Bahtsul Masail Diniyah


Edit

Pemanfaatan rukhsoh

Berhubung kondisi masyaqqat tertentu, tersedia pilihan rukhsoh, seperti kebolehan berbuka puasa (ifthar) pada bulan ramadhan, jama' takdim/ta'khir dan meng-qashar sholat rubaiyyah, bertayammum sebagai pengganti dari wudhu'/mandi wajib, membunuh binatang dengan tidak mengalirkan darah dari wajadain yang berada di leher hewan, pernikahan dengan wali hakim dsb.

Pengamalan hukum rukhshoh disepakati sepanjang tidak terkait kondisi maksiat, seperti terbaca pada kaidah "Alrukhoshu laa tunathu bil ma'ashi". Namun dalam terapan hukumnya muncul kesulitan mengenai ukuran pasti masyaqat dan kriteria maksiat.

Pertanyaan

  • Apakah wanita yang berhias diri (tazayyun) saat bepergian jauh di atas dua marhalah atau tanpa didampingi muhrimnya, dibenarkan mengamalkan hukum-hukum rukhshoh?
  • Sekiranya kehamilan seorang wanita terjadi karena zina atau akibat diperkosa, apakah boleh mengamalkan hukum-hukum rukhshoh?
  • Apakah boleh menjama' sholat bagi seseorang sebelum menjalani operasi medis?
  • Halalkah mengkonsumsi hewan yang ditembak dengan sanapan angin ?
  • Sahkan akad nikah "kawin lari "yang memanfaatkan jasa wali hakim ?

Jawaban

Seorang wanita berhias diri (tazayyun) saat bepergian jauh di atas radius dua marhalah tanpa didampingi muhrimnya untuk mengamalkan hukum-hukum rukhshoh, ditafsil/diperinci:

Jika wanita yang berhias diri itu didampingi oleh mahrom atau suaminya, maka hukumnya boleh mengamalkan hukum-hukum rukhshoh agama. Karena berhias diri itu bukan tujuan bepergian maksiat (ma'siat bi al-safar).

Dasar Pengambilan

Syarah Muhadzab Juz IV Hal 345-346

"فَرْعٌ " فِيْ مَذاْهَبِ الْعُلَمَاءِ : مَذْهَبُنَا جَوَازُ الْقَصْرِ فِيْ كُلِّ سَفَرٍ لَيْسَ مَعْصِيَّةً سَوَاءٌ الوَاجِبُ وَ الطَّاعَةُ وَالْمُبَاحُ كَسَفَرِ التِّجَارَةِ وَنَحْوِهَا. وَلاَ يَجُوْزُ فِيْ سَفَرٍ مَعْصِيَّةٍ, وَبِهَذَا قَالَ مَالِكُ وَ أَحْمَدُ وَجَمَاهِيْرُ الْعُلَمَاءِ مِنَ الصَّحَابَةِ والتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ .......وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ وَالْمُزَنِّيُّ يَجُوْزُ الْقَصْرُ فِيْ سَفَرِ الْمَعْصِيَّةِ وَغَيْرِهِ. دَلِيْلُنَا عَلَى الْأَوَّلِيْنَ إِطْلاَقُ النُّصُوْصِ وَعَلَى الْأَخَرَيْنِ قَوْلُهُ تَعَالَى ( فَمَنِ اضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ), وَأَيْضًا مَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَجَمِيْعُ رُخَصِ السَّفَرِ لَهَا حُكْمُ الْقَصْرِ فِي هَذَا فَلاَ يَسْتَبِيْحُ الْعَاصِى بِسَفَرٍ شَيْئًا مِنْهَا حَتَّى يَتُوْبَ. وَمِنْهَا أَكْلُ الْمَيْتَةِ وَجَوَّزَهُ لَهُ أَبُوْ حَنِيْفَةَ. دَلِيْلُنَا الْأََيَةَ.

"Cabang" mengenai madzhab-madzhab ulama: Madzhab kami membolehkan qashor pada setiap perjalanan yang bukan maksiat sama saja perjalanan yang wajib, perjalanan ketaatan, perjalanan mubah seperti perjalanan dagang dan lainnya. Tidak boleh meng-qasor sholat dalam perjalanan maksiat dan dengan ini telah berpendapat Imam Malik, Imam Ahmad dan para jumhur ulama dari para sahabat dan tabi'in dan orang-orang sesudah mereka ... Imam al-Auza'i, Abu Hanifah dan al-Muzanni membolehkan qashor dalam perjalanan maksiat dan lainnya. Dalil kami terhadap dua pendapat yang pertama adalah kemutlakan nash-nash dan pada dua pendapat yang akhir adalah firman Allah ta'ala:"Maka barangsiapa yang terpaksa karena kelaparan (memakan benda-benda yang diharamkan) sedang ia tidak cenderung hendak melakukan dosa (maka bolehlah ia memakannya)", Dan juga apa yang disebutkan oleh mushonnif. Semua keringanan-keringanan perjalanan baginya terdapat hukum qashor dalam hal ini, sehingga orang yang berbuat maksiat dengan perjalanannya tidak boleh menganggap mubah sedikitpun dari keringanan-keringanan tersebut hingga ia bertaubat. Dan diantara keringanan –keringanan tersebut adalah memakan bangkai dan imam Abu Hanifah membolehkannya. Dan dalil kami adalah ayat tersebut.

