Pendidikan anak secara Islami
Mungkin kita pernah mendengar peribahasa Jawa yang berbunyi, "Kacang ora ninggal lanjaran" atau "Air mata tak akan jatuh jauh dari pipi". Peribahasa tersebut memberikan pengertian bahwa sifat, tindak tanduk dan karakter seorang anak tidak akan jauh berbeda dari dan perilaku orang tuanya. Rasulullah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tuanyalah yang kemudian menjadikannya Yahudi atau Nasrani.
Habib Muhammad al-Baqier Ibn Sholeh Mauladawilah pernah menyatakan bahwa segala perilaku anak merupakan ekspresi dari masa muda sang orang tua. Semua perilaku orang tua akan ditiru oleh sang anak. Sebagaimana pendapat Habib Sholeh Ibn Ahmad Alaydrus bahwa orang tua tak hanya mewariskan kecerdasan tetapi juga kelemahan dan sifat buruk pada anaknya. Oleh karena itu Habib Muhammad al-Baqier menandaskan bahwa seseorang yang mengetahui akan hal tersebut meskipun masih berusia muda muda haruslah segera bertaubat. Karena hanya dengan bertaubat yang dapat menghalangi agar sifat-sifat buruk itu tidak menurun kepada keturunannya kelak.
Perhatikan bagaimana sebenarnya Islam menuntun umatnya
untuk selalu berbuat baik. Hingga pada masalah perilaku pun diatur untuk membentuk
karakter keturunan seseorang. Karena pada hakikatnya seluruh tindak tanduk kita
ini akan diekspresikan pada tindak tanduk keturunan kita. Dari sini pula Islam
menginformasikan bahwa berapa pun usia kita, apabila kita menjalankan perilaku
yang baik dan menghindarkan diri dari perbuatan tercela, maka bukan hanya kita
yang memetik manfaat tetapi juga anak keturunan kita. Dengan demikian berarti
pendidikan anak dimulai sejak kedua orang tuanya masih bujangan. Tentunya konsep
ini belum pernah kita temui dalam wacana di luar Islam.
Ketika seseorang hendak menikah, Rasulullah memperingatkan dalam sebuah haditsnya:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Seorang wanita (biasanya) dinikahi karena empat sebab, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan keber-agama-annya. Pilihlah wanita yang memiliki agama, (kalau tidak) tanganmu penuh debu (engkau akan menemui kesusahan).
Sebagaimana dicontohkan oleh para ulama salaf, untuk
memastikan bahwa seorang wanita itu memang tepat bagi dirinya, pertama tentunya
dengan melihat perilaku dan penguasaan agamanya secara dzahir. Kemudian mereka
melakukan istikharah untuk meminta petunjuk pada Allah apakah wanita yang
akan diperistrinya ini benar-benar salihah bagi dirinya. Hal ini dilakukan juga
dalam rangka untuk memastikan bahwa calon pasangannya adalah orang yang tepat
di muka Allah untuk mengandung dan melahirkan anaknya.
Sudah semestinya pula bahwa seseorang yang akan menikah
juga meniatkan untuk mencari pertolongan bagi agama dan akhirat. Mereka yang telah
meniatkan demikian, maka pernikahannya berada dalam kerangka niat yang baik dan
dapat digunakan sebagai media untuk mendekat pada Allah. Namun ketika pernikahan
itu hanya diniatkan untuk mendapatkan bagian dari dunia atau memenuhi nafsu syahwat
saja, maka hal ini sangat jauh dari kebenaran dan teladan dari ulama salaf. Anak
yang akan dihasilkan pun sulit diharapkan untuk menjadi anak shalih atau shalihah
karena hubungan antar keduanya hanya didasari nafsu syahwat.
Ketika seorang isteri mengandung, maka kedua pasangan disunnahkan untuk memperbanyak amal dan memperdengarkan dzikir atau ayat al-Qur'an. Agar sang anak lahir telah mengenal kalam Ilahi sejak kandungan. Jika sebuah penelitian menyatakan bahwa musik klasik dapat mencerdaskan sang bayi, maka sebenarnya tuntunan para ulama salaf untuk memperdengarkan lantunan ayat suci dan dzikir adalah lebih baik sudah terbukti sejak dahulu.
