el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

Lumpur Sidoarjo: Kejahatan Korporasi

Semburan lumpur itu agaknya telah berubah menjadi anak gunung. Perlu tenaga lebih untuk sampai kesana, karena lokasi lumpur telah menjadi anak gunung. Tidak banyak orang yang mau jalan kaki menuju pusat lumpur.

Banyak juga warga yang menjajakan jasa untuk melihat-lihat pemandangan sekitar tanggul, tarif berkisar sepuluh ribu rupiah. Atau untuk pejalan kaki mereka biasa ditarif seribu perak untuk tiap kali masuknya. Sebuah gambaran cerdas dalam memanfaatkan peluang bisnis.

Namun kecerdasan mereka, tidak diikuti dengan orang-orang yang bersentuhan langsung penanganan lumpur Lapindo Brantas, seperti BPPLS yang di satu sisi adalah perpanjangan tangan dari pemerintahan SBY.

Sedangkan Timnas telah habis masa kerja mereka, digantikan dengan BPPLS (Badan Penanggulangan Penyemburan Lumpur Sidoarjo) yang diketuai oleh Sunarso. Track recordnya tidak begitu sinergis dengan apa yang dia tangani sekarang ini. Dia hanyalah seorang purnawirawan ABRI, yang sebelumnya telah menjadi staf ahli menko kesra.

Lambatnya Penanganan

Beberapa kali perundingan digelar, karena tuntutan masa yang merasa dirugikan sejak 29 Mei 2006. Lewat show a force mereka yang sudah beberapa kali melakukan aksi ( seperti boikot perjalanan KA jurusan Surabaya Malang) akhirnya ditanggapi, dan diuraikan kesepakatan bahwa ganti rugi 20% akan jatuh pada 31 Maret 2007, namun waktu lewat begitu saja tanpa dibarengi dengan realisasi apa yang sudah dijanjikan pada warga korban lumpur.

Sementara isu yang beredar saat itu, pihak Lapindo telah menitipkan perkara ini kepada pemerintah. Namun yang terjadi Lapindo tidak banyak di beri kelonggaran oleh pemerintah. Artinya pemerintah sebagai pelaksana masih canggung untuk mengeluarkan dana buat ganti rugi warga korban lapindo.

Padahal ketika pemerintah mengabaikan titik ini, berarti pemerintah juga menelantarkan hak warga negara yang seharusnya dijunjung tinggi. Ini berarti langkah mundur pemerintah dalam melayani publik, jika demikian yang terjadi maka pemerintah dan Lapindo Brantas telah melanggar HAM, karena telah mengabaikan hak warga dibidang fasilitas penghidupan yang layak.

Pada 28 April beberapa perusahaan terkait dengan mandeknya roda perekonomian melakukan tuntutan ganti rugi. Kerugian saat ini mencapai 27,4 triliun, termasuk fasilitas Perum Kereta Api, PLN, Pertamina, Jasa Raharja dan biaya pembebasan lahan warga yang telah tergenang dan yang terancam.

Padahal sebelum tuntutan ganti rugi ini diekspose media massa, DPRD tk I JATIM yang diwakili oleh Lutfillah dan tim telah memberikan saran buat pemerintah agar membantu biaya ganti rugi kepada korban lumpur.Jika ini terlaksana maka pemerintah telah meringankan beban korban Lapindo.

Kenyataannya lain, PP no 14 Tahun 2007 sangat memberatkan warga terutama warga Perumtas I. Yang termaktub di PP tersebut, kerugian 80 persen tidak diangsur dalam tempo yang cepat, padahal kebutuhan warga sangatlah mendesak. "Kalau hanya 20% kemungkinan akan habis untuk kebutuhan sehari-hari selama satu tahun" ujar pak Wito salah satu warga Jatirejo.

