Rubrik Tanya Jawab


Edit

Sarung di atas mata kaki dan Jumatan di luar masjid

Pertanyaan

  1. Saya sering melihat pria yang sholat dengan sarung di atas mata kaki. Apakah itu dianjurkan dalam sholat? Jika memang dianjurkan, apa dalilnya?
  2. Di Jakarta lahan parkir sering digunakan untuk sholat jumat. Apalagi di pusat perbelanjaan, sering orang-orang di sana menggunakannya, mengingat untuk pergi ke mesjid cukup jauh. Selama ini mereka hanya berpikir yg penting bershalat Jum'at. Walaupun bukan di dalam masjid dan menghindari dari lalai shalat Jumat. Yang ingin saya tanyakan apakah shalat Jumat yang dilakukan di luar masjid tersebut sah? Jarak antara pusat perbelanjaan(mall) ke masjid kira 3 km.

Mohon penjelasan dan dalil sahih.

Jawaban

  1. Perilaku tersebut berdasarkan dalil hadits:

    عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ َقالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِي صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنْ اللَّهِ فِي حِلٍّ وَلَا حَرَامٍ

    Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjulurkan sarung dalam shalatnya karena angkuh/sombong maka orang itu tidaklah menuju Allah dan juga tidak menjalankan kewajiban-Nya." (HR. Abu Dawud)

    Hadits di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak diperkenankan menjulurkan pakaiannya melebihi betis untuk kesombongan. Bila hal itu dilakukannya dalam sholat maka orang tersebut dianggap tidak menjalankan sholat karena Allah. Potongan terakhir dari hadits di atas fa laisa min Allah fi hillin wa laa haraamin oleh Imam Nawawi ditafsiri sebagai orang tersebut membebaskan diri dari Allah dan melepaskan diri dari agama Allah. Sebagian ulama yang lain menafsiri bahwa orang tersebut tidak mengimani kehalalan dan keharaman (yang ditentukan) Allah. Lebih jelas baca Faidul Qodir Juz 6 halaman 68.

    Namun dengan hadits di atas, kita tidak bisa serta merta menuduh orang yang menjulurkan bajunya ketika shalat atau dalam keadaan yang lain sebagai orang yang melepaskan dirinya dari agama Allah, atau menganggap orang itu melanggar larangan Rasulullah. Karena dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda:

    عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ

    Abdullah Ibn Umar berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa menjulurkan bajunya karena sombong/tinggi hati, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat". Kemudian Abu Bakar Assiddiq berkata, "Salah satu dari bagian bajuku (selalu) terjulur kecuali bila aku menjaganya terus (agar tidak terjulur)." Kemudian Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya engkau berbuat demikian tidak karena sombong". (HR. Bukhari)

    Hadits ini menjelaskan bahwa keharaman menjulurkan baju/celana/sarung melebihi mata kaki adalah bila hal itu dilakukan karena kesombongan atau kepongahan seperti bila kita melihat mempelai pengantin yang bajunya dibuat menjulur hingga beberapa meter. Karena itu pulalah Al Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqiel menyatakan bila seseorang menggunakan pakaian/celana/sarung yang panjangnya melebihi mata kaki bukan karena sombong tetapi lebih ditujukan pada keindahan, maka hal itu tidaklah haram, bahkan dia menjalankan kesunnahan yang lain. Pernyataan Habib Husein ini diperkuat oleh hadits riwayat Muslim yang menyatakan:

    عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

    Dari Rasulullah bersabda, "Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi”. Seseorang berkata, "Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai bajunya bagus dan alas kakinya bagus.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah penyalahgunaan kebenaran dan meremehkan manusia.”

  2. Mengenai shalat Jumat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhkan dalam mendirikan shalat Jumat. Di antara yang terkait dengan pertanyaan adalah:

    "Diadakan dalam bangunan tidak harus di masjid, bukan tanah lapang atau jalanan. Kecuali bila tanah lapang atau jalanan itu bersambung sebagai limpahan jamaah dari masjid."

    Berdasar Kifayatul Akhyar Juz 1 halaman 147:

    وَيُشْتَرَطُ فِى الأَبْنِيَةِ أَنْ تَكُونَ مُجْتَمِعَةً فَلَو تَفَرَّقَتْ لَمْ يَكْفِ

    Dan disyaratkan bangunan yang digunakan merupakan tempat yang (luas untuk) mengumpulkan, kalau bangunan itu terpisah maka tidaklah cukup. Diikuti oleh minimal 40 orang mustautin/penduduk setempat/orang yang bukan tamu di daerah itu.

    وَأَنْ يَكُونَ العَدَدُ أَرْبَعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الجُمْعَةِ

    Dan jumlahnya harus ada 40 orang dari ahli Jumat.

    Pada keputusan Muktamar NU ke 27 di Situbondo disebutkan bahwa:

    • Menyelenggarakan shalat Jumat di tempat-tempat seperti kantor, apabila diikuti warga yang tinggal menetap (sampai bilangan yang menjadi syarat sahnya Jumatan).
    • Tidak ada penyelenggaraan Jumatan ganda. Jarak minimal antara pendirian Jumatan yang satu dengan yang lain menurut Keputusan Muktamar NU ke-6 di Pekalongan adalah 1666.667 meter.
    • Maka hukum pendirian Jumat yang dilakukan adalah sah.

    Apabila seluruh jamaah merupakan musafir, tidak ada penduduk setempat yang mengikuti, maka menurut Imam Syafi'i hukumnya tidak sah. Tetapi menurut Imam Abu Hanifah sah berdasar kitab Majmu’ juz 4 halaman 505:

    (فَرْعٌ) لاَ تَنْعَقِدُ الجُمُعَةُ عِنْدَنَا لِلْعَبْدِ وَلاَ المُسَافِرِيْنَ وَبِهِ قَالَ الجُمْهُور. وَقَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ تَنْعَقِدُ

    (Pasal) Tidak sah jumat menurut kita (madzhab Syafi'i) bagi seorang hamba sahaya dan bagi orang musafir. Hal ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama. Imam Abu Hanifah berkata, "(Jumatnya hamba dan musafir) sah."

    Yang dimaksud tidak sah dalam dalil di atas adalah seorang musafir atau hamba sahaya tidak dapat melengkapi kebutuhan 40 orang jamaah yang menetap. Seandainya ada jamaah Jumat yang memenuhi persyaratan dan diikuti oleh sang musafir, maka shalat Jumat bagi musafir itu sah.

    Mengingat repotnya ketentuan jumat ini, maka sebenarnya bepergian pada hari Jumat tidak dianjurkan. Bahkan bila kita berangkat sesudah subuh dan yakin akan ketinggalan Jumat maka hukum bepergian itu menjadi haram. Berdasar kitab Majmu’ juz 8 halaman 84:

    قال أصحابنا فان كان يوم جمعة خرجوا قبل طلوع الفجر لان السفر يوم الجمعة بعد الفجر وقبل الزوال إلى حيث لا تصلى الجمعة حرام في أصح القولين

    Ulama Syafi'iyah berkata, "Andai pada hari Jumat orang-orang keluar sebelum fajar (maka keluarnya tidak masalah). Karena bepergian pada hari Jumat setelah fajar dan sebelum tergelincirnya matahari hingga seseorang itu tidak menjalankan shalat Jumat hukumnya haram menurut pendapat terbaik dari dua pendapat."

Semoga dapat dipahami.

Achmad Shampton Masduqie