Beberapa ulama bahkan rela melakukan riyadlah demi mendapatkan keturunan yang benar-benar shalih. Konon pula sewaktu Nyai Shalihah mengandung Gus Dur, Kyai Wahid Hasyim melakukan riyadlah puasa selama Gus Dur dalam kandungan. Terlepas dari unsur keturunan atau kontroversi pemikirannya, sebagian besar orang mengakui kecerdasannya di atas rata-rata.
Atau kisah Kyai Dimyati Rois (Kendal). Alkisah begitu
ibunya mengetahui kalau dirinya mengandung, dia langsung berpuasa yang berlangsung
hingga putranya--Kyai Dimyati--diakui sebagai kyai oleh masyarakat. Hasil riyadloh
ini bukan hanya berdampak pada Kyai Dimyati saja, tetapi juga pada sang cucu,
yakni putra Kyai Dimyati yang memiliki kelebihan dalam kecerdasan dan kemampuan
linuwih.
Begitu sang anak lahir, Islam menganjurkan untuk membacakan
adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. Hal ini dimaksudkan agar suara
pertama yang didengar sang bayi adalah kalimat tauhid. Ketika anak sudah beranjak
dewasa, Islam mengajarkan agar orang tua memperhatikan betul tentang perkembangan
keber-agamaannya. Bila seorang anak baru mampu mengucapkan huruf 'a' maka orang
tua sebisa mungkin mengarahkan untuk mengucapkan Allah. Begitu seterusnya, hingga
sang anak memiliki dzauq (perasaan) islamy.
Seorang tamu dari Yaman ketika hadir di sebuah majlis
ta'lim Habib Muhammad Ibn Idrus al Haddad, menyatakan bahwa saat ini kebanyakan
orang mengasihi anaknya dengan kacamata dunia bukan dengan kacamata keberislamannya.
Ia dirawat, diimunisasi, ditimbangkan. Ketika sakit dirawat sedemikian rupa, disekolahkan
setinggi mungkin dan kalau perlu dikursuskan apa saja hal yang tidak dipahami
oleh sang anak meski dengan konsekwensi harus mengeluarkan uang jutaan rupiah.
Namun ketika sang anak tidak mampu membaca ayat al-Qur'an, tidak mampu mengaji,
para orang tua merasa cukup dengan mencarikan guru gratisan, madrasah diniyah
yang murah meriah. Banyak orang tua yang merasa kasihan ketika melihat anak kecil
diajari berpuasa, dipaksa belajar mengaji, atau dibiasakan shalat malam karena
kacamata yang digunakan adalah kacamata dunia atau kesehatan jasmani semata.
Habib Aly sang tamu itu kemudian menceritakan bahwa
ketika dia masih bayi, orang tuanya memaksanya untuk bangun setiap sepertiga malam,
membiasakannya untuk bangun malam. Orang tuanya tidak peduli jika dia menangis
di tengah malam. Asalkan tidak tidur tidur ketika Allah membagikan rezeki pada
hambaNya. Ketika beliau berusia 5 tahun, beliau sudah harus mengikuti orang tuanya
untuk pergi ke Masjid Nabawi di Madinah, meski harus terkantuk-kantuk di tangga
masjid. Akhirnya bangun malam atau shalat malam menjadi kebiasaan yang sudah sangat
sulit untuk diubah atau telah menjadi sifat malakah.
Faktor yang juga sangat penting diperhatikan adalah rezeki yang halal. Jangan sampai sang anak mendapatkan rezeki haram walau setetes. Demi kedekatan anak pada Allah, orang tua harus mengusahakan bahkan meski harus bermiskin-miskin untuk sebuah harta yang halal. Waladun shalih adalah sebuah tabungan akhirat yang tak ternilai harganya. Jika hanya sekedar menahan hawa nafsu perut atau nafsu yang lain terlalu murah untuk membeli seorang anak yang shalih. Adakah mungkin kita bisa menirunya?
Penulis tamu:
Raudloh Quds Musthofa