Kolom Gus


Edit

Toleran Terhadap Perbedaan Pandang

Saat Abah Kyai Masduqi pertama kali tugas di Tarakan, harus melalui berbagai cobaan yang luar biasa, tiga kali disantet. Penduduk setempat beralasan bahwa beberapa kali pendatang (dari suku) Jawa yang ke tempat itu datang menipu. Santet hanya untuk membuktikan apakah Abah seorang da'i sungguhan. Tidak hanya santet, Abah Masduqi juga dilaporkan atas berbagai fitnah. Bahkan pernah saat mengaji, tiba-tiba dikepung oleh tentara. Setelah rangkaian santet dan fitnah itu tidak mempan, sementara Abah tetap memberikan kesantunan dalam berdakwah tanpa menyakiti. Bahkan bagi salah seorang pembantu Abah saat itu non muslim, Abah diterima berdakwah di kampungnya. Sebagai penghormatan (atau entah budaya mereka), Abah menceritakan bahwa setiap kali Ramadan tiba, Kepala Suku membuat peraturan agar warga tidak ada yang menyalakan kompor (memasak) sepanjang siang kecuali ada yang hamil atau menyusui. Meski kepala suku dan penduduk tidak semuanya Islam.Dalam beberapa kitab dinyatakan:

  1. memberi makan yang haram kepada seorang non muslim itu dilarang,
  2. memberi makanan yang ada kandungan babi itu tidak diperkenankan meski mereka sendiri mengkonsumsinya.

Karena kaidah man akalal haram ashaLLah ahabba am karih, umat Islam tidak diperkenankan bersekutu dalam kemaksiatan.

Ini pulalah yang diributkan sepanjang Ramadan ini dengan cara pandang berbeda tentunya. Semestinya kita malu, di bulan mulia ini kita membiarkan fitnah dan kebencian bersemayam dalam diri kita.

Fiqh menyatakan membuka warung, memberi orang yang tidak puasa terlarang. Karena bila orang muslim dia bermaksiat melanggar perintah. Sedangkan bila dia non muslim dia tetap terkhitabi menjalankan puasa, sehingga dia diadzab karena meninggalkan puasa. Meski bila puasa dilakukan tidak sah bila belum berIslam.

Di sebuah masjid, terjadi perseteruan antara nadzir dan warga, nadzir selalu mengambil jalur hukum bila ada hal yang tidak disuka dari nadzir,

"Melanggar aturan! Laporkan (ke) polisi!"

Sementara instansi yang menjadi tujuan keluhan warga tidak pernah bisa mempertemukan kedua belah pihak karena nadzir bersikukuh menggunakan jalur hukum untuk penyelesaian, tapi kenapa perseteruan itu tidak terselesaikan dengan hukum?

Tentu bila kita berbicara tentang hukum, adanya hitam putih. tidak ada kebijakan, tidak ada toleransi, tidak ada perasaan, rasa sosial melihat situasi yang ada. ada filsafat hukum keadilan membutuhkan kepastian hukum, tapi bila hukum pasti keadilan tidak akan terjadi. untuk itu demi keadilan, terkadang kepastian hukum perlu dicarikan solusi.

Seingat saya dawuh Kyai Anwar Mansyur Lirboyo,

"Di zaman akhir orang akan meninggalkan fiqh, karenanya agar tidak meninggalkan fiqh dakwah harus lebih luwes meski harus menggunakan qiil atau qaul tsani."

Semoga ingatan saya dari dawuh beliau ini tidak keliru/salah dengar.

Kepada santri-santri saya katakan, Ini zaman fitnah, kebenaran sering diplintir jadi keburukan, karenanya kita harus pandai mengatur strategi membangun politik dakwah yang cantik,

"Kita umat Islam ini ibarat wanita yang sedang mempercantik diri agar ada lelaki yang tertarik"

Bagaimana Islam itu diyakini benar, bagaimana menunjukkan bahwa Islam yang benar itu seperti yang kita yakini dan menarik orang lain untuk berIslam atau berIslam lebih baik. emm... attoriqah khairum minal maddah” gitulah....

Peci itu dari atas terlihat buntu tak bisa digunakan, dari samping lebar, dari depan sempit, dari bawah berlubang, beda cara pandang beda pula menyikapinya. ada tamu non muslim ramai saling mencaci, ada yang tak peduli kita ramai dan menfitnah. kadang-kadang yang dicaci dan fitnah itu “kyai” atau setidaknya ada yang menyebutnya “kyai”. sosok yang duluuuuu sekali, dihormati dan ditaati. (yang benar hormatilah kyai atau kyai harus menghormati yang tidak kyai, atau sesama bis kota dilarang saling mendahului?)

Lha terus berislam dengan akhlak yang mulia itu yang seperti apa? Kita sering tidak menyadari pepatah arab

'likulli ra'sin ra'yun'

Setiap kepala punya pola pikir masing-masing. Haruskah kita semua seide? atau membangun toleransi terhadap perbedaan pandang yang kita bina?

Penulis:
Achmad Shampton Masduqie



Dikelola oleh Nun Media