Jika wanita yang bepergian itu tidak didampingi oleh mahram atau suaminya, baik berhias diri atau tidak, maka tidak boleh mengamalkan hukum-hukum rukhshoh. Kecuali, perginya itu fardhu dan bersamaan dengan beberapa perempuan yang dipercaya (tsiqqah) atau sendirian dan dijamin aman dari fitnah, maka boleh mengamalkan hukum rukhshoh.

Dasar Pengambilan

Bughyatul Mustarsyidin Hal: 74

( مَسْئَلَةُ ي ) ضَابِطُ مُبِيْحِ التَّرَخُصِ فِى السَّفَرِ مَا ذَكَرَهُ السُّيُوْطِي بِقَوْلِهِ فِعْلُ الرُّخْصَةِ مَتَى تَوَقَّفَ عَلَى وُجُوْدِ شَيْئٍ نُظِرَ فِى ذَالِكَ الشَّيْئِ فَإِنْ كَانَ تَعَاطِيْهِ فِي نَفْسِهِ حَرَامًا امْتَنَعَ مَعَهُ الرُّخْصَةُ وَإِلاَّ فَلاَ ا ه أَيْ فَالْقَصْرُ وَالْجَمْعُ رُخْصَةٌ مُتَوَقِّفَةٌ عَلَى السَّفَرِ وَالسَّفَرُ مَشْيٌ فِى الْاَرْضِ فَمَتَى حَرُمَ الْمَشْيُ كَأَنْ سَفَرَ مَعْصِيَّةً فَتَمْتَنِعُ جَمِيْعُ الرُّخَصِ وَتَحْرِيْمُ الْمَشْيِ إِمَّا لِتَضْيِيْعِ حَقِّ الْغَيْرِ بِسَبَبِهِ كَإِبَاقِ الْمَمْلُوْكِ وَنُشُوْزِ الزَّوْجَةِ وَسَفَرِ الْفَرْعِ وَالْمُدِيْنِ بِلاَ إِذْنِ أَصْلٍ وَدَائِنٍ حَيْثُ وَجَبَ اسْتِئْذَانُهُمَا وَإِمَّا لِتَعَدِِّيْهِ بِالْمَشْيِ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ غَيْرِهِ كَإِتْعَابِ النَّفْسِ بِلاَ غَرْضٍ وَرُكُوْبِ الْبَحْرِ مَعَ خَشْيَةِ الْهَلاَكِ وَسَفَرِ الْمَرْأَةِ وَحْدَهَا أَوْ عَلَى دَابَّةٍ أَوْ سَفِيْنَةٍ مَغْصُوْبَتَيْنِ أَوْ مَعَ إتِْعَابِ الدَّابَةِ أَوْ بِمَالِ الْغَيْرِ بِلاَ إِذْنٍ وَإِمَّا لِقَصْدِ صَاحِبِهِ مُحَرَّمًا كَنَهْبٍ وَقَطْعِ طَرِيْقٍ وَقَتْلٍ بِلاَ حَقٍّ وَبَيْعِ حُرٍّ وَمُسْكِرٍ وَمُخَدَّرٍ وَحَرِيْرٍ لِاسْتِعْمَالِ مُحَرَّمٍ وَنَحْوِهَا هَذَا إِنْ كَانَ الْبَاعِثُ قَصْدَ الْمُحَرَّمِ الْمَذْكُوْرِ فَقَطْ أَوْ مَعَ الْمُبَاحِ لَكِنَّ الْمُبَاحَ تَبَعًا بِحَيْثُ لَوْ تَعَذَّرَ الْمُحَرَّمُ لَمْ يُسَافِرْ فَعُلِمَ أَنَّ مَنْ سَافَرَ بِنَحْوِ الْأَفِيُوْنَ قَاصِدًا بَيْعَهُ مَثَلاً لِمَنْ يَظُنُّ اسْتِعْمَالَهُ فِى مُحَرَّمٍ أَوْ يَيْعَهُ لِذَالِكَ إِنْ تَجَرَّدَ قَصْدُهُ بِأَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ غَرْضٌ سِوَاهُ أَوْ كَانَ لَكِنْ لَوْ عَدِمَ قَصْدُ الْأَفِيُوْنَ لَمْ يُسَافِرْ لَمْ يَتَرَخَّصْ وَحُكْمُ صَاحِبِ السَّفِيْنَةِ فِي ذَالِكَ حُكْمُ الْمُسَافِرِ بِهِ فِى الْحُرْمَةِ وَالتَّرَخُّصِ وَعَدَمِهَا.

