Artikel Keislaman


Jamaah Tabligh (2)

Pengantar

Sebagaimana artikel tentang Wahidiyah, artikel ini dikutip dari buku Polaritas Sektarian, Rekonstruksi Doktrin Pinggiran, sebuah buku hasil kajian siswa mutakharijin tahun 2007 pada Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Ditujukan agar masyarakat bisa mempertimbangkan secara matang segala aliran yang ada disekitarnya, bukan dalam tataran caci maki, tetapi tetap dalam koridor saling mengingatkan.

مَنِ الذِى ساء قط و مَنِ الذى حسنى فقط

Siapa orang yang buruk saja dan siapa orang yang baik saja (tanpa cela)?

Karena itu artikel ini mohon dibaca dalam tataran menguliti diri menuju muhasabah yang paripurna guna menjadi insan kamil yang diharapkan.

Indeks

  1. Profil Pendiri Jama'ah Tabligh
  2. Motif Berdirinya Jamaah Tabligh
  3. Akidah Jama'ah Tabligh
  4. Ushulus Sittah
  5. Tabligh, Tarekat dan Tasawwuf Muhammad Ilyas
  6. Catatan Suplemen Dari Ustadz Azizi
  7. Pandangan Habib Mundzir Al Musawa Tentang Jamaah Tabligh

Nama Jama'ah Tabligh telah menggema ke mana-mana. Mereka telah dikenal oleh mayoritas kaum muslimin terutama mereka yang bergelut dalam bidang dakwah. Mereka memiliki karakteristik dakwah yang khas, yaitu dengan mempromosikan keutamaan ibadah, menghindari diskusi fiqih dan akidah yang menurut mereka sebagai momok biang pemecah umat, serta memiliki penampilan yang kontroversial.

Walau bagaimana pun popularitas golongan ini melejit dengan sangat pesat. Bahkan saking populernya, bila ada seseorang yang berpenampilan mirip mereka atau kebetulan mempunyai ciri-ciri yang sama dengan mereka, biasanya akan ditanya; "Mas! Jama'ah Tabligh ya?". Yang lebih tragis jika ada yang berpenampilan serupa meski bukan dari kalangan Jama'ah Tabligh, image kita langsung menudingnya sebagai Jama'ah Tabligh. Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Lalu bagaimanakah hakikat jama'ah yang berkiblat ke India ini? Semoga kajian di bawah ini mampu menjawab kemasgulan kita bersama.

Jama'ah Tabligh merupakan nama yang lebih populer di Malaysia. Sedangkan di Pakistan mereka terkenal dengan sebutan al-Jama'ah at-Tablighiyah atau al-Jama'ah al-Ilyasiyyah. Sementara di Indonesia mereka lebih terkenal dengan Jaulah. Karena mereka mempunyai lebih dari satu nama, sebagian pihak menuduh mereka sebagai bunglon, sering berganti-ganti atribut namun pelaku di dalamnya tetaplah sama. Namun menurut anggota Jama'ah Tabligh nama tersebut tidak berasal dari mereka, tetapi orang lainlah yang menyebut mereka demikian. Karena memproklamirkan sebuah nama sama artinya dengan memunculkan potensi perpecahan.

Da1am sebuah interview, salah seorang anggota jama'ah Tabligh ditanya, "Kenapa disebut Jama'ah Tabligh?", orang tersebut menjawab, "Nama JT (Jama'ah Tabligh) itu nggak ada, orang lain yang menamakan. Dari asal muasalnya pun tidak ada. Jaman Nabi pun kan tidak ada namanya, kita ingin seperti itu, sebab kalau kita kasih nama dan bendera, orang lain punya bendera, wah itu bukan bendera saya. Tapi kalau bilang kami ini Muslim, pasti semua saudara kita. Kita tidak merasa ini suatu kelompok atau golongan. Kita bekerja, dalam hal ini hanya mengendalikan tertib-tertib dakwahnya".

Profil Pendiri Jama'ah Tabligh

Pendiri jama'ah ini adalah Muhammad Ilyas al-Kandahlawy lahir pada tahun 1303 H (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Pradesh, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya bernama Shafiyah al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama dan memiliki sifat wara'. Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya. Sementara Maulana Muhammad Ilyas adalah anak ketiga dari tiga bersaudara ini.

Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar agama pada kakeknya Syeikh Muhammad Yahya, beliau adalah seorang guru agama pada madrasah di kota kelahirannya. Kakeknya ini adalah seorang penganut madzhab Hanafi dan teman dari seorang ulama, sekaligus penulis Islam terkenal, Syeikh Abul Hasan Al-Hasani An-Nadwi yang menjabat sebagai seorang direktur pada lembaga Dar Al-'Ulum di Lucknow, India. Sedangkan ayahnya, yaitu Syaikh Muhammad Ismail ada1ah seorang ruhaniawan besar yang suka menjalani hidup dengan ber'uzlah, berkhalwat dan beribadah, membaca al-Quran dan melayani para musafir yang datang dan pergi serta mengajarkan a1-Quran dan ilmu-ilmu agama.

Syaikh Muhammad Ismail selalu mengamalkan doa ma'tsur dari Hadits untuk waktu dan keadaan yang berlainan. Perangainya menyukai kedamaian dan keselamatan serta bergaul dengan manusia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, tidak seorang pun meragukan dirinya. Bahkan beliau menjadi tumpuan kepercayaan para ulama sehingga mampu membimbing berbagai tingkat kaum Muslimin yang terhalang oleh perselisihan di antara mereka.

Adapun ibunda Muhammad Ilyas, yaitu Shafiyah al-Hafidzah adalah seoarang hafidzah a1-Quran. Istri kedua dari Syaikh Muhammad Ismail ini selalu mengkhatamkan al-Quran, bahkan sambil bekerja pun mulutnya senantiasa bergerak membaca ayar-ayat al-Quran yang sedang ia hafal.

Maulana Muhammad Ilyas sendiri mulai mengenal pendidikan pada sekolah Ibtidaiyah (dasar). Sejak saat itulah ia mulai menghafal al-Quran, hal ini disebabkan pula oleh tradisi yang ada dalam keluarga Syaikh Muhammad Ismail yang kebanyakan dari mereka adalah hafidzh al-Qur'an. Sehingga diriwayatkan bahwa dalam shalat berjama'ah separuh shaff bagian depan semuanya adalah hafidzh terkecuali muazzin saja. Sejak kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam dirinya, dia memiliki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga 'Allamah asy-Syaikh Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (guru besar ilmu Hadits pada madrasah Darul Ulum (Deoband) mengatakan, "Sesungguhnya apabila aku melihat Maulana Ilyas aku teringat akan kisah perjuangan para sahabat".

Pada suatu ketika saudara tengahnya, yakni Maulana Muhammad Yahya pergi belajar kepada seorang alim besar dan pembaharu yang ternama yakni Syaikh Rasyid Ahmad al-Gangohi, di desa Gangoh, kawasan Saranpur, Utar Pradesh, India. Maulana Muhammad Yahya belajar membersihkan diri dan menyerap ilmu dengan bimbingan Syaikh Rasyid. Hal ini pula yang membuat Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar pada Syaikh Rasyid sebagaimana kakaknya.

Akhirnya Maulana I1yas memutuskan untuk belajar agama menyertai kakaknya di Gangoh. Akan tetapi selama tinggal dan belajar di sana, Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini ditanggungnya selama bertahun-tahun lamanya, tabib Ustadz Mahmud Ahmad putra dari Syaikh Gangohi sendiri telah memberikan pengobatan dan perawatan kepadanya.

Sakit yang dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnya menurun, akan tetapi dia tidak berputus asa. Banyak yang menyarankan agar ia berhenti belajar untuk sementara waktu, ia menjawab, "Apa gunanya aku hidup jika dalam kebodohan". Dengan ijin Allah swt., Maulana pun menyelesaikan pelajaran Hadits Syarif, Jami'at Tirmidzi dan Shahih Bukhari. Kemudian dalam tempo waktu empat bulan dia sudah menyelesaikan Kutubus Sittah. Tubuhnya yang kurus dan sering terjangkit penyakit semakin membuatnya bersemangat dalam menuntut ilmu, begitu pula kerisauannya yang bertambah besar terhadap keadaan umat yang jauh dari syariat Islam.

Ketika Syaikh Gangohi wafat pada tahun 1323 H, Muhammad Ilyas baru berumur dua puluh lima tahun dan merasa sangat kehilangan guru yang paling dihormati. Hal ini membuatnya semakin taat beribadah pada Allah. Dia menjadi pendiam dan hanya mengerjakan ibadah, dzikir, dan banyak mengerjakan amal-amal infiradi.

Maulana Muhammad Zakaria menuliskan:

"Pada waktu aku mengaji sebuah kitab kepada Muhammad Ilyas, aku datang padanya dengan kitab pelajaranku dan aku menunjukkan tempat pelajaran dengan jari kepadanya. Tetapi apabila aku salah dalam membaca, maka dia akan memberi isyarat kepadaku dengan jarinya agar menutup kitab dan menghentikan pelajaran. Hal ini ia maksudkan agar aku mempelajari kembali kitab tersebut, kemudian datang lagi pada hari berikutnya".

