Kolom Gus


Edit

Mengapa doa kami terhenti di kaki langit?

Suatu hari, ketika Ibrahim Ibn Adham salah seorang ulama sufi besar berkunjung ke kota Basrah, dia mendapat pengaduan dari masyarakat muslim disana. Mengapa doa mereka selama bertahun-tahun tidak dikabul-kan oleh Allah? Ibrahim Ibn Adham menjawab: "Hal ini karena engkau mengakui dan mengingkari sepuluh hal!".

Kemudian Ibrahim Ibn Adham menjelaskan, yang pertama adalah engkau tahu betul tentang Allah sebagai tuhanmu, tetapi engkau tidak memenuhi hak-haknya.

Kedua, engkau membaca al Quran tetapi tidak pernah tahu atau ingin tahu tentang makna yang terkandung didalamnya atau bahkan merekayasa maknanya untuk kepentingan pribadi.

Ketiga, engkau telah mengetahui bahwa kematian adalah sebuah keniscayaan tetapi engkau tidak mempersiapkan sama sekali untuk itu.

Keempat, engkau mengaku mencintai Nabimu tetapi engkau meninggalkan sunnah / contoh perilaku darinya.

Kelima, engkau mengaku memusuhi syaithan tetapi engkau menyepakati seluruh contoh perilakunya.

Keenam, engkau ingin selamat dari api neraka tetapi engkau melemparkan dirimu sendiri kedalamnya.

Ketujuh, engkau ingin masuk surga tetapi engkau tidak sama sekali berbuat untuk mendapatkannya.

Kedelapan engkau selalu mencari kesalahan orang lain tetapi engkau tidak sama sekali mau melihat kesalahanmu sendiri.

Kesembilan, engkau banyak menikmati anugerah Allah tetapi engkau tidak pernah bersyukur sedikitpun karenanya.

Kesepuluh, engkau seringkali menguburkan orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu, tetapi engkau tidak sama sekali tidak pernah mengambil pelajaran darinya.

Dari sepuluh poin yang disampaikan Ibrahim Ibn Adham ini, kita harus mengambil pelajaran dan mengoreksi diri kita sendiri, adakah kita berada di antara salah satu dari poin di atas? sehingga doa-doa kita selama ini seringkali terhenti di kaki langit?

Mungkin di bawah sadar kita, kita seringkali berusaha melakukan pembelaan-pembelaan atas diri kita. Bahwa kita ini sudah memenuhi dan menghindari dari sepuluh pengingkaran sebagaimana tersebut diatas.

Namun sadarkah kita, terkadang apa yang kita lakukan ini masih sebatas kulit luar yang tidak menyentuh substansi yang dikehendaki Allah ? Atas kewajiban yang menjadi hak Allah, seringkali menjadi sebuah bahan untuk dibanggakan kepada orang lain. Amaliyah kita lebih sering dicampuri oleh maksud-maksud duniawi yang tidak semestinya.

Bahkan terkadang dengan kemampuan terbatas kita, kita bahkan lebih sering melakukan gugatan-gugatan atas hak Allah atau bahkan sunnah Rasulullah dari pada menja-laninya. Yang tanpa sadar dengan mengatasnamakan kebebasan berfikir, kita tidak pernah berfikir atau merenung, sebenarnya apa yang hendak kita capai dari sana? Demi kebebasan berfikirkah? Atau hanya sekedar untuk mendapatkan legitimasi duniawi sebagaimana yang kita jalani selama ini?

Suatu hari seorang teman mengajak sahabatnya untuk melakukan gerakan uswah hasanah dengan sedikit demi sedikit memperbaiki diri mulai dari hal-hal yang sepele seperti berpeci. Karena sebuah dakwah haruslah dimulai dari diri sendiri. Sebagimana maqolah arab Aslih nafsak yuslihu an naas, perbaikilah dirimu maka manusia (yang lain) akan menjadi baik. Namun sang sahabat ini dengan halus menolak dengan alasan tidak mau dikungkung formalitas dan merasa tidak kuat atas konsekwensi yang ditimbulkan dari perilakku sepele itu meski dia tahu bahwa itu adalah sebuah kebenaran.