"(Masalah Ya') Ketetapan dari hal yang membolehkan rukhshoh dalam perjalanan adalah apa yang imam Suyuthi telah menuturkannya dengan ucapannya: Mengerjakan keringanan rukhshoh apabila berhenti pada wujud sesuatu maka diteliti sesuatu tersebut, apabila melakukan sesuatu tersebut sendiri adalah haram, maka terlarang melakukan rukhshoh beserta sesuatu tersebut, jika tidak haram maka tidak terlarang melakukan rukhshoh. Artinya, melakukan sholat qoshor dan jama' adalah rukhshoh ( keringanan ) yang terhenti pada safar( perjalanan ). Sedangkan safar itu adalah berjalan dimuka bumi. Maka tatkala berjalan itu haram, seperti orang yang bepergian karena ma'siat maka tercegah semua rukhshoh. Keharaman perjalanan itu terkadang untuk menyia-nyiakan hak orang lain sebab perjalanannya seperti pelarian budak belian dan pembangkangan istri terhadap suami, perjalanan anak dari budak belian dan orang yang berhutang tanpa izin orang yng menghutangi dan perjalanan orang yang berhutang pada waktu keduanya wajib minta izin dan terkadang perjalanan itu untuk mendatangkan penderitaan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain seperti membuat payah diri sendiri tanpa tujuan dan mengarungi laut beserta takut terhadap kecelakaan, perjalanan wanita sendirian atau diatas kendaraan atau perahu yang dipinjam tanpa izin atau beserta membuat payah binatang yang dikendarai atau dengan membawa harta orang lain tanpa izin. Dan terkadang orang yang melakukan perjalanan itu memaksudkan hal yang diharamkan seperti merampas, membegal, dan membunuh tanpa hak, menjual orang merdeka, menjual minuman yang memabukkan, narkoba, dan menjual sutera untuk dipakai orang yang haram memakainya dan lainnya. Ini jika yang mendorong adalah memaksudkan hal yang diharamkan yang telah dituturkan saja. Atau beserta hal yang diperbolehkan akan tetapi hal yang diperbolehkan itu karena mengikuti sekira apabila hal yang diharamkan itu terhalang maka ia tidak bepergian. Maka diketahui bahwa orang yang bepergian dengan membawa afiun dengan bermaksud menjualnya umpamanya, kepada orang yang disangka mempergunakannya dalam hal yang haram atau menjualnya untuk keperluan haram apabila maksudnya semata-mata untuk hal tersebut dan tidak ada baginya tujuan lainnya atau ada tujuan lain tetapi andaikata tidak ada maksud untuk menjual afiun dan tidak bepergian maka dia tidak melakukan safar maka dia tidak boleh mengambil rukhshoh perjalanan, sedangkan hukum dari pemilik kapal dalam hal tersebut adalah seperti hukum orang yang bepergian dalam keharaman dan mengambil keringanan dan ketiaadaan dari keduanya.

Fatawa Ibnu Hajr Juz II Hal: 213

وَالْمُرَادُ بِالْفِتْنَةِ الزِّنَا وَمُقَدَّماتُهَا مِنَ النَّظْرِ وَالْخَلْوَةِ وَالْلَمْسِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

"Dan yang dimaksud dengan fitnah adalah zina dan pendahuluan-pendahuluannya seperti memandang, berduaan dengan non muhrim, bersentuhan dan selain dari hal tersebut".

Tafsir Khozin Juz V Hal: 69

قَوْلُهُ تَعَالَى ( وَلاَ يُبْدِيْنَ ) يَعْنِي لاَ يَظْهَرْنَ ( زِيْنَتَهُنَّ ) لِغَيْرِ الْمُحْرِمِ وَأَرَادَ بِالزِّيْنَةِ الْخَفِيَّةِ مَثْلُ الْخَلُخَالِ والْخِضَابِ فِى الرَّجُلِ وَالسِّوَارِ فِى الْمِعْصَمِ وَالْقُرْطِ فِى الْأُذُنِ وَالْقَلاَئِدِ فِى الْعُنُقِ فَلاَ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ إِظْهَارُهَا.

"Firman Allah Ta'ala ( janganlah para wanita menampakkan ) ya'ni memperlihatkan perhiasan-perhiasan mereka pada selain muhrim. Dan Allah memaksudkan dengan perhiasan yang tersembunyi seperti, gelang kaki dan pewarna kuku di kaki, gelang di pergelangan tangan, anting-anting di telinga, kalung di leher, maka tidak boleh bagi wanita menampakkannya".

Asy-Syarwani Juz III Hal: 73

( أَيْ عَمَلٌ إلخ ) عِبَارَةُ الْمُغْنِِِي أَيْ مِهْنَةٌ وَهُوَ مِنْ إِضَافَةِ الْمَوْصُوْفِ إِلَى صِفَتِهِ أَيْ مَا يَلْبَسُ مِنَ الثِّيَابِ فِي وَقْتِ الشُّغْلِِ.

( Yakni perbuatan dst ) Ibarot dari kitab al-Mughni yakni kesibukan ini termasuk idhofah dari isim yang disifati kepada sifatnya artinya apa ynag dipakai dari pakaian pada waktu sibuk.

Wanita hamil karena zina atau diperkosa hukumnya boleh mengamalkan hukum-hukum rukhshah agama.

Dasar Pengambilan Hukum

Sunan Abu Daud Kitab Puasa bab 43

الفَرْعُ الثَّالِثُ : الحَبْلُ وَالْإِرْضَاعُ،عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ عَنْ رَجُلٍ عَنِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللهَ وَضَعَ سَفَرَ الصَّلاَةِ عَنِ الْمُسَافِرِ وَأَرْخَصَ لَهُ فِى الْإِفْطَارِ وَأَرْخَصَ فِيْهِ لِمُرْضِعٍ وَحُبْلَى خَافَتَا عَلَى وَلَدِهِمَا. أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُوْدَ.

"Cabang yang ketiga: Tentang orang hamil dan menyusui. Dari Anas bin Malik dari seorang laki-laki dari Ibnu Abdillah bin Ka'ab bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah telah meletakkan sholat dalam perjalanan bagi musafir dan Allah telah memberi keringanan bagi musafir dalam berbuka dan Allah telah memberi keringanan berbuka pada orang menyusui dan orang hamil karena menghawatirkan atas anak keduanya". Diriwayatkan oleh Abu Daud.

