Bagaimana hukumnya tahlil?
Bagaimana hukumnya tahlil?
Mengapa saudara tanyakan hukumnya tahlil? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.
Bagaimana hukumnya tahlil?
Mengapa saudara tanyakan hukumnya tahlil? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.
Pada waktu Rasululah ditanya, bagaimana kami membaca sholawat atas paduka? Rasulullah menjawab, bacalah “Allahumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa ‘Ala Aali Muhammad” tetapi di dalam keterangan ahli taqlid selalu digunakan tambahan Sayyidina, sunahkah tambahan itu?
Fathul Mu’in hanya menerangkan:
Tidak ada bahayanya dengan tambahan kalimat sayyidina sebelum kalimat Muhammad.
Bagaimana tentang beduk itu? Apakah termasuk sunah?
Kalau sunah itu tidak. Akan tetapi Rasulullah tidak melarang memukul beduk, kalau saudara melarang itu namanya keterlaluan.
Di zaman Rasulullah Abu Bakar dan Umar, adzan Jum’at itu terdapat hanya sekali. Tetapi di zaman Utsman bin Affan, menjadi dua kali. Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul?
Dua kali itu artinya sekali ditambah sekali, bukan? Apakah saudara dapat menunjukkan dalil yang melarang menambah adzan satu kali?
Orang-orang ahli taqlid mengaku taqlid kepada Imam Syafi’i, padahal mereka hanya tahu Sulam Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in. Apakah itu dapat dibenarkan?
Kitab-kitab Sulam Safinah, Fathul Qorib, dan lain sebagainya itu adalah kitab-kitab bermadzhab Syafi’i. mengapa tidak dapat dibenarkan?
Berdasarkan hadits:
Maka landasan hukum di dalam Islam itu hanya dua, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Mengapa di dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i ada dua masukan sebagai landasan hukum, ijma’ dan qiyas?
Betulkah pintu ijtihad pintu sudah tertutup?
Permasalahannya bukan sudah tertutup atau belum tertutup akan tetapi memandang telah lama (beratus-ratus tahun) pintu tidak pernah dimasuki orang.
Tanya jawab yang ada dalam artikel ini dicuplik dari buku "Apa, Bagaimana dan Siapa Itu Ahlussunnah Wal Jamaah", buku ini pada awalnya tertulis dalam huruf arab pego, kemudian diterjemahkan dan ditulis kembali oleh PC NU Pekalongan. Buku ini sendiri merupakan materi upgrading tentang ahlussunnah wal jamaah yang disampaikan KH. Bisri Mustofa di Pondok Pesantren Rembang pada tanggal 3-14 Romadlon 1386/15-26 Desember 1966. Tanya jawab ini merupakan arsip pertanyaan dan jawaban yang disampaikan dalam acara tersebut. Materi Tanya jawab ini sendiri sangat penting dikaji kembali oleh generasi muda Islam karena pada era masa kini banyak sekali pengaburan makna ahlussunnah.
Bagaimana hukumnya baca manaqib?
Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Niat itu tempatnya di hati, dan memang seharusnya niat itu dengan hati, akan tetapi saya dengar orang-orang bersembahyang di Masjid, niatnya dengan ucapan Usholli fardlo dzuhri dst. Sahkah itu?
Niat itu memang tempatnya di hati. Kalau hanya ucapan Usholli fardlo dzuhri dan seterusnya saja itu namanya bukan niat.
Bagaimana hukumnya talqin mayit, setelah mayit selesai dikubur?
Talqin mayit, kalau mayitnya muslim mukallaf, para ulama’ Ahlu Sunah wal Jama’ah menetapkan hukumnya sunah. Dengan dasar ayat:
Sholat hari raya itu sebaiknya dilaksanakan di masjid kah atau di lapangan?
Sholat hari raya itu dilaksanakan di masjid boleh, di musholla atau di lapanganpun boleh. Tentang mana yang lebih afdlol itu ada tafsil/perinciannya. Kalau masjid setempat sempit, tetapi diantara umat Islam setempat terdapat orang-orang dloif/lemah, sebab sudah tua agak sakit-sakitan sehingga berat untuk hadir di lapangan, maka disamping sholat hari raya di lapangan juga diadakan di Masjid, untuk menampung teman-teman yang dloif. Yang tersebut tadi kalau tidak kebetulan hujan. Kalau terjadi hujan, maka sholat hari raya dilaksanakan di Masjid.
Di dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi:
Yang maksudnya bila kamu sekalian akan berdiri sholat, maka basuhlah mukamu (dan seterusnya).
Sholat tarawih di zaman Rasullah dan Abu bakar As-Shiddiq terdapat hanya delapan rakaat, tetapi di zaman Umar bin Khottob menjadi dua puluh rakaat, bagaimana itu?
Dua puluh rakaat itu adalah delapan rakaat ditambah dua belas rakaat, adakah pada saudara itu dalil yang melarang tambahan dua belas rakaat.
Selamatan-selamatan model Budha seperti ambengan, kupat lepet, bubur (jenang) mirah, dan lain sebagainya itu apakah tidak seharusnya diberantas? Sebab sudah terang di dalam Islam tidak ada?
Shodaqoh itu pada prinsipnya adalah anjuran Islam.
Saya pernah dengar hadits:
Semua bid’ah itu sesat
Tetapi saya juga dengar dari kyai-kyai katanya bid’ah itu ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah sayyiah, mana itu yang benar?