Kolom Gus


Edit

Ijtihad Umar ra. Tidak Keluar dari Bingkai Al Quran dan Hadits

Indeks

  1. Latar belakang
  2. Konfirmasi Al Quran atas Pemikiran Umar
  3. Beberapa Produk Ijtihad Umar
  4. Ulasan dan analisa atas ijtihad Umar
  5. Penutup

Latar belakang

Umar Ibn Khattab adalah salah seorang tokoh besar dalam khasanah sejarah Islam. Khalifah kedua ini masuk Islam pada tahun keenam dari kenabian ketika berumur 27 tahun.1 Kepakaran Umar tidak saja diakui di kalangan orang-orang muslim saja bahkan para pakar non muslim juga mengakuinya. Sebagaimana diungkapkan oleh H.A.R. Gibbs dan J.H. Kramers dalam Shorter Encyclopedia of Islam yang menyatakan bahwa Umar adalah salah seorang tokoh terbesar pada permulaan Islam dan bisa dikatakan sebagai pendiri imperium Islam. Ia adalah profil seorang pemimpin yang sukses, mujtahid yang ulung dan dikenal dengan sikapnya yang tegas dalam menegakkan keadilan.2

Pokok-pokok pikiran maupun metodologi cara berfikirnya dalam berijtihad banyak diadopsi oleh pemikir-pemikir Islam modern untuk menemukan produk hukum yang baru yang dinilai sesuai dengan perkembangan zaman.

Dalam berbagai kesempatan Umar tercatat sering diajak berunding oleh Rasulullah, terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan kemasyarakatan. Tidak jarang apa yang disarankan Umar disetujui oleh Rasulullah, bahkan lebih jauh ada pula pendapatnya yang mendapat konfirmasi dari Al Quran.3

Pada masa Umar menjabat sebagai khalifah kedua, wilayah kekuasaan Islam telah sedemikian luasnya hingga ke daerah Mesir. Dalam wilayah yang sedemikian luas itu, persoalan-persoalan baru dalam masyarakat menjadi bertambah kompleks. Berbagai pertimbangan terhadap situasi konkrit dan realitas umat nampaknya ikut mempengaruhi Umar dalam mengurus masyarakat dan menafsirkan kembali aturan-aturan yang sudah berlaku sebelumnya. Atas dasar pemahaman itu, dalam beberapa kasus Umar mengadakan perputaran hukum dan melakukan penyesuaian sesuai dengan kasus dan dasar perilaku orang yang berperkara.

Dari sejarah Umar dan ijtihad-ijtihad yang dikemukakan, penulis menilai ada beberapa hal yang terasa terlalu jauh kiasan dari pokok-pokok pikiran Umar yang diambil oleh pemikir-pemikir modern dalam usahanya menemukan produk hukum baru yang peka perubahan sosial dan zaman.

Untuk itu tulisan ini berusaha sedikit menguak apa yang telah menjadi ijtihad Umar dalam timbangan para ulama dan sedikit mengenai tinjauan usul fiqhnya.

Mungkin tulisan ini terlalu banyak menyimpan ketimpangan-ketimpangan dan subyektifitas pemahaman penulis, namun setidaknya tulisan ini juga merupakan sedikit upaya pemahaman kembali pemikiran salah seorang yang menjadi ujung tombak ijtihad dalam khasanah sejarah Islam.

Konfirmasi Al Quran atas Pemikiran Umar

Setidaknya ada 14 masalah terkait dengan Umar yang mendapat konfirmasi dari Al Quran, yang sempat dikutip oleh Ruwai'i dari pernyataan Jalaluddin al Suyuti dalam bukunya al Itqaan fi Ulum al Quran.4

Beberapa diantara 14 masalah itu adalah:

  • Usulan Umar agar Maqam Ibrahim dijadikan tempat bersembahyang, yang kemudian turun ayat "wattakhodzu min maqoomi ibrohiima musholla"
  • Usulan Umar kepada Nabi agar Muslimah berhijab ketika berhadapan dengan orang laki-laki, kemudian turun ayat "Wa idza saaltumuhunna mataan fasaaltumuhunna min waro'i hijaab."
  • Usulan Umar agar tawanan perang badar dibunuh dan tidak diambil tebusannya. Perihal hal ini Allah memberikan legitimasi atas usulannya, sebagaimana tertuang dalam surat al Baqarah 97.
  • Permohonan penjelasan dari Umar atas keharaman arak yang kemudian dijawab oleh Allah dalam surat al Maidah ayat 90.