Ittikhafu Ahlil Islam bikhushusiyyatis shiyami Hal: 275-276 karangan Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami

إِذَا تَقَرَّرَ ذَالِكَ فَإِنْ خَافَتْ حَامِلٌ أَوْ مُرْضِعٌ وَلَوْ مُسْتَأْجَرَةً أَوْ مُتَبَرِّعَةً أَوْ كَانَ هُنَاكَ غَيْرُهُمَا وَلَوْ مُتَبَرِّعًا عَلَى نَفْسِهَا بِأَنْ خَشِيَتْ مِنَ الصَّوْمِ مُبِيْحَ تَيَمُّمٍ أَوْ عَلَى الْوَلَدِ بِأَنْ أَضَرَّهُ الصَّوْمُ وَإِنْ لَمْ يَخْشَ هَلَكَهُ خِلاَفًا لِمَنْ عَبَّرَ بِهِ. وَمِنْ ثَمَّ قَالَ الْقَمُوْلِيْ وَغَيرُهُ: وَالْخَوْفُ عَلَى الْوَلَدِ بِأَنْ تُسْقِطَ الْحَامِلُ أَوْ يَقِلَّ الْلَبَنُ فِى هَلَكٍ أَوْ يَفْنَي وَالْفِطْرُ مَعَ مَا ذُكِرَ وَاجِبٌ نَظِيْرُ مَا مَرَّ فِى التَّيَمُّمِ. وَلَوْ كَانَ الْوَلَدُ مِنْ غَيْرِهَا وَلَوْ وَلَدٌ حَرْبِيٌّ علَى الْأَوْجُهِ لِأَنَّهُ مُحْتَرَمٌ خِلاَفًا لِلزَّرْكَشِيِّ.

Apabila hal tersebut telah tetap, maka jika wanita yang sedang hamil atau sedang menyusui merasa khawatir meskipun dia mengambil upah atau suka rela atau disana terdapat orang lain selain yang mengambil upah dan sukarela meskipun dia menyusui suka rela dari dirinya sendiri dengan apabila takut sebab puasa terhadap hal yang membolehkan tayamum atau takut terhadap anak dengan apabila puasa itu membahayakan sang anak meskipun dia tidak takut akan kecelakaan anak, berbeda dengan orang yang telah mengungkapkan dengan kecelakaan, dari sana imam Qomuli dan lainnya berkata: Kekhawatiran terhadap anak adalah apabila orang yang hamil itu keguguran atau air susunya menjadi sedikit dalam satu kecelakaan atau hilang maka berbuka, serta apa yang telah disebutkan adalah wajib sebagai bandingan dari apa yang telah lalu mengenai tayamum meskipun anak itu adalah anak orang lain dan meskipun anaknya musuh menurut satu aspek karena anak musuh itu adalah dihormati berbeda dengan pendapat Imam Zarkasyi.

Kanzur Roghibin ala syarkhil minhaj wa khasyiyah al-Qalyubi juz II Hal: 60

وَأَمَّا الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ فَإِنْ أَفْطَرَتَا خَوْفًا مِنَ الصَّوْمِ عَلَى ( نَفْسِهِمَا ) وَحْدَهُمَا أَوْ مَعَ وَالِدَيْهِمَا كَمَا قَالَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ بِلاَ فِدْيَةٍ كَالْمَرِيْضِ أَوْ خَوْفًا عَلَى الْوَلَدِ أَيْ وَلَدِ كُلٍّ مِنْهُمَا لَزِمَتْهُمَا مَعَ الْقَضَاءِ الْفِدْيَةُ فِي الْأَظْهَرِ.

"Adapun orang hamil dan menyusui jika keduanya berbuka karena takut sebab puasa terhadap diri mereka sendiri atau takut bersama kedua anaknya sebagaimana yang telah dikatakan dalam syarakh muhadzab, maka wajib atas keduanya mengqada' tanpa fidyah seperti orang sakit, atau berbuka karena takut terhadap anak yakni anak masing-masing dari keduanya maka wajib atas keduanya mengqadha' puasa beserta membayar fidyah menurut pendapat yang lebih jelas.

Bujairomi Khotib Juz I hal: 344-345

وَالشَّيْخَانُ عَجَزَ عَنِ الصَّوْمِ كَأَنْ يَلْحَقَهُ بِهِ مَشَقَّةٌ شَدِيْدَةٌ ( يَفْطُرُ وَيُطْعِمُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا وَالْحَامِلُ ) وَلَوْ مِنْ زِنَا ( وَالْمُرْضِعُ ).

"Orang yang sangat tua yang tidak mampu puasa seperti sebab puasa dia akan menjumpai kesulitan yang berat, maka dia boleh berbuka dan memberi makan ornag lain untuk setiap satu hari satu mud bahan makanan pokok. Dan orang yang hamil meskipun dari zina dan orang yang menyusui".

Menjama' sholat bagi seseorang yang akan menjalani operasi hukumnya tidak boleh, kecuali jika sebelum operasi dia sudah dalam keadaan sakit yang membolehkan sholat fardhu dengan duduk, maka boleh menjama' sholat._

Dasar pengambilan hukum

Khasyiyah al-Khaml ala Syarkhil Minhaj Juz I hal: 614

وَعِبَارَةُ ح ل قَوْلُهُ أَيْضًا بِنَحْوِ مَطَرٍ خَرَجَ بِالسَّفَرِ وَالْمَطَرِ غَيْرُهُمَا فَلاَ جَمَعَ بِهِ كَالْمَرَضِ وَالْوَحْلِ وَالرِّيْحِ وَالظُّلْمَةِ وَالْخَوْفِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَعَلَى جَوَازِهِ بِالْمَرَضِ لاَ بُدَّ أَنْ يَكُوْنَ مِمَّا يُبِيْحُ الْجُلُوْسَ فِى الْفَرِيْضَةِ عَلىَ الْأَوْجُهِ خِلاَفًا لِمَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّهُ لاَ بُدَّ أَنْ يَشُقَّ مَعَهُ فِعْلُ كُلِّ فَرْضٍ فِى وَقْتِهِ كَمَشَقَّةِ الْمَطَرِ، اِنْتَهَتْ.