Pada 26 April 2007, sebuah keajaiban terjadi, ketika perwakilan warga Perumtas I yang berada di Jakarta, diterima untuk bertemu dengan Ketua BPPLS, Menko Kesra Abu Rizal Bakri, bahkan di Istana Wakil Presiden. Konsekwensinya, ada perubahan keputusan yang cukup menggembirakan bagi korban lumpur, dengan dipercepatnya sisa pembayaran 80% menjadi satu tahun, serta pembayaran 20 persen yang diterima secara untuh. Demikian sumber Kompas memberitakan.

Lain di mulut, lain di lapangan....

Secara analisa politik memang ada upaya memperlambat penanganan masalah ini, sampai mendekati gong pemilu tahun 2008, buktinya dari beberapa deadline waktu yang ditetapkan selalu saja terjadi kemunduran tanpa sebab, ingat 31 Maret 2007 kemaren salah satunya. Ketika booming pemilu semakin mendekat, maka ramai-ramai pemerintah, partai, bahkan LSM ramai-ramai membicarakan nasib orang-orang korban Lapindo. Ini sebuah intrik politik yang harus dipahami oleh semua lapisan masyarakat, bahwa mayoritas warga Indonesia mentalnya masih mental rentenir, mencekik rakyat disaat orang kelaparan, memberi uluran disaat kematian akan datang.

Kejahatan Korporasi

Ingat dengan analisa yang dikemukakan oleh Anshari Thayyib dengan bahwa "kasus Lapindo sepertinya baru diangkat pada bagian pelaksana, dari kasus pencemaran lingkungan hidup. Padahal pada UU no.3 Tahun 1997, besar kemungkinan akan dijerat dengan pasal-pasal tentang kejahatan Korporasi." di edisi lalu Meretas Tragedi di balik Aksi.

Dalam kejahatan korporasi, yang pimpinannyalah yang harus bertanggung jawab, namun aparat hukum kita tidak seperti yang kita bayangkan, pastilah lambat, menunggu deal-deal (kesepakatan) yang ada di tingkat atas. Sedangkan diatas, kasus ini menjadi tarik ulur sebagai penyebab lambatnya penanganan tindak pidana.

Sejauh ini kasus Lapindo masih menjadi perdebatan antara fenomena volcano mud (gunung berapi) yang berarti mewakili kejadian alam, atau Over Blow Ground Activity (luapan Lumpur) yang terjadi karena dua sebab, sebab goncangan gempa Yogjakarta yang terjadi dua hari sebelum lumpur porong. Sebab yang kedua adalah memang terjadi karena human error (kesalahan manusia) yang disebabkan tidak memasang cassing di dalam pengeboran 3000 meter didalam tanah. Padahal pengeboran ditempat lain yang menggunakan casing tidak akan terjadi seperti di Sidoarjo.

Pendapat beberapa ahli mengarah pada dua kutub pembahasan ini. Selain karena human error, karena prosedur pengeboran yang sesuai dengan AMDAL tidak dilakukan, dengan alasan menghemat biaya. Akhirnya hemat itu berarti laknat oleh alam sejalan dengan yang dinashkan oleh Al-Quran bahwa kerusakan Alam adalah akibat kesalahan manusia terhadap cara manage terhadap suatu masalah. Ketika ilmu ditinggalkan, untung dikejar, maka tidak segan-segan Allah mengadzab suatu kaum.

Menurut sejarah perjalanan hukum di negeri ini, kejahatan korporasi selalu saja membuat rintangan yang berat, banyak kasus habis ditelan waktu, menumpuk di hati sanubari masyarakat sebagai kasus yang tidak pernah terselesaikan. Pemerintah adalah pemangku kewajiban untuk menuntaskan kasus ini, ketika kasus itu mandek maka pemerintahlah yang bersalah.

Pemerintah tidak pernah berpikir, sampai kapan warganya tinggal di kamp pengungsian yang serba kurang ... pantas saja distrust antar daerah terhadap pemerintahan ini sangat besar, karena mereka tidak mau sulit untuk ikhtiar terhadap bangsa yang dipimpinnya. (berbagai sumber)


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.