Maulana Muhammad Ilyas akhirnya berkenalan dengan Syaikh Khalid Ahmad ash-Sharanpuri penulis kitab Bajhul Majhud fi Hilli Alfazhi Abi Dawud dan akhirnya Muhammad Ilyas berguru kepadanya. Semakin bertambah ilmu yang dimiliki, membuat Muhammad Ilyas semakin tawadlu'. Ketawadlu'annya pada usia muda menyebabkan Muhammad Ilyas dihormati di kalangan para ulama dan masyaikh. Syaikh Yahya, kakak kandung Muhammad Ilyas sendiri tidak pernah memperlakukannya sebagai anak kecil, bahkan Syaikh Yahya sangat menaruh hormat kepadanya.

Pada suatu ketika di Kandhla ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh ulama-ulama besar, di antaranya terdapat nama Syaikh Abdurrahman ar-Raipuri, Syaikh Khalil Ahmad ash-Sharanpuri dan Syaikh Asyraf Ali at-Tanwi. Waktu itu tiba waktu shalat Ashar, mereka meminta Maulana Ilyas untuk mengimami shalat tersebut. Ustadz Badrul Hasan salah seorang di antara keluarga besar tersebut berkata, "Alangkah panjang dan beratnya kereta api ini, namun alangkah ringan lokomotifnya", kemudian salah seorang di antara hadirin menjawab, "tetapi lokomotif yang kuat itu justru karena ringannya".

Akibat kematian kakaknya, Maulana Muhammad Yahya, pada 9 Agustus 1925, Muhammad Ilyas mengalami goncangan batin yang cukup besar. Dua tahun setelah itu, menyusul kakaknya yang tertua, Maulana Muhammad. Maulana Muhammad meninggal di Masjid Nawab Wa1i, Qassab Pura dan dimakamkan di Nizamuddin. Kematian Maulana Muhammad ini mendapat perhatian dari masyarakat sekirarnya. Seribu orang menziarahi jenazahnya. Setelah itu, masyarakat meminta kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan kakaknya di Nizamuddin padahal pada waktu itu dia sedang menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Mazhohirul 'Ulum. Masyarakat bahkan menjanjikan dana bulanan kepada madrasah dengan syarat agar dapat diamalkan seumur hidupnya.

Pada akhirnya, setelah mendapat ijin dari Maulana Khalil Ahmad dengan pertimbangan jika tinggalnya di Nizamuddin membawa manfaat maka Maulana Ilyas akan diberi kesempatan untuk berhenti mengajar. Dia pun akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke madrasah warisan ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat mengajar yang tinggi dia pun akhirnya membuka kembali madrasah tersebut.

Karena semangat yang tinggi untuk memajukan agama, Maulana Ilyas kemudian mendirikan maktab di Mewat, tetapi kondisi geografis yang agraris menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai anak-anak mereka pergi ke kebun atau ke sawah dari pada ke madrasah atau maktab untuk belajar agama, membaca atau menulis. Dengan demikian Maulana Ilyas dengan terpaksa meminta orang Mewat untuk menyiapkan anak-anak mereka belajar dengan pembiayaan yang ditanggung oleh Maulana sendiri. Besarnya pengorbanan Maulana untuk memajukan pendidikan agama bagi masyarakat Mewat tidak mendapatkan perhatian. Bahkan mereka enggan menuntut ilmu, mereka lebih senang hidup dalam kondisi yang sudah mereka jalani selama bertahun-tahun turun temurun.

Maulana melihat bahwa kebodohan, kegelapan dan sekularisme yang melanda negerinya sangat berpengaruh terhadap madrasah-madrasah. Para murid tidak mampu menjunjung nilai-nilai agama sebagaimana mestinya, sehingga gelombang kebodohan semakin melanda bagaikan gelombang lautan yang melaju deras sampai ratusan mil membawa mereka hanyut. Namun tetap saja masyarakat masih belum memiliki spirit keagamaan. Interest mereka tidak terlalu besar untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar ilmu di madrasah. Faktor utama dari semua ini adalah ketidaktahuan mereka terhadap pentingnya ilmu agama, mereka pun kurang menghargai para alumnus madrasah yang telah memberikan penerangan dan dakwah. Orang Mewat tidak bersedia mendengarkan apalagi mengikutinya. Kesimpulannya bahwa madrasah-madrasah yang ada itu tidak mampu mengubah warna dan gaya hidup masyarakat.

Kondisi Mewat yang sangat miskin pengetahuan itu semakin menambah kerisauan Maulana Ilyas akan keadaan umat Islam terutama masyarakat Mewat. Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan madrasah-madrasah banyak didirikan, tetapi hal itu belum bisa menjadi solusi terbaik untuk mengatasi problem yang dihadapi masyarakat Mewat. Kondisi buruk yang terus berlarut ini akhirnya menjadi inspirasi bagi Muhammad Ilyas untuk mengirimkan delegasi Jama'ah Dakwah ke Mewat. Pada tahun 1351 H /1931 M, Maulana menunaikan haji yang ketiga ke tanah suci Makkah. Kesempatan tersebut ia pergunakan untuk menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab guna mempromosikan usaha dakwah, dengan harapan agar usaha ini dapat terus dijalankan di tanah Arab.

Keinginannya yang besar menyebabkan ia berkesempatan menemui Sultan Ibnu Sa'ud yang menjadi raja tanah Arab untuk mempromosikan usaha dakwah yang dibawanya. Selama berada di Makkah, Jama'ah ini melakukan banyak aktifitas pergerakan secara intensif, setiap hari sejak pagi sampai petang, usaha dakwah terus dilakukan untuk mengajak masyarakat mentaati perintah Allah dan menegakkan dakwah.

Setelah pulang dari haji tersebut, Maulana mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai jama'ah dengan jumlah yang cukup besar, minimal berjumlah seratus orang. Bahkan di beberapa tempat, jumlah itu justru semakin membengkak. Kunjungan pertama dilakukan selama satu bulan dan kunjungan kedua dilakukan hanya beberapa hari saja. Dalam kunjungan tersebut dia selalu membentuk jama'ah-jama'ah yang dikirim ke kampung-kampung untuk berjaulah (berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan pentingnya agama.

Dalam hati Muhammad memiliki konfidensi penuh bahwa kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerusakan. Adapun satu-satunya jalan untuk memberantas virus tersebut adalah dengan membujuk masyarakat Mewat agar keluar dari kampung halamannya guna memperbaiki diri dan memperdalam agama, serta melatih disiplin dalam hal positif sehingga tumbuh kesadaran untuk mencintai agama lebih daripada dunia dan mementingkan amal dari mal (harta).

Dari Mewat inilah secara berangsur-angsur usaha tabligh meluas ke Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra, Bulandshar, Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah Iainnya. Begitu juga di bandar-bandar pelabuhan banyak jama'ah yang tinggal dan terus bergerak menuju tempat-tempat yang ditargetkan seperti halnya daerah Asia Barat. Setelah jama'ah ini terbentuk, mereka tak lelah memperluas sayap dakwah dengan membentuk beberapa jaringan di sejumlah negara. Jama'ah ini memiliki misi ganda yaittl ishlah diri (peningkatan kualitas individu) dan mendakwahkan kebesaran Allah swt. kepada seluruh umat manusia.

Perkembangan Jama'ah cukup fantastis. Setiap hari banyak jama'ah yang dikirim ke daerah-daerah yang menjadi target operasi dakwah. Selain itu, masing-masing anggota jama'ah ada yang kemudian membentuk rombongan baru. Dengan usaha tersebut, Jama'ah Tabligh ingin mempererat tali silaturrahim antara kaum Muslimin dengan Muslim yang lain. Gerakan Jama'ah tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi sedikit telah menyebar ke berhagai negara.

Muhammad Ilyas tanpa henti terus memberi motivasi dan arahan untuk menggerakkan mesin dakwah ini agar sampai ke seluruh alam. Ketika usianya sudah menjelang senja, Maulana terus bersemangat hingga tubuhnya yang kurus tidak mampu lagi untuk digerakkan ketika ia menderita sakit.

Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya, Maulana mengirim utusan kepada Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul Qodir Raipuri, dan Maulana Zafar Ahmad, bahwa ia akan mengamanahkan kepercayaan sebagai Amir Jama'ah kepada sahahat-sahabatnya seperti Hafidz Maqhul Hasan, Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi In'amul Hasan dan Mulvi Sayyid Raza Hasan. Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad Yusuf sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin usaha dakwah dan tabligh.

Pada sekitar bulan Ju1i 1944 Maulana menderita penyakit yang cukup akut. Dia hanya bisa berbaring di tempat tidur dengan ditemani para pembantu dan muridnya. Akhirnya, pada tanggal 13 Ju1i 1944, Maulana telah siap nntuk menempuh perjalanannya yang terakhir. Ia bertanya kepada salah seorang yang hadir, "Apakah besok hari Kamis?", yang di sekelilingnya menjawab, "Benar!". Kemudian ia berkata 1agi, "Periksalah pakaianku, apakah ada najisnya atau tidak!". Orang-orang yang berada di sekelilingnya berkata bahwa pakaian yang dikenakannya masih dalam keadaan suci. Lantas Muhammad Ilyas turun dari dipan untuk berwudlu dan mengerjakan shalat Isya' dengan berjama'ah. Maulana berpesan kepada orang-orang agar memperbanyak dzikir dan doa pada malam itu. Dia berkata, "Yang ada di sekelilingku ini pada hari ini hendaklah menjadi orang-orang yang dapat membedakan antara perbuatan setan dan perbuatan malaikat Allah".

