Bahtsul Masail Diniyah


Nikah wanita hamil dan akibat yang ditimbulkan

Kami ingin menyampaikan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut, mengingat sangat berkenaan dengan tugas kami:

  1. Bagaimana hukumnya perkawinan wanita hamil, yang hamilnya sulit untuk dinisbatkan sebelum/sesudah cerai mati/hidup sudah jelas kumpul tidur dengan laki-laki lain? Mohon dijelaskan berkenaan dengan iddah dari wanita tersebut.
  2. Kalau anak yang lahir dari wanita tersebut (no.1) perempuan, siapakah yang berhak menjadi wali nikahnya?
  3. Bagaimana hukumnya wanita hamil (perkawinannya) yang jelas hamilnya hasil zina dengan laki-laki lain, karena wanita itu tak punya suami? Mohon dijelaskan berkenaan dengan apakah wanita itu memiliki masa iddah atau tidak?
  4. Kalau wanita tersebut (no.3) melahirkan anak perempuan, siapakah yang berhak menjadi wali nikahnya?
  5. Kalau suatu perkawinan (sudah dilaksanakan) yang menurut hasil pemeriksaan secara Islam (sebelum dikawinkan) sudah memenuhi syarat dan rukun nikah, tapi setelah selesai beberapa hari dari akad nikah ternyata penentuan walinya salah (tidak sengaja) akibat ada informasi baru dari pihak keluarga yang dapat dibenarkan secara hukum Islam. Hasil pemeriksaan sebelumnya: yang berhak menjadi wali adalah wali hakim, karena dari wali nasab tidak ada sama sekali atau ada tapi tidak memenuhi syarat sebagai wali, maka:
    1. Bagaimana hukumnya perkawinan tersebut?
    2. Bagaimana cara mengatasinya?
    3. Dalam keadaan yang tidak disengaja, dosakah pemeriksa/wali hakimnya yang mengawinkan, yang sudah mendapat izin mengawinkan dari pihak mempelai perempuan?
  6. Bagaimana hukumnya wali hakim/muhakkam dalam perkawinan berwakil kepada orang lain?

Jawaban:

  1. Dalam hal ini harus dilihat lebih dahulu perceraian wanita tersebut dengan suaminya. Jika cerai karena suaminya mati, maka iddahnya 4 bulan 10 hari, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 134; dan jika cerai hidup, maka iddahnya adalah 3 kali suci, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228.

    Kemudian kita teliti kehamilan wanita tersebut. Jika janin yang ada dalam perut wanita tersebut sudah berumur 4 bulan misalnya, sedangkan dia baru 6 bulan dicerai atau ditinggal mati suaminya, maka berarti kehamilan tersebut dimulai pada waktu wanita tersebut masih dalam waktu iddah; dengan demikian maka janin yang ada dalam perutnya dinisbatkan kepada suaminya yang mati atau menceraikannya, sehingga wanita tersebut harus menjalani iddah sampai melahirkan anaknya.

    Jika kehamilannya mulai sesudah iddahnya dari suaminya yang mati atau menceraikannya habis, maka janin yang ada dalam perutnya dihukumi sebagai hasil dari zina dengan laki-laki lain yang mengumpulinya. Dalam hal ini wanita tersebut tidak memiliki iddah meskipun dalam keadaan hamil, artinya boleh dikawin oleh lelaki lain.

  2. Jika janinnya dapat dinisbatkan kepada suaminya yang mati atau menceraikannya, maka walinya adalah wali nasab. Jika janinnya adalah hasil zina, maka yang menjadi wali nikahnya adalah hakim, karena anak tersebut hanya dapat dinisbatkan kepada ibunya saja.

  3. Wanita yang hamil dari zina tidak mempunyai iddah, sehingga dia boleh dikawini oleh laki-laki yang berzina dengannya atau laki-laki lain dalam keadaan hamil.

    Dasar pengambilan:

    1. Kitab al-Madzahibul Arbaah juz 4 halaman 523

      أمَّ وَطْءُ الزِّنَا فَإِنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءُهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعى.

      Adapun wathi zina (hubungan seksual di luar nikah), maka sama sekali tidak ada iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari zina dan menyetubuhinya sedangakan di dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah menurut madzhab Syafii.

    2. Kitab Bughyatul Musytarsyidin halaman 201

      (مسألَة ش) وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءٌ الزَّانِى أو غَيْرُهُ وَوَطْءُهَا حِينَئِذٍ مَعَ الكَرَاهَةِ.

      (Masalah Syin) Boleh menikahi wanita hamil dari zina, baik oleh laki-laki yang berzina dengannya atau orang lain; dan boleh menyetubuhi waktu itu dengan hukum makruh.

  4. Yang berhak menjadi wali adalah hakim.

    Dasar pengambilan:

    Kitab Sunan Ibn Maajah juz 1 halaman 605

    ... فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَالِيَ لَهُ.

    …maka sultan itu adalah wali dari orang yang sama sekali tidak mempunyai wali.

    1. Hukum pernikahannya batal, karena dinikahkan oleh bukan walinya.

      Dasar pengambilan:

      Kitab Sunan Ibn Maajah juz 1 halaman 605

      عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يَنْكِحْهَا الوَلِيُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمضا اَصَابَ مِنْهَا. فإِنِ اشْتَجَارُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.

      Diriwayatkan dari Aisyah ra. Beliau berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Yang manapun dari seseorang perempuan yang walinya tidak menikahkannya, maka nikahnya adalah batal. Jika laki-lakinya telah menyetubuhinya, maka perempuan tersebut berhak mendapat mahar/maskawin sebab persetubuhan yang diperoleh laki-laki dari perempuan tersebut. Jika diantara anggota keluarga tidak ada yang berhak menjadi wali, maka sultan adalah wali dari orang yang sama sekali tidak mempunyai wali.

    2. Cara mengatasinya adalah harus dilakukan nikah ulang oleh walinya sendiri.

    3. Tidak berdosa, karena tidak disengaja.

  5. Sebagaimana wali nasab boleh mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya, maka wali hakim juga boleh mewakilkannya, sebab hakim itu adalah wali yang sah bagi perempuan yang sama sekali tidak mempunyai wali nasab.