Kolom Gus


Pahlawan

Pahlawan adalah orang yang sangat gagah berani. “Pejuang yang gagah berani atau yang terkemuka“, kata WJS. Purwodarminto mengartikan pahlawan dalam kamus bahasa Indonesia.

Batasan itu sangat luas. Penuh makna dan memberikan kesampatan untuk ditafsirkan berbeda-beda. Karena ukurannya hanya yang gagah berani. Tidak ada penjelasan gagah berani dalam hal apa. Untuk apa dan menurut siapa. Padahal kenyataannya gagah berani itu bisa bermacam-macam.

Dalam realitas, kata pahlawan acapkali bertukar makna dengan kata-kata lain yang berlawanan, seperti pemberontak, penghianat, pengacau dan kata-kata lain yang sejenis. Pejuang-pejuang Gerakan Atjeh Merdeka mungkin dianggap pahlawan oleh sebagian kelompok masyarakat Aceh yang memang berharap dapat merdeka karena tekanan militer yang biadab. Begitu juga pejuang-pejuang Fretelin akan mendapat gelar pahlawan kemerdekaan. Namun di sisi lain mereka itu tak lebih dari pengacau keamanan di hadapan petinggi militer Indonesia atau bahkan di hadapan bangsa Indonesia.

Dalam dunia pewayangan cerita semacam itu juga ada. Bangsa Astina menganggap Karna dipandang sebagai pahlawan. Ia tidak sekedar sebagai penasihat perang. Ketika ditunjuk sebagai senopati, langsung sepakat. Ia dengan gagah berani telah mempertaruhkan nyawanya untuk membela bangsa Astina. Tidak tanggung-tanggung, orang yang diperangi adalah saudara-saudara sekandungnya sendiri, Bangsa Pendawa. Deras air mata ibunya, Dewi Kunti tak mampu meluluhkan keras hati Karna. Ia gugur di medan perang, setelah terbunuh oleh pusaka Pasopati yang ditancapkan Arjuna, adiknya sendiri. Sebelum mati, beberapa nyawa kerabat Pendawa melayang, termasuk nyawa Gatutkaca anak Werkudara. Karena itulah, oleh Pendawa, Karna dianggap sebagai pengkhianat, tidak punya rasa persaudaraan tinggi. Karna rela membunuh kerabat kandung demi bangsa lain.

Orang lantas bertanya, “Kalau begitu pahlawan itu mesti yang bagaimana?” Pahlawan memang orang yang sangat gagah berani, sebagaimana dikatakan Purwadarminta. Tetapi, didalam gagah berani itu harus ada pondasinya. Ya hati nurani, kebenaran, etika, moral, yang bertumpu pada manusia dan kemanusiaan. Sebab kalau tidak demikian, maling pun bisa disebut pahlawan.

Sebenarnya, gejala mudah merasa menjadi seorang pahlawan setelah terkesan gagah (meski sebenarnya picik) tidak asing lagi disekitar kita. Bahkan untuk menunjukkan rasa gagahnya mereka berupaya merampas hak orang lain dengan berbagai cara dan mencari-cari kelemahan sang korban.

Nurani nomor seratus bagi mereka. Atau bahkan kegilaan mereka untuk dapat disebut pahlawan, mereka tidak lagi meraba nurani untuk sekedar berusaha menghormati (perasaan) orang lain. Tapi berusaha menuntut hak untuk selalu dihormati karena dia adalah seorang pahlawan. Bagaimana tidak, di lingkungan sekitar kita mereka yang tak ada kaitan sama sekali dengan militer, mereka sibuk membuat satgas ini-satgas itu. Mereka dengan gagah berani memamerkan diri sebagai cecunguk militer, tanpa peduli sebenarnya mereka tak ada artinya di hadapan komunitas militer. Sepatu lars ala tentara dan seragam hijau yang dengan bangga mereka pamerkan seakan menjadi legalitas untuk merakusi segala kelemahan orang lain demi kenikmatan pribadi.

Sebenarnya, ketika saya masih di pesantren, saya pernah mendengar Mbah Yai bercerita tentang seorang wali yang menyatakan bahwa kalaupun nuranimu menghalalkan pencurian, maka pencurian itu halal hukumnya. Hal ini mengingat nurani manusia adalah tempat dimana nur ilahi bersemayam. Sebuah cahaya hati yang tak mungkin mendukung kekeliruan dalam bentuk yang sekecil apapun. Namun kini saya menjadi ragu dengan pernyataan itu, ketika saya melihat betapa ambisi-ambisi segelintir mahasiswa untuk menjadi pahlawan seakan tanpa nurani. Akankah nurani mereka telah menjadi robot-robot ambisi seorang pahlawan. Logikanya mahasiswa yang belajar dalam komunitas kampus yang berlabel Islam, tidaklah semestinya mencari-cari kelemahan orang lain dan kemudian merakusi apa yang menjadi hak miliknya. Tapi label Islam itu tak lagi berguna atau bahkan tenggelam jauh dibebani ambisi seorang Pahlawan.

Yang pasti mungkin kita perlu menggelar seminar tentang arti pahlawan yang sebenarnya. Atau setidaknya kita beramai-ramai menemui Purwadarminta untuk mempertanggungjawabkan arti kepahlawanan yang dia buat, karena saat ini di negara kita punya kerikil-kerikil yang siap menterjemahkan arti pahlawan yang seluas-luasnya untuk merakusi orang-orang lugu yang masih punya dan mengandalkan nurani dan bersikukuh di jalan yang benar.

Penulis:
Achsan Masduqie