Pada pukul 24.00 Maulana pingsan dan sangat gelisah, dokter segera dipanggil dan obat pun segera diberikan, kata-kata Allahu Akbar terus terdengar dari mulutnya. Ketika malam telah menjelang pagi, dia mencari putranya yang bernama Maulana Muhammad Yusuf dan Maulana Ikromul Hasan. Ketika dipertemukan dia berkata, "Kemarilah kalian, aku ingin memeluk, tidak ada lagi waktu setelah ini, sesungguhnya aku akan pergi". Akhirnya Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, dia pulang ke rahmatullah sebelum adzan Subuh.

Dia tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikirannya dituangkan dalam lembar-lembar kertas surat yang dihimpun oleh Maulana Manzoor Nu'mani dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah dalam Jama'ah Tabligh. Karyanya yang paling nyata adalah bahwa dia telah meninggalkan kerisauan dan ide-ide bagi umat Islam hari ini serta metode kerja dakwah yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.

Motif Berdirinya Jamaah Tabligh

Kisah di atas, merupakan sebuah aksioma bahwa motif berdirinya Jama'ah Tabligh adalah sebuah keinginan kuat untuk memperbaiki kondisi umat, terutama Mewat yang hidup jauh dari ilmu dan lekat dengan kebodohan serta keterbelakangan.

Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad ad-Dihlawi mengatakan, "Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang Mewat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Is1am, berbaur dengan kaum Zoroaster dan paganis Hindu, bahkan bernama dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi keislaman yang tersisa kecuali hanya nama dan keturunan, diperparah dengan kebodohan yang kian merata, maka tergeraklah hati Muhammad Ilyas untuk memerangi semua itu. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya, seperti Rasyid Ahmad al-Kanhuhi dan Asyraf Ali at-Tahanawi untuk membicarakan permasalahan ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India, atas perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut".

Sedangkan menurut Jamal Muhammad, berdirinya Jama'ah Tabligh berawal dari ketidakpuasan Muhammad Ilyas terhadap teori pendidikan dengan metodologi kaum sufi yang sebelumnya ia geluti. Kekecewaan ini pernah disampaikan oleh Muhammad Ilyas, "Metodologi dakwah seperti ini terlalu melelahkan dan tidak menampakkan manfaat apa pun dan bisa menjerumuskan orang-orang awam untuk hanya tertarik pada kegiatan berdoa, azimat-azimat kesaktian dan haekal-haekal yang digunakan untuk memenuhi kepentingan duniawi belaka".

Menurut informasi yang telah populer, tugas mendirikan Jama'ah Tabligh ini langsung diterima oleh Muhammad Ilyas dalam sebuah mimpi sebagai kabar gembira. Abul Hasan Ali an-Nadawi pernah mengutip perkataan pendiri Jama'ah Tabligh ini sebagai berikut,

"Ketika aku bermukim di Madinah pada Tahun 1345 H, Allah mengabulkan maksudku dan memberikan kabar gembira (melalui mimpi) bahwa aku akan membentuk gerakan ini bersama kalian".

Mimpi menurut pendiri Jama'ah Tabligh mempunyai arti yang sangat urgen. Banyak tingkat keruhanian yang hanya bisa diperoleh melalui mimpi dan tidak bisa diperoleh melalui cara lain, dan ilmu yang diperoleh melalui mimpi merupakan bagian dari kenabian. Salah satu hasil yang diperoleh Muhammad Ilyas dalam mimpinya ialah metode dakwah sekaligus justifikasi pergerakannya.

Dalam sebuah tulisan Muhammad Mandzur Nu'mani, salah seorang karib Muhammad Ilyas disebutkan,

"Metode dakwah Jama'ah Tablighiyah ini pun aku dapatkan lewat mimpi, begitu juga mengenai penafsiran ayat "kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnasi ta'muruna bil ma'ruufi wa tanhauna 'anil munkar wa tu'minuna billah" juga ku dapatkan melalui mimpi. Setelah itu aku menampakkan diri untuk dakwah kepada masyarakat luas seperti halnya pada Nabi. Sedangkan pada firman Allah "ukhrijat" memberikan isyarat bahwa dakwah ini tidak akan sempurna apabila dilakukan dengan cara menetap atau bermukim saja di suatu tempat atau daerah, akan tetapi seorang mubaligh harus keluar masuk dari daerah satu ke daerah lainnya, atau bahkan dari pintu ke pintu".

Ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan kembali dalam permasalahan ini, yaitu tentang mimpi yang mengilhami pembentukan Jama'ah Tabligh, dan mimpi yang dijadikan fundamen penafsiran ayat sebagai justifikasi gerakan mereka.

Mungkin masih bisa dimaklumi jika mimpi yang dialami oleh Mahammad Ilyas hanya ia jadikan inspirator untuk membentuk Jama'ah Tabligh, sebab pembentukan sebuah jama'ah tidak berhubungan langsung dengan hukum syariat. Dia menyebut mimpi tersebut dengan mubassyirot (kabar gembira) dari Allah. Seandainya pengakuan ini benar, maka Muhammad Ilyas tidak holeh disalahkan sebab banyak Hadits yang membenarkan mimpi-mimpi yang dialami oleh seorang Muslim, salah satunya ialah Hadits:

أن أبا هريرة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لم يبق من النبوة إلا المبشرات. قيل : وما المبشرات قال : الرؤيا الصالحة

"Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: tidak ada yang tersisa dari sifat kenabian (setelah wafat Nabi) kecuali al-mubsyirot. Para sahabat bertanya, "Apakah al-mubsyirot itu wahai Nabi?" Nabi menjawab, "al-mubsyirot adalah mimpi baik".

Bahkan sebelum Nabi hijrah, beliau mendapatkan kabar baik dari Allah. Dalam mimpi beliau melihat bahwa tempat hijrah beliau adalah sebuah daerah yang kaya dengan buah kurma. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa diceritakan:

رأيت في المنام أني أهاجر من مكة إلى أرض بها نخل فذهب وهلى إلى أنها اليمامة أو هجر فإذا هي المدينة يثرب

"Dalam mimpi aku melihat bahma aku sedang melakukan hijrah dari Makkah menuju sebuah daerah yang banyak ditumbuhi buah korma. Aku menyangka daerah tersebut ialah Yamamah atau Hajar, ternyata daerah itu adalah kota Yatsrib".

Namun sayang, Muhammad Ilyas telah berani menggunakan mimpi sebagai landasan dalam menafsiri sebuah ayat. Hal inilah yang tidak boleh ditolerir. Belum pernah ada seorang ulama pun yang melakukan penafsiran ayat dengan metodologi mimpi. Jika Muhammad Ilyas sebagai mufassir sejati tentu metode yang akan ia gunakan ialah metode yang telah disebutkan oleh para ulama, bukan menggunakan metode semau gue. Teori tafsir ini telah disampaikan oleh imam as-Suyuthi sebagai berikut, "Para ulama telah mengatakan: Siapa pun yang ingin menafsiri al-Quran hendaknya yang pertama kali dilakukan ialah mencari tafsir tersebut di dalam a1-Quran. Dalam sebuah tempat, terkadang ayat al-Qur'an diterangkan secara general, namun di tempat lain dijelaskan dengan cukup detail. Apabila tidak ditemukan maka beralih pada Hadits, sebab salah satu fungsi dari Hadits ialah sebagai penjelas al-Quran. Imam Syafi'i telah menjelaskan : Seluruh hukum yang disampaikan oleh Nabi berasal dari pemahaman al-Quran, sebab Allah telah berfirman, "Inna anzalna ilaikal kitaba bil haqqi litahkuma bainannasi bima arokalloh" (Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu). (QS. an-Nisa : 105).

Selanjutnya para ulama mengatakan : Jika maksud sebuah ayat tidak ditemukan dalam al-Qur'an maupun Hadits, hendaknya kita merujuk kepada tafsir yang disampaikan oleh para sahabat. Mereka adalah orang yang paling tahu mengenai penjelasan sebuah ayat, sebab mereka adalah saksi asbabun nuzul, sekaligus orang-orang yang memiliki pemahaman akurat dan didukung dengan kesalehan (devosional) amal mereka. Sedangkan tafsir yang disampaikan oleh generasi tabi'in ulama masih belum sepakat, apakah kita harus merujuk pada tafsir yang mereka sampaikan atau tidak? Sebagian berpendapat mengatakan, kita tidak harus merujuk pada tafsir mereka sebab tafsir mereka tidak bisa dijadikan hujjah. Sedangkan menurut imam Ahmad ra. kita harus merujuk kepada generasi tabi'in baik dalam permasalahan tafsir atau pun yang lain.

