Rahasia-rahasia Dalam Haji
Haji adalah salah satu diantara syari’at-syari’at umat terdahulu, dalam arti bukan syari’at yang khusus untuk umat Nabi Muhammad, dengan dalil sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Adam As. melaksanakan ibadah Haji dari India ke Makkah dengan berjalan kaki.
Ketika terjadi air bah di zaman Nabi Nuh As., ka’bah di angkat ke langit ke empat sehingga reruntuhan tempat asal mula ka’bah kosong sampai zaman Nabi Ibrahim As. Setelah Nabi Ishaq dan Ismail lahir, Allah memerintah Nabi Ibrahim untuk membangun ka’bah kembali dengan dibimbing oleh Jibril dan dibantu putranya Ismail, karena itulah banyak orang beranggapan bahwa yang pertama kali membangun ka’bah adalah Nabi Ibrahim, padahal sebenarnya ka’bah sudah ada dua ribu tahun sebelum terciptanya Nabi Adam. Allah berfirman dalam Al’qur’an:
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia( QS 'Ali imran 96).
Haji adalah ibadah yang sangat besar keistimewaannya, dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
Haji yang mabrur itu tak ada balasan yang layak untuknya kecuali surga (muttafaqun 'alaih).
Dan dalam hadits yang lain juga disebutkan bahwa haji itu dapat menghapus dosa-dosa kecil dan besar, tapi sekali lagi dengan catatan haji tersebut diterima oleh Allah atau disebut juga dengan haji mabrur. Lalu apa tanda-tanda haji yang mabrur?
Adapun diantara tanda-tanda haji yang mabrur adalah, apabila seseorang itu selalu berkata dengan perkataan yang baik, suka menginfaqkan hartanya di jalan Allah (berjiwa sosial tinggi) dan menjauhi hal-hal yang buruk menurut agama. Rasulullah bersabda:
"bakti orang haji adalah suka memberi makan dan perkataan yang lembut"(HR ahmad dan hakim).
Tidak semua orang yang berhaji diterima oleh Allah swt, sebagaimana tidak semua orang yang melamar pekerjaan di terima oleh pihak perusahaan; Agar haji kita diterima, kita harus menjalankan rukun dan kewajiban haji dengan baik, selain itu kita juga harus menjaga hati dan perbuatan kita dari hal-hal yang tidak pantas, karena kita berada di baitillah al-haram -rumah Allah yang mulia-. Hal ini sesuai dengan hadits:
Artinya, kita dilarang berkata dan berbuat buruk sebagai syarat diterimanya haji, sehingga kita pulang dalam keadaan seperti bayi yang baru lahir alias suci tanpa dosa, baik dosa besar maupun kecil.
Hikmah dalam rukun-rukun haji
Jika dilihat sekilas, ritual ibadah haji memang lebih menonjol segi af’alnya (perbuatan) daripada ta’abbudiahnya (nilai ibadah), berikut ini akan kami paparkan hikmah-hikmah dalam ritual haji, sehingga akan tersingkap rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalamnya dan akan didapat dengan menghayati nya pengalaman spiritual yang luar biasa.
Pertama
Ketika kita memakai kain ihram, ingatlah seakan-akan kita akan memakai kain kafan; Sebagaimana kita memakai baju ketika haji yang berbeda dari biasanya, kita juga akan memakai baju setelah meninggal yang berbeda dari sebelumnya, sehingga kita merasa lebih khusyu’; dan perbaikilah niat kita karena niat adalah ruh ibadah dan semua amal itu tergantung niatnya (lihat: Niat barometer ibadah).
Kedua
Ketika kita memasuki miqat, ingatlah keadan anda pada hari ditiupnya sangkakala ; diwaktu itu pasti kita berharap-harap cemas apakah haji yang kita laksanakan akan mudah dan diterima, atau tidak, sebagaimana pada hari kebangkitan kita bingung, akan tergolong orang yang beruntung atau orang yang celaka.
Ketiga
Ketika kita thowaf, hadirkanlah dalam dalam hati kita bahwa bukan tubuh kita yang mengelilingi ka’bah, tapi thawafnya hati dengan mengingat allah, sehingga kita tidak memulai dan mengakhirinya kecuali dalam keadaan mengingat allah; Sebagaimana tubuh adalah contoh nyata untuk manggambarkan isi hati seseorang, begitu pula kita menghadirkan rabbul ka’bah ketika kita mengelilinginya.
Keempat
Ketika kita sa’i antara shofa dan marwah, bayangkanlah bahwa kita menyerupai seorang hamba yang mondar-mandir di halaman rumah raja, sambil menampakkan keikhlasannya dalam mengabdi, mengharap perhatian dan belas kasihannya, seperti orang yang tidak tahu keputusan raja, akan dipenuhi atau tidakkah hak-haknya. Sehingga kita lebih ikhlas dalam menjalankan sa’i kita.
Kelima
Wuquf di arofah. Ketika itu kita berkumpul dengan umat islam dari berbagai belahan dunia, di sana ada Wali, orang soleh, dan bermacam-macam yang lainnya, maka ingatlah di hari mahsyar, hari berkumpulnya umat manusia, dari zaman Nabi Adam hingga hari kiamat nanti, masing-masing umat mengadu kepada nabinya dan mengharap syafaatnya. Mereka bingung -di satu tempat- antara diterima atau tidaknya amal mereka; Jika kita sudah mengingatnya, bersikaplah rendah diri dan mengharap-harap rahmatNya sehingga kita digolongkan termasuk orang yang beruntung dan dirahmati oehNya, dan jauhilah buruk sangka pada Allah, jangan sampai kita berfikir bahwa Allah akan menyia-nyiakan haji kita, karena itu termasuk dosa besar, dikatakan dalam ihya’ ulumuddin lil imam al-ghozali:
Sesungguhnya termasuk paling besarnya dosa adalah hadirnya seseorang di Arafah (ketika haji) dan menyangka bahwa Allah tidak mengampuninya.
Jika kita sudah melaksanakan hal-hal yang tersebut di atas dan menghayatinya, secara otomatis kita akan mendapati tanda-tanda haji mabrur pada diri kita sebagai wujud implementasi diterimanya haji kita, baik kita sadari ataupun tidak. Tapi jika kita tidak mendapatinya pada diri kita, maka kembalilah pada diri kita masing masing, introspeksi diri kita, apakah harta yang kita pakai benar-benar halal, atau apakah niat kita sudah benar-benar lillahi ta’ala –bukan untuk mendapat titel haji-, atau apakah kita tidak melakukan hal-hal yang kurang baik dalam ritual haji kita.
Akhirnya, mari kita berdo’a, memohon kepada allah, semoga allah menerima ibadah haji kita, haji orang tua dan sanak saudara kita, sehingga kita pulang dengan oleh-oleh haji yang mabrur. Amin.
Amiruddin Fahmi, Redaksi Majalah Al-Bashiroh