lembaga pesantren demi nafsu shahwat. Wal iyadzu billah.

Ala kulli hal. Sekarang terserah pada kita sebagai santri mau mencontoh siapa. Apakah memilih model pesantren salaf yang mengedepankan moral dan lillah? Ataukah seperti pesantren kebanyakan yang banyak mengadopsi sistem pengajaran yang kurang Islami.

Penulis:
Achmad ibn Masduqie