Kritik serupa juga pernah disampaikan oleh Maulawi Abu Ahmad. Dengan mengutip komentar Ibnu Hajar al-Atsqolani dalam Mirqotul Mafatih 'ala Misykatil Mashobih ia mengatakan, "Mimpi yang dialami selain para Nabi tidak bisa dijadikan keretapan hukum syar'i". Hukum syar'i hanya bisa diperoleh melalui ijtihad dan wahyu. Selanjutnya Maulawi Abu Ahmad mengatakan, "Bagaimana mungkin Muhammad Ilyas menafsiri ayat al-Quran melalui mimpi, kemudian menyebarluaskannya ke segenap penjuru dan ia memproklamirkan diri sebagai pemimpin. Bukankah ini semua merupakan pemalsuan hukum-hukum syar'i.

Sekarang mari kita bandingkan tafsir yang disampaikan oleh Muhammad Ilyas dengan tafsir para ulama ahli tafsir.

Muhammad Ilyas telah menafsiri kata 'ukhrijat' dengan dakwah yang dilakukan dengan cara keluar dari satu daerah ke daerah lain atau dari pintu ke pintu lain. Metode dakwah semacam ini kemudian lebih terkenal dengan sebutan khuruj.

Interpretasi semacam ini sama sekali belum pernah disampaikan oleh seorang ulama pun. Jadi Muhammad Ilyas adalah satu-satunya. Dalam tafsir Alusi disebutkan: Tafsir dari kata 'ukhrijat' ialah "udzhirot (umat yang ditampakkan)". Sedangkan dalam tafsir ar-Rozi disebutkan, "Ada dua pendapat ,yang ditampilkan oleh para ulama mengenai makna "ukhrijat linnas". Pertama, kuntum khoirol umam al-mukhorrojah linnas fi jami'il a'shor (kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia sepanjang masa). Sedangkan kelompok kedua berpendapat, makna dari "ukhrijat linnas" adalah udzhirot linnas hatta tumuyyizat wa 'urifat wa fushila bainaha wa baina ghoiriha (umat yang ditampakkan bagi manusia sehingga mereka bisa dibedakan, bisa dikenali, dan dipisahkan dengan umat yang lain).

Jadi, interpretasi para mufassir itulah yang benar, dan tidak ada satu pun dari mereka yang menafsiri kata 'ukhrijat' dengan berdakwah dengan cara berkeliling dari kampung ke kampung.

Sekarang mari kita perhatikan kritik Maulawi Abu Ahmad mengenai tafsir yang disampaikan Muhammad Ilyas ini, "Lihat saja penafsirannya yang sembarangan ini. Ia menafsiri 'ukhrijat' dengan melalui mimpi, lagi pula penafsiran tersebut mengesankan betapa dangkal akal pikirannya. Seolah-olah ia tidak tahu mana arah kanan kiri. Dan tidak pula tahu mana perkara wajib dan mana perkara sunah. Perhatikan penafsirannya itu dengan seksama : Bahwa amar ma'ruf tidak akan bisa sempurna kecuali dilakukan dari pintu ke pintu. Padahal Islam sudah sedemikian menggema baik di penjuru barat maupun timur. Alangkah melelahkan metode dakwah seperti ini".

Dalam halaman lain Maulawi Abu Ahmad melanjutkan kritiknya, "Pemimpin gerakan ini telah menyampaikan sebuah manifesto bahwa penafsirannya dan ilmu-ilmunya yang lain diberikan Allah lewat mimpi. Manifesto ini tak jauh berbeda dengan apa yang pernah disampaikan oleh Abu al-A'la al-Maududi dalam kitab at-Tankihat, "Bahwa di dalam memahami al-Qur'an tidak butuh pada tafsir-tafsir yang kita kenal. Namun cukup dengan menguasai bahasa Arab pada tingkatan pertama saja". Pemikiran kedua orang ini sama persis dengan pemikiran yang berkembang di kalangan ahli bid'ah. Mereka sering kali menafsiri al-Quran dengan pendapatnya sendiri.

Kemudian jika umat terbaik yang telah disanjung oleh ayat ini bukanlah para mubaligh dalam Jama'ah Tabligh. Lalu siapakah mereka? Banyak versi yang disampaikan oleh para ulama mengenai ha1 ini. Menurut Ikrimah dan Muqotil sanjungan ini disampaikan Allah untuk Ibnu Mas'ud ra, Ubai bin Ka'ab ra, Muadz bin Jabal ra dan Salim ra mantan budak Abi Khudzaifah. Sanjungan mulia ini mereka terima setelah mereka mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Dikisahkan, suatu hari mereka dihina oleh dua orang Yahudi yang bernama Malik bin Shoif dan Wahb bin Yahuda, mereka berdua mengatakan, "Kami lebih mulia dari pada kalian, dan agama kami lebih baik dari pada agama yang kalian dakwahkan kepada kami!". Sebagai respon dari hinaan tersebut, kemudian Allah menurunkan ayat di atas.

Menurut Ibnu Abbas ra, seperti yang telah diriwayatkan oleh Sa'id bin Jabir, "Orang terbaik tersebut ialah orang-orang yang pernah melakukan hijrah bersama Nabi saw menuju Madinah". Pendapat senada disampaikan oleh Juwaibir dari ad-Dlohak, "Sanjungan ini khusus diperuntukkan bagi para sahabat Nabi, mereka para perawi dan juru dakwah yang harus kita taati". Umar bin Khattab ra juga telah mengatakan, "Umat terbaik itu ada pada generasi awal-awal kita dan tidak berada pada generasi akhir".

Kemudian menurut pendapat terakhir, sanjungan itu diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin umat Muhammad saw. Qotadah mengatakan, "Mereka adalah umat Muhammad saw. Sebab para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw tidak diperintahkan untuk berperang, sedangkan umat Muhammad saw melakukan peperangan melawan orang kafir, lalu mengajak orang-orang kafir untuk memeluk agama mereka (Islam). Mereka adalah umat terbaik bagi manusia".

Akidah Jama'ah Tabligh

Komentar para pengamat tentang akidah Jama'ah Tabligh sangatlah bervariasi. Hal ini disebabkan Jama'ah Tabligh tidak mempunyai akidah yang jelas, apakah mereka menganut paham Ahlus Sunnah, Mu'tazilah atau yang lain. Mereka bahkan merangkul setiap orang yang telah berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat, tanpa mempedulikan dari golongan apakah mereka. Mari kita simak bagaimana komentar yang disampaikan oleh kelompok yang gemar mengkafirkan ahli ziarah kubur dan mengkafirkan orang-orang yang melakukan tawassul (baca: Wahabi).

"Jama'ah Tabligh dan para tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat rancu dalam hal akidah. Demikian pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadlail A'mal karya Muhammad Zakariya al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan, bid'ah, dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah akidah adalah:

  1. Keyakinan tentang wihdatul wujud (panteisme). (Lihat kitab Tablighi Nishab, 2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore).
  2. Sikap fanatis yang berlebihan terhadap orang-orang shaleh dan berkeyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu gaib. (Lihat Fadhail A'mal, bab Fadhail Dzikir, h1m. 468-469, dan h1m. 540-541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
  3. Tawassul kepada Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta sikap ekstrim mereka dalam hal ini. (Lihat Fadhail A'mal, bab Shalat, hlm. 345, dan juga bab Fadhail Dzikir, h1m. 481-482, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore)
  4. Keyakinan bahwa para Syaikh Sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (lihat Fadhail A'mal, bab Fadhail Qur'an, hlm. 202- 203, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
  5. Keyakinan bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari perkara gaib atau batin. (LihatWhat Fadhail A'mal, bab Dzikir, hlm. 540- 541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
  6. Hidayah dan keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad al-Kanhuhi (lihat Shaqalatil Qulub, h1m. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang pendiri Jama'ah Tabligh telah berbaiat kepadanya di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H, bahkan terkadang ia bangun malam sekedar untuk melihat wajah Syaikhnya tersebut. (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hlm. 143, dikutip dari Jama'atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 2).
  7. Saling berbaiat terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah, Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah dan Sahrawardiyyah. (Ad- Da'wah fi Jaziratil 'Arab, karya asy-Syaikh Sa'ad al-Hushain, hlm. 9-10, dikutip dari Jama'atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 12).
  8. Keyakinan tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa'i. (Fadhail A'mal, bab Fadhail ash-Shalati ‘ala Nabi, hlm. 19, cet. Idarah Isya'at Diyanat Anarkli, Lahore).
  9. Kebenaran suatu kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan pemusuhan, perpecahan, atau perselisihan -walaupun ia benar- maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj Jama'ah. (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa'rifuha, hlm. 10).
  10. Keharusan untuk bertaqlid (lihat Dzikir wa I'tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, hlm. 94, dikutip dari Jama'atut Tabligh 'Aqaiduha wa Ta'rifuha, hlm. 70).
  11. Banyak sekali cerita-cerita kurafat dan Hadits-hadits lemah/palsu di dalam kitab Fadhail A'mal mereka, di antaranya apa yang disebutkan oleh asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya Jama'atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, h1m. 46-47 dan hlm. 50-52. Bahkan cerita-cerita kurafat dan Hadits-Hadits palsu inilah yang cnereka jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah.