Ibarot al-Khalbi perkataannya juga dengan sebab seumpama hujan, keluar dari sebab perjalanan dan hujan selain keduanya. Maka tidak menjama' sebab selain keduanya
( safar dan hujan ) seperti sakit, lumpur, angin, kegelapan, dan takut menurut qaul yang dapat dipegangi. Dan terhadap kebolehan jama' sebab sakit maka haruslah penyakit itu termasuk hal-hal yang membolehkan duduk dalam sholat fardhu, menurut pendapat yang lebih jelas, berbeda dengan orang yang berpendapat bahwa penyakit itu pasti menimbulkan kesulitan, melakukan sholat fardhu pada waktunya seperti kesulitan yang ditimbulkan oleh hujan.

Bughyatul Mustarsyidin hal: 99

فَائِدَةٌ لَنَا قَوْلٌ بِجَوَازِ الْجَمْعِ فىِ السَّفَرِ الْقَصِيْرِ اخْتَارَهُ البَنْدَنِيْجِيْ وَظَاهِرُ الْحَدِيْثِ جَوَازُهُ وَلَوْ فِى حَضَرٍ كَمَا فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ وَحَكَى الْخَطَّابِي عَنْ أَبي إِسْحَاق جَوَازُهُ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَوْفٌ وَلاَ مَطَرٌ وَلاَ مَرَضٌ وَبِهِ قَالَ ابْنُ الْمَنْذُرِ. أ ه.

Faedah, kami punya pendapat dalam bolehnya bepergian yang dekat yang dipilih oleh al-Bandaniji. Yang nampak dari hadist adalah kebolehan jama' meskipun tidak bepergian dalam syarakh Muslim. Al-Khottobi menceritakan dari Abi Ishaq, kebolehan jama' meskipun tidak bepergian karena hajat, meskipun tidak ada rasa takut dan tidak ada hujan dan tidak sakit. Demikian pendapat Ibnul Mandur.

I'anatut Tholibin Juz II hal: 104

( قَوْلُهُ يَجُوْزُ الْجَمْعُ بِالْمَرَضِ ) أَيْ لِمَا صَحَّ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بِالْمَدِيْنَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ.

Ucapan mushonnif boleh menjama' sebab sakit, artinya karena kebenaran bahwa Rasulullah telah menjama' sholat di Madinah tanpa rasa takut dan hujan.

Khasyiyah al- Jamal 'ala syarkhil minhaj Juz II hal: 332

( وَيُبَاحُ تَرْكُهُ ) بِنِيَّةِ التَّرَخُّصِ ( لِمَرَضٍ يَضُرُّ مَعَهُ الصَّوْمُ ) قَوْلُهُ "بِنِيَّةِ التَّرَخُّصِ" هَذَا قَيِّدٌ فِي جَوَازِ فِطْرٍ لِمَرِيْضٍ وَالْمُسَافِرِ كَمَا فِي شَرْحِ الْبَهْجَةِ فَإِنْ أَفْطَرَ كُلٌّ مِنْهُمَا بِدُوْنِ هَذِهِ النِّيَّةِ أَثِمَ ا ه.

Boleh meninggalkan puasa dengan niat mengambil keringanan karena penyakit, yang puasa itu berbahaya beserta penyakit tersebut. Ucapan mushonnif dengan niat mengambil keringanan ini adalah ikatan bagi kebolehan berbuka bagi orang yang sakit dan bepergian sebagaimana tersebut dalam syarakh kitab al-Bahjah. Maka jika masing-masing dari orang yang sakit dan bepergian berbuka dengan tanpa niat ini, maka dia adalah berdosa.

Qolyubi Juz I hal: 267

) قَوْلُهُ بِالْمَطَرِ ) خَرَجَ بِهِ الْوَحْلُ وَالرِّيْحُ وَالظُّلْمَةُ وَالْخَوْفُ فَلاَ جَمْعَ بِهَا وَكَذَا بِالْمَرَضِ خِلاَفًا لِمَا مَشَى عَلَيْهِ صَاحِبُ الرَّوْضِ تَبَعًا للرَّوْضَةِ مِنْ جَوَازِ الْجَمْعِ بِهِ تَقْدِيْمًا وَتَأْخِيْرًا وَإِنْ قَالَ الْأَذْرُعِيْ أَنَّهُ الْمُفْتِي بِهِ وَنُقِلَ أَنَّهُ نَصَّ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَبِهِ يُعْلَمُ جَوَازُ عَمَلِ الشَّخْصِ بِهِ لِنَفْسِهِ وَعَلَيْهِ فَلاَ بُدَّ مِنْ وُجُوْدِ الْمَرَضِ حَالَةَ الْإِحْرَامِ بِهِمَا وَعِنْدَ سَلاَمِهِ مِنَ الْأَوَّلِ وَبَيْنَهُمَا كَمَا فِي الْمَطَرِ.

