el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

Prof. DR. Imam Bawani MA: Idul Adha mengubah mental kapitalis menuju jiwa sosial

Bagaimana Islam menggambarkan konsep Idul Adha pada kita ?

Kalau untuk kondisi sekarang, nilai yang terkandung utamanya adalah ibadah, yang kedua menggambarkan semangat perjuangan, seperti halnya nabi Ibrahim dan nabi Ismail. Nilai yang ketiga adalah tidak ada yang sia-sia dalam perjuangan itu, dengan mengganti nyawa Ismail yang melayang dengan kambing. Hingga diperingati sebagai peristiwa bersejarah dan menjadi hari raya Idul Adha.

Di sisi lain memang menyimpan sisi sosial, karena dimungkinkan orang-orang miskin yang tidak pernah makan daging kambing, maka mereka mendapat haknya dari pembagian daging itu.

Apakah titik tekan peristiwa itu pada ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin?

Pengertian rahmatan lil alamin memang menjadi pembahasan tersendiri. Kadang-kadang term. Rahmatan lil Alamin itu digunakan agar Islam itu tidak terlalu kencang dalam berjuang, sebab jika kencang dalam berjuang dimungkinkan akan mengganggu orang lain. Dan demi memberi kesempatan pada orang lain untuk hidup menurut keinginannya maka toleranlah pada golongan mereka (sebutan sarjana barat sebagai Islam Inklusif lawan dari Eksklusif).

Tetapi dalam kontek secara umum bahwa ibadah dalam Islam yang rahmatal lil ‘alamin, setidak-tidaknya untuk alam dunia Islam yang banyak miskinnya, ya memang iya. Buktinya daging kurban yang disembelih oleh orang yang haji, kalau kemudian dimakan secara manual, akan busuk.Di Saudi daging kurban dikalengkan kemudian dikirim ke negara Afrika yang tergolong miskin seperti (euthophia).

Tetapi kalau konteks rahmatan lil alamin dikaitkan dengan penyembelihan kurban dalam satu musim, apa kemudian orang tidak malah bertanya, “seandainya dirupakan uang kan lebih bermanfaat untuk pembangunan gedung madrasah misalnya”. Ini kemudian menjadi masalah, apa ini bukan suatu keadaan yang drastis perubahanya.

Berangkat dari konsep sosial kemasyarakatan yang tergambar dari Idul Adha, disana sini masih terlihat pada masyarakat kita yang masih bermental kapitalis (penumpukan harta sebanyak-banyaknya). Seberapa sulit sih penerapan ekonomi syariah pada masyarakat kita ?

Pertama ada orang yang tidak mau menerima konsep syariah, dengan kata lain “banyak tokoh muslim yang anti formalitasi syariah”. Yang kedua formalitasi syariah memang menakutkan pihak lain, karena sering dihubung-hubungkan dengan piagam Jakarta. Yang ketiga “Ekonomi umat Islamkan relatif kecil?”, dari umat Islam yang jumlahnya 80 persen, yang mungkin pergerakan ekonomi syariah sekitar 15 persen. Sehingga untuk melangkah ke sana, harus dengan segala persiapan berikut kelebihan dan kelemahannya.

Apalagi dengan ekonomi kapitalis dunia, hampir semuanya dikuasai oleh lobi-lobi Yahudi, yang kekayaannya luar biasa. Namun demikian bukan berarti tertutup, karena ternyata dengan Indonesia yang mayoritas muslim, sementara banyak dari indikator ekonomi syariah itu ternyata tahan banting dalam krisis moneter 1998 kemarin, maka di negeri ini juga tumbuh ekonomi syariah, bahkan terakhir telah masuk pada BEJ (Bursa Efek Jakarta).

Mental kapitalis kalau dalam bahasa kita mungkin adalah kekayaan yang tiada batasnya. Jadi kembali pada konsep ayat “alhakumut takatsur” ayat ini menyindir sistem ekonomi kapitalis, karena kekayaan yang tiada batas akan membuat kalian lalai. Ini memang sebuah sifat syatonah yang ada dalam hati manusia. Dalam konteks kita mereka yang mempertahankan bunga di yang besar di rekeningnya, akan semakin berlipat-lipat jumlahnya . Filosofi mereka kan begini “sekecil modal yang ditanam, sebesar mungkin keuntungan yang diperoleh”. Kalau Islamkan punya landasan filosofis tersendiri “milikmu yang asli adalah yang engkau infakkan di jalan Allah”. Jadi memang sangat bertolak belakang, Islam lebih menekankan semangat keadilan, sementara kapitalis memang lawan dari sosialis. Kemungkinan besar mereka menolak segala macam infestasi yang tidak menambah nilai nominal dari keuangan mereka.

Indikator apa yang bisa dilihat dari keberhasilan pembelajaran Idul Adha dalam upaya peningkatan strata ekonomi kemasyarakatan?