Konfutasi Wahabiyah di atas apabila kita bandingkan dengan tulisan-tulisan mereka yang lain, sekilas tampak ada pernyataan yang paradoks. Sebagian dari mereka ada yang mengkafir-kafirkan Jama'ah Tabligh, namun sebagian lagi ada yang memberi dukungan. Namun pada hakikatnya adalah sama, mereka semua menolak akidah Jama'ah Tabligh. Berikut akan kami sampaikan fatwa Abdul Aziz ketika menanggapi pertanyaan mengenai Jama'ah Tabligh. Fatwa tersebut merupakan dukungan nyata pemerintah dan sebagian ulama Wahabi terhadap Jama'ah Tabligh:

Surat Untuk Abdul Aziz

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan kepada-Nyalah kita memohon pertolongan dalam urusan-urusan dunia dan agama.

Yang mulia Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Ketua Umum Lembaga Penyelidikan Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Pertimbangan, semoga Allah meneguhkannya dalam kehidupan dunia dan akhirat dan menjadikannya sebagai penolong kebenaran.

Assalamu'alaikum wr. wb.

Amma ba'du. Sungguh, kami telah membaca surat dari pendahulu tuan, yakni Syaikh Ibrahim bin Ibrahim, keluarga Syaikh Mufti ad-Diyar as-Su'udi, semoga Allah mencurahkan rahmat kepadanya dan melapangkan surga untuknya, yang ditujukan kepada para ulama di belahan Timur dan di Barat serta oleh pimpinan Jama'ah Tabligh di Madinah serta sejumlah orang yang dipesan agar mendampingi dan membantunya dengan baik. Dalam surat tersebut Syaikh Mufti ad-Diyar as-Su'udi menyebutkan bahwa tujuan Jama'ah Tabligh adalah memberikan nasihat dan keterangan-keterangan di masjid-masjid, mendorong untuk mengamalkan al-Qur'an dan Hadits, memberikan peringatan keras agar menjauhi bid'ah dan kurafat seperti menyembah kubur, meminta kepada orang-orang yang telah mati, maupun bid'ah dan kemungkaran lainnya. Kemudian beliau berkata, "Saya menulis hal yang demikian mengenai mereka, tidak lain supaya mereka mendapatkan bantuan dari saudara-saudara mereka dengan mempersilahkan mereka untuk menjalankan kerja-kerja tersebut seraya memohon kepada Allah agar memberikan taufiq kepada mereka agar meluruskan niat dan berkata benar, selamat dari kebengkokan, serta memberikan manfaat kepada bayan (penjelasan) dan ceramah mereka. Sesungguhnya Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Di samping itu kami juga banyak membaca surat-surat tuan sendiri, semoga Allah memberikan pahala kepada tuan yang dalam surat tersebut tuan sangat mendukung kegiatan jama'ah tersebut, memuji keutamaan, pengorbanan dan kesabaran mereka dalam usaha dakwah ilallah, semata-mata mengharapkan keridloan Allah swt. Karena pengorbanan merekalah maka banyak orang yang tersesat kembali mendapatkan petunjuk dan banyak orang kafir yang masuk Islam, yang selanjutnya timbul pula semangat untuk keluar bersama mereka dalam rangka dakwah ilallah dengan hikmah dan nasihat yang baik. Apalagi di kalangan mahasiswa, mereka sangat banyak yang ambil bagian karena mendapatkan kebaikan yang hanya dapat diketahui oleh Allah swt.

Selanjutnya, kami juga membaca beberapa surat dari pihak pemerintah yang isinya mendukung mereka, semoga Allah membalas kebaikan mereka yang telah berusaha memberikan bantuan. Pertama adalah surat dari yang mulia Raja Abdul Aziz, semoga Allah memberikan kenikamatan di tempat peristirahatannya. Kemudian, surat yang ditujukan kepada tuan yang mulia Raja Fahd, semoga Allah senantiasa melindunginya. Dalam surat tersebut beliau berkata tentang Jama'ah Tabligh sebagai berikut, "Sesungguhnya Jama'ah Tabligh tidak mempunyai tujuan politik maupun materialistik. Tujuannya hanya semata-mata memperbaiki diri di jalan Allah, mengajak manusia kepada Allah dengan penuh bijaksana dan nasihat yang baik. Banyak di antara mereka yang telah pergi ke seluruh dunia untuk mengajak manusia kepada Allah. Kemudiau mereka meminta kepada setiap orang agar menyiapkan dirinya sebagai da'inya Allah swt."

Dalam suratnya tersebut, yang mulia Raja Fahd menginstruksikan agar mereka memberikan pertolongan kepada mereka sebagaimana yang kami dapati dalam surat-surat dari banyak ulama besar maupun dari kalangan dosen universitas, baik di Madinah, bahkan di dalam maupun di luar kerajaan Saudi. Da1am surat tersebut mereka memuji Jama'ah Tabligh, terutama terhadap berbagai pengaruh positif yang muncul di mana-mana karena dengan kerja Tabligh tersebut, bahkan banyak orang yang kemudian mengikutinya, baik ketika mereka menjalankan kerja di tempat tinggalnya maupun ketika mereka bepergian (keluar di jalan Allah).

Sebagian kalangan yang saling berbeda paham, bahkan juga mengakui kelebihan Jama'ah Tahligh dan pengaruhnya terhadap ahli kurafat sehingga berkat usaha mereka, Allah swt. menunjuki mereka jalan yang lurus. Sehingga Muhammad Aslam, semoga Allah mengampuni kita dan dia, dalam suratnya yang terkenal mengakui kebaikan Jama'ah Tabligh. Dia berkata bahwa dia tidak mengetahui Islam melainkan dengan cara yang digunakan oleh Jama'ah Tabligh.

Namun pada akhir-akhir ini, setan dan hawa nafsu telah mempermainkan sebagian orang di Madinah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka yang sangat membenci Jama'ah Tahligh. Bahkan mereka mengerahkan tenaga dan waktunya untuk menyerang, mencaci-maki, menimbulkan kecurigaan, bahkan dengan enaknya mereka mendatangi pemuda-pemuda yang berkat usaha Jama'ah Tabligh telah berubah rajin menjaga shalat lima waktu dan mengamalkan sunnah, lalu berkata kepada mereka, "Apabila kamu tetap seperti keadaanmu dahulu, yakni hidup dalam kelalaian dan kemaksiatan, itu lebih baik dari pada kamu terpengaruh oleh Jama'ah Tabligh." Tentu saja sebagian mereka ada yang menjadi nakal kembali. Na'udzubiLlah.

Bahkan, mereka juga menyebarkan desas-desus bahwa tuan yang mulia telah menarik kembali pendapat tuan mengenai Jama'ah Tabligh manakala mereka telah menyampaikan keburukan Jama'ah tersebut kepada tuan. Namun kami tidak percaya mengenai hal tersebut kepada tuan. Kami telah banyak membaca atau mendengar dari tulisan tuan sebelum ini, yang tentunya berdasarkan pada pengamatan yang mendalam serta keinginan untuk mencapai kebaikan dan menghindarkan bahaya. Oleh karena itu, kami tidak menerima apa yang mereka sandarkan kepada tuan. Maka dalam kesempatan ini kami mohon penjelasan kepada Tuan yang mulia mengenai sikap mereka agar umat tidak menjadi bingung. Semoga Allah swt. meneguhkan tuan untuk menghentikan fitnah ini. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.

Wassalamu'alaikum ur. wb.

Atas nama murid-murid tuan di Madinah

Ibrahim bin Abdur-Rahman Al-Hussain

Surat Balasan

Wa'alaikumus-salam wr. wb.

Amma ba'd. Saya beritahukan kepadamu bahwa pada saat ini saya tetap berada pada pendapat saya semula mengenai Jama'ah Tabligh sebagaimana yang telah saya tulis dalam buku-buku maupun surat-surat, baik dahulu maupun sekarang. Demikian pula apa yang telah ditulis oleh pendahulu saya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, keluarga asy-Syaikh, semoga Allah mensucikan ruhnya dan menerangi kuburnya, atau pun yang telah di tulis oleh para ulama lain yang telah dikuatkan oleh yang mulia Paduka Raja Abdul Aziz, semoga Allah merahmatinya, dan Paduka Raja Fahd, semoga Allah melimpahkan taufiq kepadanya. Karena melalui Jama'ah Tabligh, Allah telah memberikan manfaat yang amat banyak dan menurunkan hidayah kepada manusia. Yang seharusnya kita perbuat adalah berterimakasih kepada mereka atas usaha dan perjuangannya. Hal yang demikian termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan takwa serta saling menasihati sesama kaum Muslimin. Hanya saja, saya nasihatkan kepada mereka dan seluruh umat Islam (terutama kaum muda) agar tidak bepergian ke negeri kafir, kecuali bagi orang yang mempunyai ilmu dan bashirah. Karena hal itu akan sangat berbahaya bagi orang yang tidak mengetahui syariat Islam dan dasar akidah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. dan diikuti oleh para sahabatnya.

