el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

Pers Amerika, Terorisme dan Pesantren

Akhir tahun ini menjadi suatu keberhasilan bagi penegak hukum di Indonesia, khususnya Polri, dan beberapa tim kecil semisal Datasemen 88 dan tim Gegana yang keduanya dari Mabes Polri berhasil melumpuhkan villa yang dihuni oleh Dr. Azhari dkk, di jalan Flamboyan, Kota Batu, Malang.

Tetapi itu suatu masalah kecil dari tumpukan masalah yang berada di tangan Polri dan penegak hukum lain, karena kasus korupsi masih menjadi 'aib besar bagi pemerintah Indonesia. Selayaknya kita tidak perlu mengucapkan puas atas kinerja pemerintah saat ini.

Terorisme berasal dari bahasa inggris terrorism diartikan use of violence for political purposes. Sedangkan dalam bahasa arab irhabi yang berarti isti'malul quwwah wa tahdiid lilikhdlo', secara maknawi dua pengertian itu ada kesamaan, karena produk terorisme itu berasal dari negara barat, maka makna arab juga mengekor pada makna aslinya (Inggris).

Saat ini berbagai macam pujian berdatangan dari pihak Amerika Serikat pada pihak Polri, karena keberhasilan penangkapan teroris nomor satu di Indonesia ini, juga merupakan program Amerika Serikat dalam menstigmanisasi negera Islam yang seolah-olah mereka (neg. Islam) adalah sumber teroris. Padahal itu adalah treatment (cara) AS memperluas pengaruh hegemoni (penyatuan kekuatan) mereka. Kita sebagai warga negara dunia ketiga, harusnya paham betul geliat pergerakan politik mereka, meski kita bukan pelaku politik praktis, sebagai manusia yang zoon politicon kita sadar bahwa bahaya masih mengancam keberadaan masyarakat dunia ketiga, kaum muslimin khususnya.

Pesantren sebagai limbah pers Amerika Serikat

Lewat isu-isu teroris yang selama ini mendiskreditkan umat islam, terutama dari pihak pesantren yang notabene menjadi lembaga/instansi pencipta produk teroris, AS sebagai corong utama yang membuat produk belabel teroris ke negara dunia ketiga, selalu saja meneror negara-negara kecil seperti Afghanistan, Iran, Irak, Palestine, dan Syiria. Hal ini yang kemudian harus kita sadari sampai sekarang ini bahwa keberhasilan Mabes Polri dalam memberangus sarang teroris di sebuah villa di jalan Flamboyan, Batu, paling tidak adalah kepanjangtanganan dari sikap pemerintah Indonesia yang masih mendompleng pengaruh AS (mencari muka karena tumpukan hutang negara yang menggunung). Tak ayal bila kemudian PM Australia John Howard memberi pujian kepada pemerintah Indonesia. Padahal dibalik itu ada skenario besar yang tidak kita ketahui, yang mungkin saja akan memberangus pesantren-pesantren salaf di negeri ini.

Pesantren yang selama ini menjadi lembaga non informal yang dinilai sukses dalam menghasilkan orang-orang bermental kuat dan bermoral tinggi di kancah nasional. Kemudian menjadi tercoreng diakibatkan ulah Pers Amerika Serikat yang sengaja mendiskreditkan dunia Islam (pesantren) dengan terbukanya beberapa identitas pelaku pembom sebagai alumni pesantren. Padahal secara mayoritas, pesantren di Indonesia beraliran Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang bermanhaj at-tawasuth wal i'tidal dalam akidah.

Dengan adanya paradigma (manhaj) pesantren tersebut, hampir tidak pernah terdeteksi upaya-upaya radikal yang selama ini ditempuh para teroris. Malahan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek-aspek radikal, yang selama ini telah membooming tragedi-tragedi yang menewaskan orang banyak. Sehingga pesantren yang muncul dan terekspos media masa adalah pesantren radikal dan kiai atau pengasuhpun juga radikal. Padahal yang kita sadari munculnya informasi itu setelah terjadinya Tragedi 11 September 2001. Informasi terakhir yang kita dapati ternyata pesawat yang menabrak gedung WTC itu adalah pesawat tanpa awak (Opini, Jawa Pos, 21 November 2004), yang tidak lain dalam jangka panjang akan mengkikis habis gerakan keislaman seperti keberadaan pesantren di Indonesia.

Secara logis memang pers Amerika secara pelan-pelan akan menggiring pada opini publik (pendapat umum) bahwa gerakan Islam harus dibasmi habis, karena akan melahirkan teroris-teroris dunia. Kalau kita bisa memaklumi keadaan itu, tentu pesantren harus berbenah diri dalam memilih seni memperjuangkan Islam, agar kelestariannya bisa dipertahankan sampai akhir nanti.