Dari beberapa contoh diatas, dapatlah disimpulkan bahwa Umar terbukti mendapat kehormatan sebagai sahabat Nabi yang sering mendapat konfirmasi dari al Quran. Bagi Umari, seperti kita ketahui, keberadaan al Quran sebagai wahyu Allah adalah penentu terakhir bagi setiap keputusan yang diambilnya. Umar tidak segan segan mendiskusikan tindakan Rasulullah sejauh tidak sesuai dengan pertimbangan logikanya, kalau hal itu dilakukan Rasulullah bukan berdasarkan wahyu.

Dari pemikiran ini, maka tidaklah berlebihan, kalau Nabi Muhammad memberi rekomendasi atas Umar sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: Inna Allaha ja'ala al haqqa ‘ala lisani Umar wa qalbihi, "Bahwa sesungguhnya Alllah telah menempatkan kebenaran melalui lidah dan hati Umar".

Beberapa Produk Ijtihad Umar

Had Pencuri

Diriwayatkan oleh Imam Malik, "Sesungguhnya Ubaidillah bin Amr bin al Hadrami datang membawa seorang budak kepada Umar bin Khottob dan berkata, "Potonglah tangan budakku ini karena dia telah mencuri!" Umar bertanya, "Apakah yang dicurinya?" Ubaid menjawab, "Dia telah mencuri cermin istriku seharga 60 dirham." Kemudian Umar berkata: "Pergilah! tidak ada potong tangan baginya. Budakmu mengambil hartamu."5

Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dari al Qosim bin Abdir Rohman, "Sesungguhnya seorang laki-laki mencuri dari Baitul Maal. Kemudian Saad ibn Abi Waqqosh melaporkannya kepada Umar. Umar menyatakan kepada Saad agar tidak memotong tangannya karena bagi pencuri itu ada bagian dari harta Baitul Maal itu."6

Had Orang yang meminum Khamr

Diriwayatkan Abdur Rozaq, "Sesungguhnya Umar mendera dengan 40 kali. Ketika dia tidak melihat hal itu dapat mencegahnya, dia menambahkannya dengan 60 kali. Dan ketika dia tidak melihat hukuman itu dapat mencegahnya, dia menambahkan dengan 80 kali. Umar kemudian berkomentar, "Inilah hukuman yang paling ringan!"7

Kasus Muallaf.

Umar mengabaikan pembagian zakat kepada muallaf qulubuhum.8

Kasus Rampasan Perang.

Umar tidak memberikan harta rampasan perang kepada prajurit yang berperang.

Tidak diragukan lagi integritas Umar sebagai salah seorang intelektual muslim, karena Nabi sendiri telah mengakui akan hal itu. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Al Asir, "Lau kana ba'di nabiyun lakana Umar Ibn al Khottob."9 Hanya saja kalau apa yang menjadi pokok pikiran Umar sebagaimana yang dipaparkan diatas, diperdebatkan kembali, bukan berarti sebuah pengingkaran atas kemampuan intelektualnya.

Berikut ini sedikit ulasan dan pendapat ulama tentang beberapa ijtihad Umar sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. Namun begitu ada baiknya kita ungkapkan terlebih dahulu beberapa kode etik ijtihad kontemporer menurut Yusuf Qordhowi yaitu sebagai berikut:10

  • Tidak ada ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan. Dalam artian ada usaha mencurahkan segenap usaha dan kemampuan dalam mengikuti dalil-dalil dan meneliti dalil dzann.
  • Tidak ada ijtihad dalam masalah yang Qot'i. Hal ini untuk menghindarkan seseorang agar jangan sampai terjebak oleh arus orang yang berusaha mempermainkan agama, yaitu yang berusaha mengubah nash yang jelas pada nash yang belum jelas. Mengubah hukum qot'i menjadi dzanni
  • Tidak boleh menjadikan dzanni menjadi qot'i. Kita harus tetap menjaga urutan tingkat hukum sebagaimana yang ada.
  • Menghubungkan fiqh dan hadis. Perlunya mengkonsentrasikan perhatian untuk melihat dan menganalisa illat hukum, kaidah syariah dan tujuannya.
  • Waspada agar tidak tergelincir oleh tekanan realita. Bahwa sebuah ijtihad tidak ditujukan sebagai legitimasi atas realita yang ada.
  • Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat
  • Tidak mengabaikan semangat zaman dan kebutuhannya
  • Transformasi menuju ijtihad kolektif