Adapun mengenai pertanyaan mereka bahwa saya mencabut pendapat saya mengenai Jama'ah Tabligh, itu pernyataan dusta. Bahkan, saya menasihati mereka agar menghentikan ulah tersebut dan saya menganjurkan mereka agar menghadiri pertemuan Jama'ah Tabligh dan ikut keluar bersama mereka supaya memperoleh banyak manfaat. Kemudian, saya meminta kepada mereka agar berhati-hati dalam memberikan pendapat dan agar berpandangan jauh ke depan. Saya juga mengingatkan kepada mereka bahwa sikap penolakan mereka itu akan berakibat buruk di dunia dan akhirat, karena itu hanyalah tipu daya setan. Semoga Allah menyelamatkan kita dari orang-orang yang hendak memalingkan manusia dari seruan agama serta menyibukkan manusia dengan hal-hal yang merusak hati dan banyak bicara.

Ini adalah agama Allah. Kita memohon kepada Allah agar memperlihatkan kebenaran kepada kita dan menetapkan kita di atas kebenaran tersebut, kemudian menampakkan kebatilan kepada kita, dan menjauhkan kita darinya. Sesungguhnya Dia Maha Penolong dan Maha Kuasa atas semua itu.

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya ke atas hamba dan Rasul-Nya, Muhammad saw. Sebagai rahmat bagi seluruh alam, beserta > keluarga, para sahabat dan pengikutnya sampai hari kiamat. Amin.

Wassalamu'alaikum um. wb.

Ketua Umum

Lembaga Penyelidikan Ilmiah, Fatwa, Dakwah, dan Pertimbangan Abdul-Aziz bin Abdullah bin Baz

Namun menurut Syaikh Rabi' bin Hadi a1-Madkhali, dukungan yang diberikan oleh Syaikh Ibnu Baz kepada Jama'ah Tabligh adalah karena kesalahan informasi yang ia terima. Ia mendapatkan informasi mengenai Jama'ah ini tidak faktual. Seandainya ia mengetahui faktanya, tentu ia akan tnenyampaikan hujatan dan celaan pada Jama'ah tersebut. Karena menurut Syaikh Rabi' terdapat polarisasi fundamental antara Wahabiyah dan Jama'ah Tabligh baik dalam bidang akidah atau pun manhaji. Jama'ah Tabligh tidak akan pernah diterima oleh Wahabiyah, karena mereka menganut akidah Maturidiyah, mengikuti jalan sufistik dalam hal ibadah dan adab, melaksanakan baiat berdasarkan empat ajaran tarekat sufi yang sesat, mengakui ajaran hululiyyah (inkarnasi), mengakui wihdatul wujud (panteisme), dan melakukan banyak kesyirikan dengan menyembah kubur dan yang lain.

Kemudian Syaikh Rabi' menyampaikan fatwa terakhir dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai berikut:

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz telah ditanya:

Saya telah keluar bersama Jama'ah Tabligh ke India dan Pakistan, kami berkumpul dan shalat di masjid-masjid yang di dalamnya terdapat kuburan, dan saya mendengar bahwa shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan, maka shalatnya batal (tidak sah). Apakah pendapat Syaikh tentang shalat saya? Apakah saya mengulanginya? Dan apa hukum khuruj bersama mereka kepada tempat-tempat seperti ini?

Jawab:

Bismillah walhamdulillah, amma ba'du :

Sesungguhnya Jama'ah Tabligh tidak mempunyai ilmu dan pemahaman dalam masalah-masalah akidah, maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka kecuali bagi orang yang memiliki ilmu dan pemahaman tentang akidah yang benar yang dipegang teguh oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah (baca : Wahabiyah), sehingga ia membimbing dan menasihati mereka, serta bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan, karena mereka gesit dalam beramal, akan tetapi mereka butuh penambahan ilmu dan butuh kepada orang yang akan memahamkan mereka dari kalangan ulama-ulama tauhid dan sunah. Semoga Allah menganugerahkan kepada semua akan pemahaman dalam agama dan konsekuen di atasnya.

Adapun shalat di dalam masjid-masjid yang di dalamnya ada kuburan, maka shalatnya tidak sah, dan kamu wajib mengulangi shalat yang kamu kerjakan di masjid-masjid itu, karena Nabi bersabda, "Allah telah melaknat Yahudi dan Nasrani yang mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid" (muttafaq alaih). Dan sabda Nabi, "Ingatlah sesungguhnya orang sebelum kalian, mereka menjadikan kubur Nabi-nabi dan orang-orang shaleh mereka sebagai masjid, ingatlah, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid, sesungguhnya saya melarang kalian akan hal itu". (HR. Muslim).

Dan Hadits-hadits yang menjelaskan tentang hal ini sangatlah banyak, wa billahi taufiq, semoga Allah menganugerahkan shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad dan atas keluarga serta sahabatnya.

[fatwa tanggal 2/12/1414 H.]

Fatwa di atas hanyalah salah satu contoh sikap antipati Wahabiyah atas Jama'ah Tabligh. Selain itu masih banyak fatwa serupa yang menyudutkan posisi Jama'ah Tabligh seperti fatwa Abdu1 Aziz bin Abdullah Ali Syeikh, Sholeh bin Fauzan al-Fauzan, Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Muhammad bin Ibrahim Ali Syeikh, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Abdur Razzak Afifi, dan fatwa-fatwa lain. Beberapa fatwa di atas menunjukkan bahwa pluralitas akidah yang berusaha diwadahi oleh Jama'ah Tabligh ternyata tidak bisa diterima oleh siapa pun. Bayangkan saja seandainya fatwa di atas dibaca oleh anggota Jama'ah Tabligh Indonesia yang notabenenya sebagai Islam tradisional yang sering mengadakan ritual ziarah ke kubur dan masih menganut akidah asy-‘-Ariyah dan Maturidiyah, tentu mereka akan emosi karena mereka dituduh sebagai orang kafir. Namun sebaliknya, jika fatwa di atas dibaca oleh anggota Jama'ah Tabligh yang menganut paham Wahabiyah tentu mereka akan no comment saja, sebagai tanda setuju.

Sekarang mari kita tengok kritik yang disampaikan oleh salah seorang ulama Sunni yaitu Maulawi Abu Ahmad. Maulawi telah mengutip tulisan Muhammad Idris yang tertuang dalam Tablighi Dusthur al-Amal. Dalam buku tersebut Muhammad Idris telah menjelaskan tiga tujuan yang ingin dicapai oleh Jama'ah Tabligh:

  1. Meninggikan kalimat Allah.
  2. Menyampaikan Islam dan mensyiarkannya.
  3. Mempersatukan orang-orang yang sama akidahnya, serta mengadakan rekonstuksi pemahaman madzhab, etika, dan pendidikan.

Selain itu, Muhammad Ilyas pernah menjelaskan bahwa aktifitas dakwah dari kampung ke kampung hanya sekedar awal dari seluruh misi Jama'ah Tabligh. Sedangkan penegakan kalimatullah, mengajarkan shalat, dan aktif dalam bidang pendidikan laksana alif, ba', dan ta' bagi gerakan tersebut. Final dari semua itu ialah mendidik masyarakat dengan seluruh ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw sesuai dengan akidah yang dikehendaki Muhammad Ilyas.

Muhammad Ilyas juga pernah bertutur kepada rekan dekatnya, Dhahir al-Hasan, "Tujuanku tidak bisa dimengerti setiap orang, masyarakat menduga pergerakan ini sekedar mengajak orang mengerjakan shalat. Aku pun bersumpah, demi Allah gerakan ini bukan sekedar mengajak orang mengerjakan shalat". Inti dari tujuan mereka adalah ingin menciptakan tarekat dan akidah sebagai alat propaganda untuk menghimpun anggota Jama'ah sebanyak-banyaknya. Dan menurut Dhahir al-Hasan Jama'ah Tabligh ini telah mewadahi syariat, tarekat dan hakikat dengan sangat sempurna.

Selanjutnya Maulawi Abu Ahmad menyoal akidah Jama'ah Tabligh yang telah dijelaskan oleh Muhammad Idris Anshori. Dalam penjelasannya ia mengatakan, "Akidah Jama'ah Tabligh ini adalah laiilaha illalah muhammadur rosulullah". Menurut Maulawi Abu Ahmad memang benar akidah ini merupakan akidah Islam, tetapi sangat disayangkan akidah ini juga mereka pakai untuk merekrut golongan al-Qodiyani, al-Bahai, dan golongan-golongan lain yang telah dinyatakan keluar dari ajaran Islam. Seluruh golongan bisa masuk dalam komunitas Jama'ah Tahligh selama mercka mengakui dua kalimat syahadat.

Statemen di atas memiliki ekuivalensi dengan apa yang tertulis dalam Dustur al-A'mal, "Setiap orang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat dan mengakui maknanya sebagai akidah, kemudian setuju dengan pergerakan ini dan dengan penuh semangat ikut berkhidmah kepada agama Islam, maka dengan sendirinya termasuk anggora Jama'ah ini. Meski pun berasal dari golongan mana saja atau berdiam di penjuru mana pun. Untuk masuk ke dalam Jama'ah ini tidak ada syarat lain". Di tempat lain dalam Dustur al-A'mal juga tertulis, "Jangan sampai membicarakan masalah khilafiyah dan furu'iyyah. Sampaikan saja pokok-pokok tauhid dan rukun-rukun Islam".

