Perjalanan Hidup sang Hujjatul Islam
Imam al-Ghazali sosok ulama dengan keilmuan yang komprehensif (jami’ mani’). Semua cabang keilmuan telah ditulisnya, dan puncak keilmuan beliau telurkan kitab tasawuf kepada kita seperti Bidayah Hidayah, Minhaj al-Abidin dan Ihya Ulumuddin yang banyak ditelaah muslim di dunia. Bahkan dalam sebuah hikayat sufi, al-Ghazali telah dijamin masuk surga bukan karena keilmuan atau ibadahnya kepada Allah, namun karena al-Ghazali pernah membiarkan seekor lalat minum di wadah tintanya.
Al-Ghozali tidak hanya sekedar ulama ahli fiqih tetapi juga seorang teolog, filsuf, seorang orator yang hebat, ahli retorika yang dahsyat sekaligus penulis Islam yang produktif, outentik serta representative. Pribadi memukau beliau adalah buah dari doa sang ayah yang selalu istiqomah dalam menghadiri forum majelis ilmu dan bersahabat dengan para ulama. Di suatu waktu, ayah beliau berdoa “Ya Allah, karuniakanlah aku anak-anak yang shalih seperti para ulama dan wali itu”. Berkat keikhlasan doa yang sering ia panjatkan itulah, ia di karuniai anak Muhammad al-Ghozali dan Ahmad al-Ghozali yang keduanya menjadi ulama terkemuka.
Muhammad al-Ghozali sendiri lahir di Ghozalah sebuah kota kecil dekat kota Thuus di daerah Khurasan pada tahun 450 H atau 1058 M. Sang ayah yang shalih dan bersih hatinya mendidik anaknya dasar-dasar agama, membaca al-Qur’an dan akhlak yang baik. Terlepas itu beliau juga membawa sang anak hadir dalam berbagai majelis para ulama guna berinteraksi dengan kaum sholihin dan mendapatkan ilmu serta doa dari mereka. Namun tak lama kemudian sang ayah sakit parah dan wafat.
Semangat sang Ayah yang besar untuk menjadikan anaknya sebagai kader yang berkualitas. Untuk merealisasikan cita-citanya, sang Ayah menitipkan mereka kepada seorang sufi berilmu tinggi sekaligus temannya sendiri yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian ketika perbekalan habis, sang guru mengalami kondisi kritis, maka mereka dititipkan kepada lembaga pendidikan yang menyediakan beasiswa agar segala kebutuhan hidup mereka terjamin. Di tempat itulah kedua bersaudara tersebut mampu menyerap ilmu dengan mudah tanpa ada sesuatu yang membebani mereka.
Sejak kecil Imam al-Ghozali telah menampakkan bakat yang mendarah daging dan kemauan yang tinggi. Ia selalu belajar dengan tekun dan selalu meraih prestasi terbaik di kelasnya. Di sekolahnya ia belajar kepada para guru dan para ilmuwan dengan berbagai karakter dan latar belakang pemikiran yang berbeda. Namun satu diantara guru yang dikagumi adalah Syekh Yusuf as-Sajjaj. Setelah lulus dari jenjang pendidikan, Imam al-Ghozali melanjutkan pendidikannya ke kota Jurjan, sebagai sentral ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiyah. Ulama yang bernama Abu Nasr Al-Isma’ili mengajarkan ilmu agama dan ilmu bahasa kepadanya. Setelah itu al-Ghozali pergi ke kampung halaman.