Ucapan mushonnif dengan hujan mengecualikan lumpur, angin, kegelapan, dan takut. Maka tidak ada jama' sebab hal-hal tersebut. Demikian pula sebab sakit, berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh pemilik kitab ar-Raudh karena mengikuti pendapat dari kitab ar-Roudhoh karena kebolehan jama' sebab sakit dengan jama' taqdim atau ta'khir meskipun al-Adru'i berpendapat bahwa dia telah memberi fatwa dengan hal tersebut dan dia telah menukil bahwa hal tersebut adalah ketetapan imam syafi'i dan dengan pendapat tersebut dapat diketahui kebolehan amal seseorang sebab sakit untuk dirinya sendiri dan penderitaan atasnya. Dan harus penyakit itu telah ada pada saat takbirotul ihrom pada kedua sholat dan pada salamnya dari sholat yang pertama dan dalam keadaan diantara dua sholat sebagaimana jama' dalam waktu hujan.

Mengkonsumsi hewan yang ditembak dengan senapan angin hukumnya ditafsil:

  1. Jika binatang yang ditembak itu jinak hukumnya haram
  2. Jika binatangnya tidak jinak ( binatang buruan ):
    • Menurut jumhur ulama' haram
    • Menurut Malikiyyah halal dengan syarat membaca basmalah ketika menembak.

Dasar Pengambilan Hukum

Fathul Mu'in wa Khasyiyah tarsyikhul Mustafidin Hal: 50

وَيَحْرُمُ قَطْعًا رَمْيُ الصَّيْدِ بِالْبُنْدُقِ الْمُعْتَادِ الْانَ وَهُوَ مَا يَضَعُ بِالْحَدِيْدِ وَيَرْمِيْ بِالنَّارِ لِأَنَّهُ مُحْرِقٌ مُدَقِّقٌ سَرِيْعًا غَالِبًا قَوْلُهُ ( قَطْعًا ) أَيْ بِلاَ خِلاَفٍ عِنْدَنَا بِخِلاَفِ الرَّمْيِ بِبُنْدُقِ الطِّيْنِ فَفِيْهِ خِلاَفٌ يَأْتِيْ. وَقَالَ الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ الرَّمْيِ بِبُنْدُقِ الرَّصَاصِ الْمَعْرُوْفِ الَْأَنَ وَحِلٌّ أَكْلُ مَا صِيْدَ بِهِ بِشَرْطِ التَّسْمِيَّةِ بِهِ عَنْدَ ( الرَمْيِ ) فَإِنْ تَرَكَهَا سَهْوًا لَمْ يَضُرَّ.

Dan haram secara pasti menembak binatang buruan dengan senapan yang sudah biasa sekarang ini, yaitu apa yang diletakkan dengan besi dan dilemparkan dengan api karena senapan itu membakar dan menghancurkan dengan cepat pada umumnya. Ucapan mushonnif secara pasti artinya tanpa ada perbedaan pendapat diantara kitab berbeda dengan melempar, menembak dengan senapan tanah dalam hal ini ada perbedaan pendapat yanga akan datang. Madzhab Maliki berpendapat mengenai kebolehan menembak dengan senapan timah yang telah diketahui sekarang ( senapan angin ) dan halal memakan apa yang diburu dengannya dengan syarat membaca basmalah pada waktu menembak, jika meninggalkan bacaan basmalah karena lupa tidak berbahaya.

Khasyiyah ad-Dasuqi Juz II hal: 103

اَلْحَاصِلُ أَنَّ الصَّيْدَ بِبُنْدُقِ الرَّصَاصِ لَمْ يُوْجَدْ فِيْهِ نَصٌّ لِلْمُتَقَدِّمِيْنَ لِحُدُوْثِ الرَّمْيِ بِهِ لِحُدُوْثِ الْبَارُوْدِ فِيْ وَسَطِ الْمِائَةِ الثَّامِنَةِ وَاخْتَلَفَ فِيْهِ الْمُتَأَخِّرُوْنَ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ بِالْمَنْعِ قِيَاسًا عَلَى بُنْدُقِ الطِّيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ بِالْجَوَازِ كَأَبِيْ عَبْدِ اللهِ الْقُوْرِيْ وَابْنِ الْمَنْجُوْرِ وَسَيِّدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ الْقَادِرِ الْفَاسِيْ لِمَا فِيْهِ مِنَ الْإِنْهَارِ وَالْإِجْهَازِ بِسُرْعَةٍ الّذِيْ شُرِعَتِ الذَّكَاةُ لِأَجْلِهِ وَقِيَاسُهُ عَلَى بُنْدُقِِ الطِّيْنِ فَاسِدٌ لِوُجُوْدِ الْفَارِقِ وَهُوَ وُجُوْدُ الْخَرْقِ وَالنُّقُوْدِ فِي الرِّصَاصِ تَحْقِيْقًا وَعَدَمُ ذَالِكَ فِي بُنْدُقِ الطِّيْنِ وَإِنَّمَا شَأْنُهُ الرَّضُّ وَالْكَسْرُ وَمَاكَانَ هَذَا لَا يُسْتَعْمَلُ لِأَنَّهُ مِنَ الْوَفْدِ الْحَرَامِ بِنَصِّ الْقُرْأَنِ ِ.ا ه.