Muhammad Ilyas juga mengatakan, "Dasar gerakan kita adalah meningkatkan keimanan dan keyakinan dalam beragama. Oleh karena itu, tidak usah mengungkit-ungkit permasalahan akidah". (Malfudhot:116). Dia juga mengatakan, "Pada suatu saat kalian menyinggung masalah bid'ah. Lain kali kata-kata itu jangan kalian sampaikan karena bisa memancing fitnah di tengah masyarakat". (Makatib:l42).

Jelas sudah kini bahwa mereka tidak mempunyai apakah Ahlus Sunah atau Ahli Bid'ah. Semua mereka kasihi di bawah bendera lailaha illallah muhammadur rasulullah. Ada dua persoalan yang harus dijawab oleh Jama'ah Tabligh mengenai hal ini. Pertama, agar akidah kita selamat, kita harus mengenal akidah yang benar, membedakannya dengan 72 dua firqoh yang terancam masuk neraka. Untuk mengetahui ha1 itu mau tidak mau kita harus mendiskusikan khilafiyah yang terjadi dalam permasalahan teologi.

Kedua, dengan merekrut seluruh golongan, berarti tanpa disadari mereka telah menjalin hubungan harmonis dengan ahli bid'ah. Padahal keharmonisan ini telah dilarang oleh Nabi, "Barangsiapa melihat pelaku bid'ah dengan pandangan penuh kebencian, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan iman dan perasaan aman. Barangsiapa menghardik pelaku bid'ah dengan penuh kebencian, kelak di hari kiamat dia akan aman dari siksa neraka. Barangsiapa menghina pelaku bid'ah, derajatnya di surga kelak akan dilipatgandakan seratus kali. Barangsiapa ketika bertemu dengan pelaku bid'ah menampakk'an face yang ceria, maka sungguh ia telah melecehkan ajaran Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw".

Seorang Wali agung Fudlail bin 'iyadl juga mengatakan, "Barangsiapa mencintai Pelaku bid'ah, Allah akan menghapus amalnya dan menghilangkan cahaya keimanan dari hatinya. Ketika Allah mengetahui ia membenci pelaku bid'ah, aku berharap semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Kemudian ketika kamu menjumpai pelaku bid'ah di tengah jalan, maka ambillah jalan lain". (AlGhunyah, 1:90).

Ushulus Sittah

Realisasi laa ilaha illallah muhammadur rasulullah merupakan salah satu dari enam asas dari pergerakan Jama'ah Tabligh. Agar penjelasan ini lebih perfect, kami akan menyampaikan keenam landasan Jama'ah Tabligh yang terkenal dengan al-ushulus sittah (enam landasan pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam).

Merealisasikan Kalimat Thayyibah La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Mereka menafsirkan makna La Ilaha Illallah dengan: "Mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang Dzat Allah, bahwasanya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Madlarat dan Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan". Mayoritas diskusi mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid rububiyyah semata. (Jama'atut Tabligh Mafahim Yajibu an-Ushahhah, hlm.4).

Padahal makna La Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: "Tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah." (Lihat Fathul Majid, karya asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hlm. 52-55). Adapun makna 'merealisasikannya' adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; al-uluhiyyah, ar-rububiyyah, dan al-asma wash shifat (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa'rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-'Adnani, hlm. 10). Dan juga sebagaimana dikatakan asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan: "Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya) dari kesyirikan, bid'ah, dan kemaksiatan." (Fathul Majid, hlm. 75)

Oleh karena itu, asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara 'keistimewaan' Jama'ah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal dari mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid. Namun tauhid mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah, di mana perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam hal ini, mereka termasuk golougan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma wash shifat, mereka berada dalam lingkaran Asy'ariyah serta Maturidiyah, dan kepada Maturidiyah mereka lebih dekat". (Nazhrah 'Abirah I'tibariyyah Haulal Jama'ah At-Tablighiyyah, hal. 46).

Kritik serupa banyak disampaikan oleh kalangan Wahabiyah. Kekeliruan ini terjadi karena Jama'ah Tabligh mempunyai 'kalimat kunci' dalam pergerakan mereka. Kalimat kunci tersebut ialah, segala sesuatu yang berpotensi menyebabkan perpecahan -walaupun hal tersebut merupakan kebenaran- maka harus ditinggalkan dan disingkirkan. Jama'ah Tabligh tidak akan pernah bersedia mendiskusikan tauhid al-asma' was shifat, sebab diskusi tersebut akan menimbulkan konflik di antara mutakallimin. Di sana ada kelompok Asy'ariyah, Maturidiyah, Jahmiyah, Hululiyah, Ittihadiyah dan lain -lain. Tauhid uluhiyah juga tidak akan mereka bicarakan, sebab di dalamnya terdapat konflik antara golongan yang melegalkan ziarah kubur dan tawassul dengan golongan yang mengkafir-kafirkan ahli ziarah dan ahli tawassul. Jama'ah Tabligh hanya bersedia membicarakan tauhid rububiyyah; Allah yang menciptakan, Allah yang memberi rizki, Allah yang memberi nikmat, dan makna-makna tauhid rububiyyah yang lain. Padahal tauhid semacam ini juga telah dikenal oleh kaum musyrikin Arab pada masa lampau.

Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri

Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata: "Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya. Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajibannya, sunah-sunahnya, hukum sujud sahwi dan perkara fiqih lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut Jama'ah Tabligh) tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya segelintir dari mereka". (Jama'atut Tabligh Mafahim Yajibu 'an Ushahhah, h1m. 5-6).

Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir

Mereka mengklasifikasikan ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhoil. Ilmu masail, menurut prespektif mereka, adalah ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adalah ilmu yang dipelajari pada ritus khuruj dan pada majelis-majelis tabligh. Jadi yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian dari fadhail amal serta dasar-dasar pedoman Jama'ah (secara umum), seperti sifat yang enam dan yang sejenisnya, dan hampir-hampir tidak ada lagi selain itu.

Orang-orang yang bergaul dengan mereka tidak bisa memungkiri tentang keengganan mereka untuk menimba ilmu agama dari para ulama, serta tentang minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang yang cinta akan ilmu, dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya. (Jama'atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hlm. 6).

Pengklasifikasian yang telah disampaikan oleh Jama'ah Tabligh memang kurang tepat. Sekali lagi motif dari pengklasifikasian ini karena mereka ingin menghindari konflik dengan cara menghindari ilmu-ilmu masa'il. Dengan demikian berarti Jama'ah ini membiarkan begitu saja anggotanya mempunyai atau menganut ilmu-ilmu masa'il yang mungkin mengandung kebid'ahan atau kesesatan. Bukankan kebid'ahan itu merupakan kemungkaran yang harus diluruskan? Kita patut bertanya kepada mereka, apakah mereka hanya bisa mendakwahi orang-orang di luar golongan mereka dan menganggap anggota Jama'ah mereka tidak ada lagi yang memerlukan dakwah?

Baiklah! Berikut di sini kami akan menyampaikan definisi ilmu dan pengklasifikasiannya menurut para ulama.

Dalam pengertian etimologis, ilmu bisa berarti ma'rifat (pengetahuan), syu'ur (filling), itqon (keahlian), dan yaqin (keyakinan). Sedangkan dalam pengertian terminologis, ilmu berarti visualisasi dari sebuah pengetahuan yang ditangkap oleh akal. Sedangkan menurut al-'Adlud al-Iji ilmu adalah sebuah sifat yang mendiferensikan antara beberapa makna sehingga tidak ada lagi kontradiksi. Sedangkan menurut penulis kitab Kulliyyat makna substansial dari kata 'ilmu' ialah idrok (persepsi kognitif). Makna ini mempunyai keterkaitan dengan al-ma'lum (informasi atau data). Agar sebuah informasi terus terekam dalam otak maka membutuhkan sebuah instrumen yang disebut dengan malakah (naluri). Sedangkan kata 'ilmu' bisa digunakan untuk ketiga-tiganya; idrok, al-ma'lum, dan malakah.

Sedangkan mengenai hukum tergantung pada seberapa kadar faedah yang terkandung dalam sebuah ilmu dan seberapa ilmu itu dibutuhkan oleh manusia. Setelah menganalisa kadar masing-masing, kita akan mengetahui bahwa mempelajari sebuah ilmu ada yang hukumnya wajib seperti mempelajari ilmu tentang shalat, sunah seperti memperluas pengetahuan agama, mubah seperti mempelajari puisi yang liriknya tidak memberi dampak negatif atau positif, makruh seperti mempelajari puisi cinta, dan haram seperti mempelajari sihir dan sulap. Kemudian ilmu wajib dapat diklasifikasikan menjadi dua kategorial; fardlu ain dan fardlu kifayah.

Imam Nawawi telah mengatakan: Termasuk bagian dari ilmu syar'i adalah ilmu yang hukumnya fardlu ain. Fardlu ain ialah ilmu yang inheren dengan sebuah kewajiban. Sebuah kewajiban tidak akan terealisasi kecuali dengan adanya ilmu tersebut, seperti cara melakukan wudlu, shalat, dan yang lainnya. Sedangkan dalam permasalahan ushul dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah, maka cukup dengan mempercayai dan meyakini seluruh ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, dengan sebuah keyakinan yang mantap dan tidak ada lagi keraguan. Orang yang telah mempunyai keyakinan seperti ini tidak diwajibkan mempelajari dalil-dalil (theorem) para teolog.