Tanpa bermaksud mengadili, tidakkah ini sebuah bukti bahwa kita ini tanpa sadar disatu sisi melakukan pengakuan kecintaan kepada Rasul tetapi terhadap sunnahnya yang hanya bersifat formalitas terasa berat rasanya untuk menjalaninya. Bahkan tak jarang untuk menjalani hal yang sepele seperti itu kita dihantui oleh hawajiz (bisikan nafsu) yang membisikkan bahwa itu menghambat jodoh, atau nanti kita tidak dapat bebas bergerak karenanya.

Dari sini, kita mestinya juga berfikir ulang, lho bukannya pembatasan gerak untuk mengikuti nafsu itu merupakan substansi ajaran Islam juga ? dan bukannya kebebasan bergerak itu mempermudah kita melakukan pembenaran atas ajakan syetan ? Permasalahannya, terkadang seringkali timbul dalam benak hati kita ini perasaan yang terlalu yakin bahwa kita ini dekat kepada Allah hanya karena kuliah di sebuah perguruan tinggi yang berlabel agama. Sehingga atas amaliyah yang terkesan sepele kita enggan menjalaninya.

Atas segala nikmat Allah yang diberikan kepada kita selama ini, kitapun terkadang juga tidak pandai mengung-kapkan rasa syukur kita kepada Allah, atau setidaknya bertanya bagaimana seharusnya saya bersyukur kepada sang Khaliq atas segala nikmat yang diberikannya ini ?

Ungkapan rasa syukur seringkali kita ungkapkan dengan bentuk kata-kata. Dengan ucapan hamdalah atau dengan bentuk ungkapan yang lain. Namun begitu benarkah rasa syukur itu sudah cukup dengan dilafadzkan dari rongga bibir saja ?

Syeh Jamaluddin Al Dimsyiki mengutip dari pernyataan Imam Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin, mengung-kapkan bahwa syukur itu merupakan rangkaian yang terpisahkan antara ilmu, hal dan amal. Hal ini seiring dengan pernyataan Syeh Abdullah Zaini dalam mukadimah kitab Kifayatul Ashab yang mendefinisikan syukur adalah perilaku seseorang yang dengan mengacu atas dasar penciptaan manusia oleh Khaliq sesuai dengan fungsi yang semestinya.

Syeh Jamaluddin kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud ilmu disini adalah bahwa kita benar-benar mengetahui nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Kemudian yang dimaksud hal adalah rasa bahagia yang terekspresi setelah mendapatkan kenikmatan itu. Yang terakhir yang sering kita alpa bahwa ini termasuk bagian yang harus dilakukan dari sebuah rasa syukur adalah amal. Amal ini mencakup tiga komponen yaitu amalul qolb, jawarih dan lisan.

Amalul qolb, adalah keinginan berbuat baik dan tidak menampakkannya kepada orang lain. Amalul jawarih adalah mendaya gunakan nikmat Allah untuk ketaatan dan ketakwaan yang membantu kita menghindari perilaku maksiat. Amalul lisan adalah ungkapan rasa syukur yang dinampakkan dengan membaca hamdalah.

Dari sini kita menjadi tahu bahwa ungkapan lisan hanyalah bagian kecil dari rasa syukur dan tidak cukup mewakili atas bagian yang lain dari komponen ungkapan rasa syukur itu sendiri. Kalau sudah begini sudah pernahkah kita bersyukur ?

Kalau kita mau memaksakan diri untuk memikirkan perilaku diri kita selama ini, mungkin terasa tidak pantas dan berimbang antara apa yang diberikan Allah dengan apa yang kita lakukan untuk memenuhi kewajiban kita kepadanya.

Dari sini hanya pribadi-pribadi kitalah yang tahu adakah kita ini merasakan problema yang sama yang dihadapi muslimin Basrah yang bertanya kepada Ibrahim Ibn Adham, Mengapa doa kami terhenti di kaki langit? Ataukah kita sudah berhasil mengatasi seluruh problema di atas? Semoga.

Penulis:
Achmad ibn Masduqie