Pada hasilnya bahwa berburu dengan senapan angin tidak didapati padanya nash/ketetapan hukum daripada ulama terdahulu karena menembak dengan senapan angin itu adalah hal yang baru karena kebaharuan bahan peledak pada pertengahan abad kedua. Dalam hal ini ulama' mutaakhir berbeda pendapat, diantara mereka ada yang berpendapat dengan kebolehan seperti Abu Abdillah al-Fauri Ibnul Manjur, Sayyid Abdur Rohman, Abdul Qodir al-Fasi, karena dalam peluru timah tersebut ada pengaliran darah dan pembunuhan yang cepat yang penyembelihan disyariatkan karenanya. Pengqiasan peluru timah dengan peluru tanah adalah rusak (tidak benar) karena wujud perbedaaan yaitu wujud lubang dan pecah pada peluru timah secara nyata dan ketiadaan hal tersebut pada peluru tanah. Hanyasanya kepentingan peluru tanah adalah meremukkan dan apa yang ada seperti ini tidak boleh dipergunakan karena peluru tanah itu melemparkan benda yang diharamkan menurut nash al-Qur'an.

Syarah Shohih Muslim Fi Hamisy Irsyad as-Sari Juz II Hal: 136

وَقَالَ مَحْكُوْلٌ وَالْأَوْزَعِيِّ وَغَيْرُهُمَا مِنْ فُقَهَاءِ الشَّافِعِيِّ بِحِلٍّ مُطْلَقًا كَذَا قَالَ هَؤُلاَءِ وَابْنُ أَبِيْ لَيْلَى أَنَّهُ يَحِلُّ مَاقَتَلَهُ بِالْبُنْدُقَةِ. إلخ

Makhqul, Auzai'i dan selainnya berkata tentang kehalalan secara mutlak demikian pula pendapat mereka dan Ibnu Abi Laila bahwa sesungguhnya halal memakan binatang yang dibunuh dengan peluru.

Al-Bujairimi alal Iqna' Juz IV hal: 275

وَأَفْتَي ابْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ بِحُرْمَةِ الرَّمْيِ بِالْبُنْدُقِ وَبِهِ صَرَحَ الدَّخَائِرُ لِكَيْ أَفْتَي النَّوَاوِيْ بِجَوَازِهِ---إِلَى أَنْ قَالَ---وَهَذَا كُلُّهُ بِالنّسْبَةِ لِحِلِّ الْمَرْمَى الَّذِيْ هُوَ الصَّيْدُ فَإِنَّهُ حَرَامٌ مُطْلَقًا.

Ibnu Abdis Salam telah memberi fatwa tentang keharaman menembak dengan peluru, dengan keharaman tersebut Ad-Dakhoir menjelaskan agar imam Nawawi memberi fatwa dengan kebolehannya, sampai katanya ini seluruhnya dibangsakan kepada kehalalan menembak. Adapun dihubungkan dengan kehalalan binatang yang ditembak yaitu binatang buruan maka binatang itu adalah haram secara mutlak.

Akad nikah yang memanfaatkan jasa wali hakim hukumnya ditafsil:

  1. Jika kepergiannya mencapai masafatil qashri, hukumnya boleh
  2. Jika kurang dari masafatil qashri, hukumnya tidak boleh kecuali:
    • ta'adzurul murji'ah ( tidak bisa meminta izin wali seperti karena takut ).
    • Harus kufu'
    • Atas kemauan perempuan sendiri

Dasar Pengambilan hukum

I'anatut Tholibin Juz III hal: 307

(قَوْلُهُ لاَ لِحَاكِمٍ ) أَيْ لاَ يَنْقُلُهَا لِلْحَاكِمِ مَعَ وُجُوْدِ وَلِيٍّ مِنَ الْأَقْرِبَاءِ وَلَوْ كَانَ بَعِيْدًا وَذَلِكَ لِإَنَّ الْحَاكِمَ إِنَّمَا هُوَ وَلِيُّ مَنْ لاَوَلِيَ لَهُ وَالْوَلِيُّ هُنَا مَوْجُوْدٌ.ا ه.

Ucapan mushonnif: tidak boleh pindah kepada hakim artinya ( perwalian itu tidak boleh pindah kepada hakim beserta wujud dari wali dari kerabat meskipun jauh. Yang demikian itu karena sesungguhnya hakim itu adalah wali dari orang yang sama sekali tidak ada wali baginya, sedangkan di sini wali itu ada.

Bughyatul Mustarsyidin Hal: 206

(مَسْئَلَةُ ش ) غَابَ وَلِيُّهَا مَرْحَلَتَيْنِ مِنْ بَلَدِهَا فَأَذِنَتْ لِلْحَاكِمِ يَعْنِيْ الَّذِيْ شَمُلَ حُكْمُهُ لِبَلَدِهَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِهَا صَحَّ وَإِنْ قَرُبَ مِنْ مَحَلِّ الْوَلِيِّ أَوْ كَانَا فِيْ بَلَدٍ وَاحِدَةٍ بَلْ وَإِنْ كَانَ الْقَاضِيُ الْمَذْكُوْرُ أَبْعَدَ مِنْ مَحَلِّ الْوَلِيِّ إِلَى الْمَرْأَةِ لِأَنَّ الْعِلَّةَ وَهِيَ غِيْبَةُ الْوَلِيِّ الَّتِيْ هِيَ شَرْطٌ لِثُبُوْتِ وِلَايَةِ الْحَاكِمِ وُجِدَتْ وَلاَ عِبْرَةَ بِالْمَشَقَّةِ وَعَدَمِهَا.