Dalam sebuah Ta’liqoh’ (catatan keilmuan Imam Al-Ghozali semasa mencari ilmu) diceritakan, kala itu di tengah perjalanan beliau bersama khafilah, di hadang oleh perampok dan semua barang bawaan dirampas. Ketika para perampok bergegas pergi, Imam al-Ghozali tidaklah menghawatirkan harta bendanya melainkan ta’liqoh yang terdapat di dalam tas. Maka bergegaslah beliau mengejar dan mengikuti mereka hingga salah satu dari mereka berkata “ Pergilah ! Pulanglah! Jangan ikuti kami atau kau kami bunuh!” Beliau berkata “Demi Allah Tidak, aku hanya meminta dari kalian satu permintaan, kembalikan Ta’liqoh yang berada di dalam tasku!” “Ta’liqoh? Apa itu?” “Sebuah buku berisi ilmu-ilmu yang ku kumpulkan dari negeri ke negeri dengan susah payah dan lelah. Tolong kembalikan padaku, toh kalian tak membutuhkannya” mendengar pengakuan Imam al-Ghozali, ketua perampok tertawa dan kemudian yang lainpun ikut tertawa seakan mereka meremehkan Abu Hamid al-Ghozali. Lalu dia berkata “Wahai pemuda, bagaimana engkau mengaku sebagai ahli ilmu sedangkan ilmu tidak engkau hapal dan hanya kau tuliskan di ta’liqoh itu! Apa jadinya bila ta’liqoh itu tetap ku ambil maka hilanglah ilmu yang kau raih dengan susah payah dari dirimu” kemudian dia menyuruh pengikutnya untuk mengembalikan ta’liqoh itu kepada Imam al-Ghozali. Semenjak itulah beliau semakin memperhatikan ilmu dan menghapalkan semua ilmu yang ia peroleh.
Eksistensi beliau dalam menuntut ilmu tetap berlangsung bahkan beliau melanjutkan study ke Naisabur untuk masuk Universitas Nidzamiyyah (konon tertua sepanjang sejarah) yang saat itu di pimpin oleh ulama besar bernama Imam Haramain yang bermadzhabkan Syafi’iyah dan menganut aqidah Asy’ariyyah, kepada beliaulah Imam Al-Ghozali memperdalam ilmu fiqih, filsafat, mantiq, teologi, retorika, dan ilmu-ilmu lainnya. Kesungguhan dan potensi yang ia miliki menjadikan beliau sebagai murid terdekat Imam Haramain bahkan tak lama kemudian di angkat sebagai asisten utama Imam Haramain yang dipercaya menggantikan beliau dalam berbagai forum diskusi. Meskipun begitu Imam al-Ghozali tetap berguru kepada imam Haramain hingga sang guru yang ia kagumi itu wafat pada tahun 985 M.
Sepeninggalan sang guru, beliau di undang oleh pendiri Universitas Nidzamiyyah sekaligus perdana menteri yang bernama Nidzamul Muluk dan di minta untuk datang ke Baghdad. Bertempat di Muaskar sebuah tempat pemukiman pembesar-pembesar kerajaan, orang-orang terkaya dan para ulama intelektual yang terkemuka. Istana Nidzamul Muluk yang rutin diadakan forum-forum diskusi menjadi prasarana kemasyhuran Imam al-Ghozali dalam keilmuan, kecerdasan, kekuatan hapalan dan keluasan wawasan beliau.
Kekaguman pada sang Hujjatul Islam semakin terasa, diriwayatkan beliau mengadakan sebuah majelis diskusi dan pertemuan ilmiyah yang di hadiri tiga ratus ulama besar. Mereka semua bersimpuh di hadapannya untuk mengadopsi ilmu atau mengajukan pertanyaan kepadanya. Saat itulah beliau di angkat sebagai penasihat kerajaan dan guru besar Universitas Nidzamiyah pusat pada tahun 1090 M. Ini adalah puncak keemasan beliau dalam meraih kehormatan dan prestasi duniawi karena itu adalah kebanggaan dan puncak kemuliaan seorang ulama di zaman itu.
Kehidupan serba cukup yang beliau rasakan berjalan selama lima tahun. Bisikan rohani yang kuat seringkali menghujam di benak pikiran beliau, bahwa kemuliaan yang sebenarnya adalah kehormatan ukhrawi yang lebih hakiki. Suatu ketika Imam Ahmad Al-Ghozali adik beliau datang menghampiri dan melantunkan puisi :
Wahai batu penajam pisau,
Sampai kapan engkau hanya membuat pisau tajam
Akan tetapi engkau tetap tumpul
Kalimat-kalimat mutiara ini tidak hanya keluar dari lisan begitu saja, tetapi memang Imam Ahmad al-Ghozali tulus ikhlas mengingatkan sang kakak dari hal yang mungkin bisa menjauhkan Imam al-Ghozali dari Allah SWT. Ternyata kalam hikmah tersebut menggugah Imam Al-Ghozali dan membuahkan olah rohani yang mengantarkan beliau menuju jati diri yang sesungguhnya. Kesadaran diri bahwa semua yang ia raih, hanyalah sesuatu yang fana. Beliau mulai mengambil langkah menyatu dengan ruhaniah, dengan meninggalkan semua profesi yang ia dapat dan menerapkan konsep-konsep tasawwuf seperti Zuhud dan Wara’ serta pembersihan hati.