Ulasan dan analisa atas ijtihad Umar

Hukuman atas pencuri

Ayat yang menjadi dasar hukum atas hukuman bagi seorang pencuri adalah:11

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Imam Malik dan Syafi'i memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Umar adalah sebuah tahsis atas ayat al Qur'an yang masih muthlaq12 yang terdapat dalam lafadz sariq dan sariqah yaitu hukum potong tangan dikecualikan atas orang-orang yang memiliki unsur hak atas harta yang dicuri sehingga orang yang mencuri di Baitul Maal dan Tuannya tidak dihukum potong tangan. Hal ini juga difatwakan oleh Nabi bahwa orang yang memiliki bagian atas harta yang dicuri dia tidak dipotong tangannya.13

Dari sini maka tidak cukup alasan-–sebenarnya--bagi Masdar F. Mas'udi bahwa Umar berijtihad untuk mengubah hukum potong tangan menjadi hukuman yang lain.14 Apalagi untuk menyatakan bahwa hukum potong tangan ini hanyalah sebuah dugaan atas efektivitas kemampuan membuat jera seorang pencuri. Terlebih ayat yang menjadi dasar hukum adalah ayat yang sorih bersifat nash dan qot'i.15

Hukuman atas pemabuk

Adapun perilaku Umar yang memberikan had hukuman yang bagi pemabuk yang melebihi dari sunnah Rasul, Ruwai'i menyatakan bahwa hal itu boleh saja dilakukan apabila dimaksudkan sebagai takzir, hal ini terkait dengan dhohir atsar yang menyatakan kalau hukuman itu tidak mencegahnya baru kemudian ditambahkan hukuman. Dengan begitu penambahan hukuman hanya bersifat takzir. Hal ini mengingat bahwa apa yang menjadi perilaku Nabi, adalah hujjah yang tidak boleh ditinggalkan dan ijma' atas hal-hal yang menyimpanginya hukumnya tidak sah.16 Meskipun demikian Syafi'i langsung menyepakati hukum dera 80 kali. Hal ini berbeda dengan Ashabnya.

Kasus Muallaf

Mengenai muallaf, Rasyid Ridla membagi muallaf menjadi enam macam, empat macam dari kalangan muslim dan dua macam dari kalangan non muslim.17 Yang berasal dari golongan Islam adalah:

  1. Pemuka muslim yang mempunyai pengaruh di tengah kaumnya yang masih kafir.
  2. Pemimpin yang masih lemah iman.
  3. Orang Islam yang berada di perbatasan yang diharapkan mampu membentengi dan mempertahankan umat Islam dari serangan musuh.
  4. Orang Islam yang pengaruhnya diperlukan untuk memungut zakat.

Adapun yang dari golongan non muslim adalah:

  1. Orang yang diharapkan akan beriman dengan adanya bagian muallaf yang diberikan kepada mereka.
  2. Orang yang dikhawatirkan tindakan kejahatannya terhadap orang Islam.

Dari paparan di atas, apa yang dilakukan oleh Umar atas permohonan Uyainah Ibn Hashn dan Al Aqra' Ibn Habis, itu belum menunjukkan usaha ijtihad Umar atas hukum yang dinilai tidak cocok dengan perkembangan zaman. Hal ini mengingat kedua orang tersebut sudah pernah mendapat bagian dari Nabi.18 Menurut Rashid Ridlo kedua orang ini dimasukkan dalam golongan orang-orang yang dikuatirkan kejahatannya terhadap orang-orang Islam. Sementara penolakan Umar dilakukan pada zaman Khalifah Abu Bakar di mana ada kemungkinan kedua orang ini sudah masuk Islam.

Kasus rampasan perang

Al Bukhori dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah menyatakan bahwa syariat tentang ghonimah ini dikarenakan perhatian Allah atas kelemahan yang ada pada kita.19 Sehingga apa yang dilakukan Umar adalah mengambil mafhum mukholafah20 dari hadist nabi di atas, sebagai muqoyyad atas ayat Al Anfal 41 yang masih Mutlaq.

Dari pembahasan di atas kiranya dapat kita gambarkan disini, bahwa apa yang diijtihadi oleh Umar Ibn Khottob sama sekali belum keluar dari bingkai etika berijtihad atau keluar dari nash al Quran dan al Habits apalagi kemudian dianggap melakukan usaha mengintrepretasi ulang atas dalil-dalil qoth'i yang termaktub dalam al Quran maupun sunnah Nabi untuk kemudian dijadikan dalil dzonni.