(Masalah syin) wali seorang perempuan pergi sejauh dua marhalah dari negeri perempuan tersebut, kemudian perempuan tersebut memberi izin kepada hakim yaitu yang hukum dari si hakim meliputi negeri dari perempuan tersebut. Dan jika hakim itu tidak berada dinegeri perempuan maka sah meskipun dekat dengan tempat wali atau keduanya wali dan hakim berada di satu kota bahkan meskipun qodhi yang telah disebutkan ( hakim ) lebih jauh tempatnya dari tempat si wali kepada perempuan tersebut karena yang menjadi alasan adalah kepergian wali yang menjadi syarat ketetapan bagi kewalian hakim yang telah didapati. Dan sama sekali tidak diperhitungkan mengenai masyaqqat( kesulitan) dan ketiadaannya.

Nihayatul Mukhtaj Juz: 6 Hal: 241

وَلَوْ غَابَ الْوَلِيُّ الْأَقْرَبُ نَسَبًا أَوْ وَلاَءً إِلَى مَرْحَلَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ وَلَوْ بِحُكْمٍ بِمَوْتِهِ وَلَيْسَ لَهُ وَكِيْلٌ حَاضِرٌ فِيْ تَزْوِيْجِ مَوْلِيَتِهِ زَوَّجَ السُّلْطَانُ لاَ الْأَبْعَدُ وَإِنْ طَالَتْ غَيْبَتُهُ وَجَهُلَ مَحَلُّهُ وَحَيَاتُهُ لِبَقَاءِ أَهْلِيَّتِهِ الْغَائِبِ وَأَصْلِ بَقَائِهِ.

Andaikata wali nasab yang paling dekat atau orang-orang yang memiliki hak perwalian pergi sampai dua marhalah atau lebih meskipun dihukumi kematian wali tersebut dan tidak ada bagi wali wakil yang hadir dalam menikahkan wanita yang dibawah perwaliannya maka sultanlah yang menikahkannya, bukan wali yang jauh meskipun lama kepergiannya dan tidak diketahui tempatnya dan kehidupannya karena ketetapan perwalian dari orang yang pergi dan asal dari ketetapannya.

Ghoyatu Talkhisil Murod Hal: 208

أَخَذَ رَجُلٌ إِمْرَأَةً عَنْ أَهْلِهَا قَهْرًا وَبَعَّدَهَا عَنْ وَلِيِّهَا إِلَى مَسَافَةِ الْقَصْرِ وَكَذَا دُوْنََهُ إِنْ تَعَذَّرَتْ مُرَاجَعَتُهُ لِنَحْوِ خَوْفٍ صَحَّ نِكَاحُهَا بِإِذْنِهَا إِنْ زَوَّجَهاَ الْحَاكِمُ مَنْ كَفَءَ إِذْ لَمْ يُفَارِقِ الْأَصْحَابُ بَيْنَ غَيْبَةِ الْوَلِيِّ وَغَيبَتُهَا وَلاَ بَيْنَ غَيْبَتُهَا بين أَنْ تَكُوْنَ مَكْرُوْهَةً عَلَى السَّفَرِ أَوْ مُخْتَارَهُ بَلْ أَقُوْلُ لَوْ كَانَ لَهَا وَلِيٌّ بِالْبَلَدِ وَعَضِلِهَا بَعْدَ أَن دعته إِلَى كَفْئِ وَتَعَسَّرَ لَهَا إِثْبَاتُ عَضْلِهِ فَسَافَرَتْ إِلَى مَوْضِعٍ بَعِيْدٍ عَنِ الْوَلِيِّ وَأَذِنَتْ لِقَاضِ الْبَلَدِ الَّتِيْ انْتَقَلَتْ إِلَيْهِ فِيْ تَزْوِيْجِهَا مِنَ الْكَفْئِ صَحَّ النِّكَاحُ وَلَيْسَ تَزْوِيْجُ الْحَاكِمِ فِى الْأَوَّلِ مِنْ رُخَصِ السَّفَرِ الَّتِيْ لاَ تُنَاطُ بِالْمَعَاصِيْ كَمَا يَتَخَيَّلُ ذَالِكَ نَعَمْ قَدِ ارْتَكَبَ الْمُتَعَاطِيْ لِذَالِكَ بِقَهْرِهِ الْحُرَّىُ وَالسَّفَرُ بِهَا وَتَغْرِيْبِهَا عَنْ وَطَنِهَا مَالاَ يَحِلُّ فِي الدِّيْنِ وَلاَ يَرْتَضِي بَلْ ذَالِكَ مِنَ الْكَبَائِرِ الْعِظَامِ الَّذِيْ تَرَدَّدَ بِهَا الشَّهَادَةُ وَيَحْصُلُ بِهَا الْفِسْقُ.

I'anatut Tholibin Juz:III Hal: 267

( قَوْلُهُ لاَ تَزْوِيْجَ ......إلخ ) لَوْ عَينت لِلْوَالِيْ الْمُجْبِرِ كَفَأَ وَهُوَ عين لها كفئ أخر أو غير كفئها لاَ يَكُوْنُ عَاضِلاً بِذَالِكَ فَلاَ يُزَوِّجُهَا الْقَاضِيْ بَلْ تَبْقَى الْوِلاَيَةُ لَهُ وَذَالِكَ لِأَنَّ نَظْرَهُ عَلَى مَنْ نَظَرَهَا فَقَدْ يَكُوْنُ معينه أصلح لها من معينها أي إِنْ قَالَ لاَ يُزَوِّجُ الْقَاضِيْ حِيْنَئِذٍ وَإِنْ كَانَ من عينه المجبر أقل من الكفائة من عينته هي لأنه لا يكون عاضلا بذالكز


Dikelola oleh Nun Media