Kalaupun dilakukan penilaian secara jujur pada peningkatan strata ekonomi itu tidak logis. Akan tetapi kalau itu mendorong semangat berkurban dan kaum muslimin punya kesungguhan, maka tentu ada nilai keberhasilan yang bisa dilihat. Yang menjadi permasalahan adalah kalau masyarakat yang miskin itu kemudian menjadi mustad’afiin, itu memang perlu dibantu. Tapi permasalahan akan menjadi rumit kalau miskin karena malas…, sementara Islam tidak menghendaki kemalasan. Kalau kemalasan itu hilang kemudian berubah menjadi keterpercayaan (siddiq), amanah (dapat dipercaya), kejujuran dan semangat tinggi dalam diri umat Islam, maka ini yang menjadi nilai plus menuju kebangkitan ekonomi Islam.

Sementara pelaku ekonomi syariah itu sendiri masih belum murni, malah pelaku ekonomi syariah adalah orang non muslim. Mungkin kita bisa melihat kemapanan ekonomi masyarakat madinah di zaman Rasul. Analisa bapak tentang cara Rasul mengangkat strata ekonomi mereka?

Pelaku ekonomi yang non muslim, ini jika informasi itu benar, karena belum ada data tentang nilai-nilai yang menginformasikan. Berapa jumlah bankir seluruhnya dan berapa jumlah non muslim. Kalau kemudian yang jumlah non muslim menduduki jumlah yang lebih, itu masuk akal. Karena peningkatan religius nasabah terhadap Islam, mereka mengetahui keharaman bunga bank, maka kemudian mereka berbondong-bondong berpindah menuju ekonomi syariah. Sehingga momentum perpindahan menuju ekonomi syariah dilihat langsung oleh pelaku ekonomi kapitalis dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi kapitalis dunia.

Di zaman rasulullah, dunia masih sangat sederhana dan tidak ada kompetisi materialisme belum ada, akan tetapi tampak bahwa penekanannya adalah pengorbanan para sahabat. Kita lihat sahabat Abu Bakar yang hartanya hampir habis untuk perjuangan, begitu juga sahabat Umar dan sahabat Ali. Apalagi Nabi sendiri apakah nabi seorang yang kaya? Kesempatan untuk kaya ada, akan tetapi nabi tidak mau kaya.

Zaman sekarang ini terbalik, reputasi seseorang belum sampai puncaknya, yang dikejar-kejar adalah kekayaan. Sehingga dahulu filosofinya li I’laai kalimatillah dan sekarang itu sulit diwujudkan karena kompetisi materialisme sudah keblabasan.

Mungkin ada filosofi tersendiri tentang cara pembelajaran Rasul kepada sahabatnya?

Dari pribadi nabi sendiri, nabi bukanlah ekonom atau orang yang punya gairah untuk kaya. Rasul kadang kala masih mau menjahit pakaian sendiri itu buktinya. Akan tetapi prinsip kejujuran, amanah lebih mendominasi pada kepribadian beliau. Beliau diajak berdagang, akan tetapi prinsipnya adalah keterpercayaan yang dibangun dari kejujuran.

Sekarang manajemen paling modern sendiri pun semisal Ary Ginanjar Agustian dengan ESQ (Emosional Spiritual Quation) mendasarkan pada keterpercayaan. Karena keterpercayaan konsumen itu berangkat dari kejujuran. Itulah nilai yang bisa diambil pada kepribadian rasul sebelum diangkat menjadi rasul, yaitu siddiq, amanah, Tabligh, fathonah.

Seperti apa konsep kemakmuran yang anda cita-citakan, atau mungkin telah anda tekuni dalam sebuah instansi?

Terus terang saja, kemakmuran itu adalah alat untuk ibadah, jadi bukan kemakmuran yang tanpa batas. Sebab kemakmuran yang tanpa batas itu larinya adalah hedonisme (menikmati dunia tanpa batas), akibatnya akan terjerumus pada perbuatan fakhis dan mungkar. Kalau kemakmuran menurut saya adalah sebatas kemakmuran yang bisa digunakan untuk sarana ibadah, kemudian memperjuangkan Islam dan menolong golongan yang lemah.

Umat Islam sekarang harus bangkit, merubah kondisi sosialnya menjadi lebih baik, semangat dalam bekerja, akan tetapi bukan untuk takatsur (kekayaan tanpa batas). Kalau kita lihat orang-orang yang kaya di timur tengah pemalas, yang miskin malah menyetorkan diri untuk bom bunuh diri. Inilah kemudian yang diwaspadai oleh Nabi, bahwa jumlah orang Islam banyak, akan tetapi seperti buih di lautan. Wabah yang menggejala adalah hubbun dunya wa karohiyatil maut (cinta dunia takut mati).

Oleh Prof. DR. Imam Bawani MA, Rektor Undhar.


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.