Uzlah memang menjadi jawaban tepat menuju pencarian Allah. Beliau berpindah dari masjid ke masjid, dari kota ke kota, dari negeri ke negeri hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri dan mujahadah serta tirakat yang ia tekuni selama sepuluh tahun itu di mulai dari perjalanan beliau menuju Damaskus untuk beri’tikaf di menara masjid jami’ Umawi. Aktifitas beliau hanya berdzikir, ibadah, puasa, qiyamul lail, mujahadah melawan hawa nafsu dan menziarahi kubur Nabi Ibrahim AS.
Setelah dua tahun menekuni mujahadahnya beliau menuju Palestina untuk beri’tikaf di masjid Al-Aqsha selama beberapa tahun dan kemudian mengekspresikan kerinduannya terhadap Mekkah dan Madinah dengan melaksanakan ibadah haji dan menziarahi makam Nabi Muhammad SAW. Selama sepuluh tahun itulah beliau menjinakkan hawa nafsu dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan jati diri yang berbeda, sehingga tak ada satu orang pun yang mengenal beliau. Hingga pada tahun 1105 M barulah beliau kembali ke kampung halaman kota Thuus dengan background yang baru yaitu seorang Imam Al-Ghozali yang bukan hanya sekedar ilmuan atau ulama intelek tetapi juga seorang wali dan sufi sejati.
Etika dalam konsep kehidupan Islam yang disajikan oleh Imam al-Ghozali tak hanya sekedar mendidik ummat Islam menjadi pribadi muslim yang sempurna, tetapi juga sebagai sebuah sarana yang menyatukan hamba bersama tuhannya sehingga tidak ada lagi hijab antara dia dan Allah SWT. Argumen ini sebagaimana yang di paparkan oleh seorang tokoh wali kutub Al-Imam Abdulloh bin Alawy Al-Haddad “Barangsiapa yang ingin meniti jalan Allah dan rosul-nya, serta jalan wali-wali Allah, maka ia harus membaca kitab karangan-karangan al-Ghozali, terutama kitab Ihya’, karena kitab ini tak ubahnya seperti lautan yang luas”.
Sebagai sebuah perbandingan, Renan dan Carra de Vaux yang non-muslim, menelaah keilmuan teologi yang ditulis al-Ghazali, kedahsyatan keilmuan yang di miliki Imam al-Ghozali mereka dan beberapa tokoh non-muslim lainnya mengagumi pemikiran Imam al-Ghozali. St.Thomas Aquinas mengadopsi sebagian argument teologi beliau demi mengokohkan kekuasaan agama Kristen ortodoks di barat. Bahkan doktrin teologi Al-Ghozali telah mewabah ke eropa dan merasuk ke kalangan Yahudi dan Nasrani.
Dalam sebuah kitabnya berjudul Tahafut al-Falasifah ditulis dengan mengakomodasi semua pondasi dasar dari al-Quran dan Hadits. Telaah keilmuan filsafat ini ditujukan untuk menyerang ideology filsafat Ibn Sina yang bermainstream Yunani. Ibnu Sina sendiri sebelumnya telah menyusun Tahafut at Tahafut yang mengakomodasi filosofi Aristoteles yang berkebangsaan Yunani. Helenisme atau aliran rasionalisme Yunani dan ajaran bid’ah yang dulu berkembang pesat tidak dapat merasuk dan meracuni otak para tokoh dan ummat Islam berkat jasa besar Imam Al-Ghozali yang mampu membentengi agama Islam pada zamannya, karena itulah beliau mendapat gelar ‘Hujjatul Islam’.