Shalat Penghilang Pembatas antara Allah dengan Hamba
Indeks > Artikel > Shalat Penghilang Pembatas
KH. Muh. Taqiyyuddin Alawy MT
Sesungguhnya manusia kini tengah terjebak di dalam timbunan kesibukan dunia yang materialistik bersama aneka macam problema jiwa dan ketegangan syaraf yang ditimbulkan oleh nafsunya, mereka sangat membutuhkan sesuatu yang bisa menghibur perasaannya. Melepaskan beban penderitaannya, dan membangkitkan perasaan tentram di dalam hati dan perasaan tenang di dalam jiwa, jauh dari kesulitan, kegelisahan, dan keresahan. Mana mungkin manusia bisa menemukan hal itu di luar naungan Islam dan ibadah-ibadahnya yang agung, yang merupakan terapi rohani yang mutlak ampuh dan tidak tergantikan oleh terapi materi.
Ketahuilah, bahwa ibadah yang memiliki pengaruh terbesar dalam hal itu ialah shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah.
Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” (QS.Al-Baqarah :153)
“Dan dirikanlah shalat.Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut :45)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Bilal radiyallahu ‘anhu :
“Bangkitlah hai Bilal, hiburlah kami dengan shalat.’’
HR. Ahmad, 5:371, dan Abu Daud, 4986
“Dan setiap kali dirundung masalah, beliau selalu melaksanakan shalat.”
HR. Ahmad, 5:388 dan Abu Daud, 1319
Hal itu tidak lain karena shalat adalah komunikasi antara hamba dengan tuannya. Berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shalat memiliki efek yang sangat besar dalam memperbaiki jiwa manusia,bahkan seluruh masyarakat manusia.
Hanya, shalat seperti apakah yang dapat mempererat hubungan komunikasi antara makhluk dan penciptanya?
Shalat seperti apakah yang dapat memberikan efek yang positif di dalam
diri pelakunya, sehingga dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan
munkar, dan bisa membantunya dalam urusan agama dan dunianya;
mendorongnya untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhi hal-hal yang
diharamkan dan dimakruhkan?
Apakah itu shalat jasmani tanpa ruh, badan tanpa hati, gerakan tanpa kekhusyukan, bentuk tanpa esensi, kata-kata tanpa makna?
Bukan! sama sekali bukan! Tetapi shalat Syar’iyah nabawiyah yang dilaksanakan menurut rambu-rambu Alquran dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sesungguhnya shalat yang diserukan Islam merupakan mi’raj ruhani bagi seorang mukmin. Karena ruhnya bisa membawanya mi’raj ( naik ke langit ) setiap kali ia melaksanakan shalat kepada Allah, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah. Ruhnya mengajaknya pindah dari alam materi menuju alam yang tinggi, jernih, suci dan bersih. Di situlah sumber kebahagiaan dan ketenteraman.hati manusia.
Setiap muslim pasti mengetahui kedudukan shalat di dalam agama dan syariat Allah. Karena shalat adalah tiang agama Islam dan garis pemisah antara kufur dan iman. Posisi shalat dalam Islam seperti posisi kepala bagi tubuh. Bila manusia tidak bisa hidup tanpa kepala, begitu pula agama tidak bisa wujud tanpa shalat.
Nash-nash syariat yang menerangkan hal itu sangat banyak. Jika masalahnya sedemikian penting dan krusial maka satu hal yang sangat menyesakkan dada dan menyakitkan hati ialah bahwa di antara orang-orang yang mengaku Islam masih ada orang-orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin, tetapi meremehkan dan menyepelekan shalat. Bahkan terkadang lebih parah dari itu. Laa haula wala quata illa billah!
Akankah mereka berhenti bersikap seperti itu sebelum mereka ditimpa murka Allah, dikepung azab Allah, atau dijemput maut?
Berbahagialah dengan shalat
Bergembiralah bila Allah melapangkan dada kita untuk melaksanakan kewajiban yang agung ini. Kita akan menerima balasan dan anugerah dari Allah, baik di dunia maupun di Akhirat. Karena kita telah melaksanakan kewajiban agama yang agung ini.
Wahai orang-orang yang rajin shalat, ketahuilah bahwa shalat yang diterima oleh Allah harus memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, wajib-wajib, dan adab-adab tertentu. Di samping itu, banyak masalah penting dan kesalahan yang berkembang luas seputar kewajiban ini yang harus diketahui dan dipraktikkan oleh orang-orang yang shalat. Di dalam Musnad Ahmad disebutkan yang artinya kurang lebih demikian:
“Orang yang paling buruk pencuriannya ialah orang yang mencuri sebagian dari shalatnya.’’
al-Musnad, 5:310
Yang dimaksud dengan mencuri di dalam shalat ialah tidak menyempurnakan rukuknya, sujudnya dan khusyuknya.
Dan ada pula riwayat yang menyebutkan, bahwa orang yang selesai shalat akan dicatat dari shalatnya sebesar 25 persen, atau 20 persen, hingga 10 persen saja. (THR. Ahmad, 4:321 dan Abu Daud, 796 )
Ini mengajak setiap muslim yang melaksanakan shalat agar memperhatikan urusan shalatnya, supaya ia tidak kehilangan pahala dan mendapatkan siksa.