Pesantren Tetap pada Posisi Radikalnya

Tak bisa dipungkiri, bahwa Islam adalah agama yang samaahah, artinya Islam berusaha mengedepankan sisi-sisi keluwesan dalam berdakwah. Tetapi maksud ini bukan malah mengikis habis nilai-nilai keislaman itu sendiri, dengan kata lain samaahah yang dimaksud ada batas dan tempatnya. Sehingga beberapa cendekiawan Islam sering menyeret kita pada pemahaman samahah yang kebablasan, dan tidak ada dasar hukumnya. Dengan adanya kemiringan informasi itu pesantren mampu menetralisir gempuran pemahaman yang sesat terhadap kaum muslimin, dan berupaya mengembalikan pada jalurnya. Sikap preventif inilah yang seharusnya harus diperjuangkan oleh pemangku pesantren dan komponen lain yang berperan sama dalam dakwah Islam

Dari pembahasan itu, maka sikap preventif para pemangku pesantren itu bisa kita golongkan pada sifat Islam yang lain yaitu sisi radikalnya. Sebagai contoh singkat keberhasilan MUI memutuskan Ahmadiyah sebagai aliran sesat itu bisa kita klaim sebagai sisi radikal Islam (sikap tampil beda dengan Yahudi dan Nasrani). Artinya MUI bisa melepaskan segala macam problematika sosial yang terjadi setelah Ahmadiyah diputuskan sebagai aliran terlarang. Entah apa respon masyarakat selanjutnya, Islam sepertinya dikembalikan pada tempatnya yang agung. Sedangkan pesantren telah memberikan sumbangsih yang nyata bagi Agama Islam yang ya'lu walaa yu'la alaih.

Dengan ketegasan pemangku pesanten pada jalur radikal, sedikit banyak telah membangun kembali sisi Islam yang tersisihkan oleh rezim-rezim yang selama menjadikan Islam kehilangan taringnya. Hal itu kita rasakan selama rezim orde lama dan orde baru, dan kembali pada masa reformasi yang kita rasakan seperti sekarang ini. Hampir saja sisi Radikal Islam tereksploitasi (terselewengkan) dengan tampilnya Dr. Azahari, Nurdin M Top, dan kawan-kawannya, karena semangat mereka yang tidak dibarengi dengan keilmuan Islam yang mantap.

Untuk saat ini anda boleh gembira dengan berita kematian Dr. Azahari dkk, yang menjadi momok bagi kita adalah apakah peristiwa itu merupakan titik kulminasi (titik jenuh) kebebasan era reformasi?, atau malah menjadi fenomena kematian obor bagi aktivis Islam, yang nota bene musuh besar Amerika?. Kalau option yang kedua terjadi maka siap-siaplah umat Islam menjalani zaman Orde Baru jilid ke dua. Hingga peristiwa tahun 70-an menjadi terulang kembali?

Pandangan Ulama tentang terorisme

Teror adalah tindak kesewenangan untuk menimbulkan rasa takut, cemas, gentar, dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat guna mencaapai tujuan tertentu. Peristiwa 11 September 2001 ditandai dengan luluh lantaknya menara kembar gedung World Trade Center di New York dan pengeboman atas gedung Departemen Pertahanan AS di Pentagon, menampakkan fakta lapangan: mengguncang stabilitas umum pengguna lalu lintas udara, penghancuran pesawat terbang milik perusahaan, gedung berikut isinya, serta kematian sejumlah besar koban sipil tak besalah.

Data materiil di atas cukup memadai minimal untuk menggolongkan peristiwa itu sebagai tindakan pidana "al-hirabah" yang diatur dalam QS AL-Maidah 33. Namun para pelaku yang ikut mati tentu tidak bisa dituntut ancaman pidana hudud atau diyat (ganti rugi pidana) karena unsur kesengajaan murni yang menyertai perbuatan mereka. Keluarga para pelaku mungkin juga tidak mungkin diposisikan sebagai "waliyyu ad-Dima'i" yang harus menanggung sanksi kepidanaan.

Akan tetapi Amerika Serikat dan negara sekutunya telah mengkategorikan pelaku sebagai tindak terorisme dan mereka sibuk mencari aktor intelektual yang mendanai dan memback-up mereka. Betapa usaha invenstigasi yang objektif belum memadai mencari pelaku misteri tersebut, namun Amerika dan negara sekutunya telah melakukan agresi penyerangan kepada pemerintah taliban di Afganistan, dan menoreh stigma yang jelek kepada Islam sebagai agama maupun komunitas. Ini yang menjadi tanda tanya besar bagi negara dunia ketiga, khususnya negara berpenduduk muslim. Hingga pada klimaksnya akan membawa pada genosida (permusuhan etnis) yang terdiri dari pihak yang mendukung keputusan Amerika Serikat dan pihak yang antipati terhadap Amerika Serikat sebagai tindakan al-salbiyah fi muwajahat munkarat.

Dari keputusan diatas bisa digaris bawahi, bahwa aksi terorisme tidak menjadi suatu ancaman dibandingkan dengan agresi Amerika yang dilakukan pada negara Islam yang jauh lebih dahsyat dan mengerikan (seperti Afganistan, Palestina, Irak, Iran dan Syiria). Hal itu bisa saja terjadi pada Indonesia baik dalam bentuk agresi fisik maupun agresi abstrak yang kita alami selama ini. Kita bisa menyimpulkan bagaimana sikap pemerintah ketika problem utang negara menjadi beban utama negara, korupsi yang menjadi penyakit bangsa, kasus HAM yang tidak pernah tuntas, yang nyata-nyata menjadikan pemerintah malah memposisikan sebagai kaki tangan Amerika yang sejati. Ketiga hal tersebut yang menjadi perhatian Ulama dewasa ini, baik secara konkret maupun secara abstrak. Dan tentunya anda bisa merasakan sikap pemerintah yang bertendensi kuat meneruskan perjuangan Orde Baru untuk kembali di pentas politik Nasional.


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.