Penutup

"Al Hukmu yaduuru ma'a illatihi wujuudan wa adaman."21 (Bahwa sesungguhnya ada atau tidak adanya hukum itu berputar menyertai sebabnya). Bila mungkin diskemakan yang dimaksud dari kaidah fiqh di atas adalah:

Diagram batasan ijtihad

Dari gambar di atas, bisa diterangkan bahwa (b) adalah hukum ijtihadi yang perputarannya atau pergerakannya berada dalam lingkup (a) yang merupakan dalil qot'i yang ditemui dalam al Quran maupun Hadis. Maka menurut pendapat penulis, apa yang menjadi ijtihad Umar pun tidak pernah keluar dari bingkai dalil-dalil qot'i.

Sebagai ilustrasi akan kepatuhan Umar atas petunjuk Quran dan Hadis, adalah berkata Umar ketika bertawaf dan mencium Hajar Aswad, "Demi Allah, sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau adalah batu. Engkau tidak akan mendatangkan bahaya dan manfaat. Jikalau aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu."22

Meski secara nalar Umar tidak merasa cocok, Umar tetap melakukannya demi kepatuhan kepada Nabi. Bahkan ketika Ali mengingatkan ucapan Umar tentang Hajar Aswad yang dianggap tidak memberikan manfaat atau mendatangkan bahaya, merupakan pemikiran yang sembrono, Umar berucap, "Laula Ali lahalakati Umar". Andai tidak ada Ali (yang mengingatkan) celakalah Umar.

Wallahu a'lam bi al showab.

1 Ruwai'i, Fiqh Umar bin Khottob Muwazinan bi Fiqh Asyhuril Mujtahidin, 1403 H, Beirut, Daar al Ghorbi al Islamy Juz 1 hal. 21

2 Kasuwi, Butir-butir perunjuk Umar Ibn Khattab RA tentang Peradilan dan Relevansinya dengan Sistem Peradilan di Indonesia, 2000, Malang, Makalah

3 Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn al Khaththab: Studi tentang perubahan hukum dalam Islam, 1987, Jakarta, Rajawali Pers, hal XII

4 Lebih jelas baca Ruwai'i, Figh Umar bin Khottob Muwazinan bi Fiqh Asyhuril Mujtahidin, 1403 H, Beirut, Daar al Ghorbi al Islamy Juz 1 hal 23-28

5 Ibid. hal 287

6 Ibid hal 285

7 Ibid hal 311

8 Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn al Khaththab: Studi tentang perubahan hukum dalam Islam, 1987, Jakarta, Rajawali Pers, hal 140

9 Ibid hal 11

10 Yusuf Al Qordlowi, Ijtihad Kontemporer, 1995, Surabaya, Risalah Gusti, hal 131-138

11 Surat Maidah ayat 38

12 Menurut A. Hanafi dalam buku Usul Fiqh, 1963, Jakarta, Widjaya, hal 75, Mutlaq ialah suatu lafadz yang menunjukkan sesuatu hal atau barang atau orang yang tidak tertentu tanpa ada ikatan yang tersendiri berupa perkataan.

13 Ruwai'i, Fiqh Umar bin Khottob Muwazinan bi Fiqh Asyhuril Mujtahidin, 1403 H, Beirut, Daar al Ghorbi al Islamy Juz 1 hal 287

14 Masdar F. Mas'udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, 1997, Bandung, Mizan, hal 34-36

15 Op.cit. hal 79. Nas adalah bagian dari mantuq (hukum yang ditunjukkan oleh ucapan lafadz itu sendiri) yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin ditakwil lagi.

16 Ruwai'i, Fiqh Umar bin Khottob Muwazinan bi Fiqh Asyhuril Mujtahidin, 1403 H, Beirut, Daar al Ghorbi al Islamy Juz 1 hal 315

17 Amiur Nuruddin, _Ijtihad Umar Ibn al Khaththab: Studi tentang perubahan hukum dalam Islam, 1987, Jakarta, Rajawali Pers,hal 138-140

18 Ibid hal 140.

19 Ibid hal 156.

20 Abdul Hamid Hakim, Mabadi' Awwaliyah, tanpa tahun, Jakarta, Saadiyah Putra hal 16. Mafhum Mukholafah adalah hal-hal yang dipahamkan berbeda hukumnya dengan apa yang diucapkan baik dalam isbat maupun nafi.

21 Ibid hal 47.

22 Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn al Khaththab: Studi tentang perubahan hukum dalam Islam, 1987, Jakarta, Rajawali Pers, hal 42

Penulis:
Achmad Shampton Masduqi, SHI