Bahtsul Masail Diniyah


Polok dalam salat

Menanggapi keterangan kiai di Bahtsul Masail AULA nomor: 04/Tahun XV/April 1993. Perlu saya sampaikan bahwa, pada suatu hari pengajian rutin di masjid As-Sa'adah Keputih Jl. Arief Rachman Hakim 17 Surabaya yang diasuh almarhum KH. Thohir Syamsuddin, menjelaskan pakaian orang laki-laki bila salat mata kakinya harus kelihatan.

Beliau menyampaikan sebuah hadist Nabi, intinya pakaian Nabi itu hingga betisnya kelihatan (saya lupa, apa ada kata-kata masuk neraka atau tidak, sebagaimana yang diberikan oleh penanya di atas).]

Beliau menyimpulkan, bahwa pakaian yang menutup mata kaki (bagi orang laki-laki) itu, hukumnya haram dan salatnya tidak diterima. Bahkan beliau menyampaikan, bila yang tertutup mata kakinya itu Imam, makmum wajib mengingatkan atau mufaraqah.

Jawaban:

Kami sangat berterima kasih atas tanggapan saudara terhadap keterangan di Bahtsul Masail AULA nomor: 04/Tahun XV/April 1993. Hanya kami sayangkan bahwa saudara mengemukakan kesimpulan dari Al-Maghfurlah KH. Thohir Syamsuddin, sehingga kita sekarang ini tidak dapat mengecek kebenarannya.

Sepanjang pengetahuan yang kami peroleh dari kitab-kitab agama yang telah kami baca, kami belum menjumpai ibarat yang mewajibkan makmum mengingatkan imam yang dilihat tertutup mata kakinya, apalagi mufaraqah.

Memang hukumnya haram bagi orang yang salat dengan merendahkan (menjulurkan/menurunkan) pakaiannya, karena dorongan kesombongan. Akan tetapi jika tidak didorong oleh kesombongan maka hukumnya makruh saja. Dalam kitab Irsyadul 'Ibad halaman 28 tertulis sebagai berikut:

وَيَحْرُمُ إنْزَالُ ثَوبِهِ أو إزَارِهِ عَنْ كَعْبَيْهِ بِقَصْدِ الخَيْلاَءِ وَإِلاَّ كُرِهَ.

dan haram menurunkan pakaiannya atau sarungnya melewati kedua mata kakinya dengan maksud menyombongkan diri. Namun jika tidak dengan maksud tersebut, maka dihukumi makruh.

Sedangkan orang yang salat yang sengaja melakukan perbuatan haram, misalnya salat dengan memakai sarung gasaban atau di atas sajadah gasaban, maka menurut madzhab Syafi'i salatnya tetap sah meskipun tidak mendapat pahala, sehingga tidak ada alasan untuk tidak sah untuk dijadikan imam.