Termasuk dari ilmu yang harus dipelajari dan hukumnya fardlu ain adalah ilmu hati. Ilmu hati dalam penjelasan Imam Nawawi ialah ilmu tentang penyakit hati seperti dengki, ta'ajjub dengan diri sendiri, dan yang lain.

Al-Ghazali mengatakan, "Hukum mendiagnosa penyakit hati, mengetahui batasan-batasannya, gejalanya, obatnya, dan bagaimana cara pengobatannya, adalah fardlu ain". Sedangkan menurut ulama lain, seseorang yang dikaruniai hati yang bersih, sehingga tidak mungkin terjangkit penyakit hati, dia tidak diwajibkan belajar tentang obat hati. Namun jika seseorang mungkin terjangkit penyakit ini, maka dia harus introspeksi diri, apakah dia mampu memberikan obat penawar dengan tanpa harus belajar atau tidak mampu. Jika dia mampu melakukan pengobatan sendiri maka dia harus segera melakukan pengobatan dan kembali membersihkan hatinya. Apabila tidak mampu melakukan pengobatan sebelum mempelajari ilmu tentang pengobatan, maka hukum mempelajari pengobatan tersebut adalah fardlu ain.

Sedangkan ilmu yang fardlu kifayah ialah ilmu-ilmu syariat yang sangat diperlukan untuk menegakkan agama Islam. Contohnya seperti menghafalkan al-Quran dan Hadits, mengkaji ilmu a1-Quran, Hadits dan ushul, mengkaji fiqih, mempelajari gramatika Arab, mengetahui para perawi Hadits, mengetahui tentang ijma' dan khilaf antar ulama. Termasuk fardlu kifayah juga adalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan uutuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia, seperti kedokteran, hisab, dan beberapa ilmu dalam bidang usaha seperti navigasi dan garmen.

Di atas jelas tertulis bahwa mempelajari khilaf yang terjadi di tengah ulama atau masail hukumnya adalah fardlu kifayah. Lalu bagaimana Jama'ah Tabligh dengan begitu saja meninggalkan kewajiban ini dengan mengatakan "Mempelajari khilafiyah hanya akan menyebabkan konflik". Apakah mereka tidak mengerti bagaimana resiko meninggalkan fardlu kifayah? Hukum meninggalkan fardlu kifayah secara total dalam sebuah komunitas adalah atsimal jami' (seluruh manusia dalam komunitas tersebut akan menanggung beban dosa).

Jadi pengklasifikasian ilmu dalam versi Jama'ah Tabligh akan melahirkan sebuah pertanyaan besar, terutama mengenai ilmu masail. Dalam prespektif mereka, ilmu masail harus dipelajari di luar komunitas Jama'ah Tabligh, di pelajari di negeri masing-masing. Padahal faktanya, ketika seorang telah menyatakan diri masuk dalam keanggotaan Jama'ah Tabligh mereka nyaris tidak lagi tertarik untuk menimba ilmu kepada para ulama yang notabene tidak mendukung gerakan Jama'ah Tabligh, kalau perlu ulama tersebut menjadi obyek dakwah mereka.

Anggota Jama'ah Tabligh hanya tertarik untuk menimba ilmu yang ada dalam komunitas mereka sendiri. Sedangkan ilmu yang tersedia dalam komunitas tersebut hanyalah keutamaan ibadah; fadlilah, fadlilah dan fadlilah. Mereka rawan terpedaya oleh setan karena mereka tidak mempunyai kestabilan antara ritual ibadah yang identik dengan fadlilah dan keilmuan. Apakah mereka belum tahu lebih utama mana antara orang alim dan ahli ibadah? Tentu lebih utama orang alim. Dalam al-Quran disebutkan, "Katakanlah: "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS. Az-Zumar : 9). Disebutkan pula, "Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat". (QS. at-Mujadalah : 11). Dan firman Allah, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama". (QS. Fathir : 28). Keutamaan orang-orang yang berilmu dibanding ahli ibadah juga disabdakan oleh Nabi, "Menuntut ilmu lebih utama dari pada shalat sunnah". Dalam Hadits lain Nabi bersabda, "Keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah sebagaimana keutamaanku (Nabi) dibanding orang yang paling rendah di antara kalian".

Menghormati Setiap Muslim

Sesungguhnya Jama'ah Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan yang jelas dalam merealisasikan ushul yang keempat ini, khususnya dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara (kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang kontras dengan substansi ushul yang keempat ini. Mereka memusuhi orang-orang yang menasihati mereka atau yang berpisah dari mereka dikarenakan beda prinsip, walaupun orang tersebut 'alim rabbani. Memang hal ini tidak rerjadi pada semua tablighiyyin, tapi inilah yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama'atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hlm. 8.)

Dalam kritik yang ia sampaikan, Muhammad Ali Ishmah al-Medani menuliskan, "Dalam urusan amar ma'ruf nahi munkar mereka juga menggunakan senjata kalimat rahasia ini... Oleh karena itu bila ada orang yang bermaksiat ikut khuruj bersama mereka ingin merokok maka mereka memperbolehkannya bahkan membelikan rokok untuknya. Demikian juga peminum arak, mereka akan membawakan botolnya. Dan kalau orang itu ingin mencukur jenggotnya mereka akan berikan pisau cukur untuknya atau mereka akan membawanya ke tukang cukur".

Seandainya informasi tersebut akurat dan sesuai dengan realitas di lapangan, artinya mereka mentolerir sebuah kemaksiatan, tentu hal ini merupakan sebuah kesalahan Jama'ah Tabligh yang harus kita luruskan. Pertama, kita tidak diperbolehkan muwalah (mengasihi) orang-orang munafik. Allah telah berfirman:

لا يتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين

"Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min". (QS. A1i Imran : 28)

AI-Qofal mengatakan, "Ayat tersebut merupakan larangan bagi kaum Muslimin untuk mengasihi orang-orang munafik. Sebab terkadang virus kemunafikan itu akan menular, sehingga kita mengikuti gaya hidup dan pola pikir mereka. Oleh sebab itu janganlah kalian menjadikan mereka sebagai kekasih".

Kedua, sikap diam mereka terhadap sebuah kemaksiatan berarti mengindikasikan sebuah keridloan. Padahal ridlo dengan maksiat adalah kemaksiatan. Atau yang Iebih parah lagi jika mereka turut menfasilitasi atau melancarkan usaha kemaksiatan. Hal ini merupakan sebuah pertolongan yang disebut dengan i'anah ‘alal ma'shiyyat. Bukan hanya pelaku kemaksiatan saja yang berdosa, melainkan fasilisator sebuah kemaksiatan juga akan mendapatkan jatah dosa.

Memperbaiki Niat

Tidak diragukan lagi bahwasanya memperbaiki niat termasuk pokok agama dau keikhlasan adalah porosnya. Akan tetapi semuanya membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jama'ah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama, maka banyak pula kesalahan mereka dalam merealisasikan sifat kelima ini. Oleh karenanya engkau dapati mereka biasa shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. (Jama'atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hlm. 9).

Sekali lagi, kritik yang disampaikan oleh Ruwaifi' di atas berawal dari back groundnya sebagai seorang Wahabi. Dia dan kawan-kawan sering melontarkan kritik yang berhubungan dengan kuburan dan tawashul. Untuk mengetahui kebenaran atau kekeliruan kritik mereka, insyaallah kami akan mengupasnya pada bab berikutnya yang mengulas tentang Wahabi.

Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah Subhanahu Wata'ala

Cara merealisasikan hal tersebut adalah dengan menempuh khuruj (keluar untuk berdakwah) bersama Jama'ah Tabligh, empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan menetap pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta'lim setiap hari, majelis ta'lim pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di rumah. Meluangkan waktu 2,5 jam setiap hari untuk menjenguk orang sakit, mengunjungi para sesepuh dan bersilaturrahmi, membaca satu juz al-Quran setiap hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore, membantu para Jama'ah yang khuruj, serta i'tikaf pada setiap malam Jum'at di markas. Dan sebelum melakukan khuruj, mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa konsep berdakwah yang disampaikan oleh salah seorang anggota Jama'ah yang berpengalaman dalam hal khuruj. (Jama'atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hlm. 9).

Aktifitas khuruj yang dilakukan oleh para karkun bukan hal asing lagi di Indonesia. Kita sering melihat sebuah kelompok yang berjumlah sekitar sepuluh sampai lima belas orang, berjenggot, bersurban dan celana dipangkas agak tinggi, sebagai ciri dari penampilan mereka. Biasanya sebelum melakukan khuruj terlebih dahulu mereka akan menerima tawaran, siapa saja yang telah siap untuk mengadakan khuruj?

Hidayatullah pernah menuliskan aktifitas yang dilakukan dalam sebuah masjid di Kebon Jeruk, Jakarta Selatan sebagai berikut, "Usai khutbah ada tasykil, tawaran khuruj secara berombongan. Lamanya dakwah bervariasi mulai 3 hari, 7 hari, 10 hari, 40 hari sampai 4 bulan. "Ayo saudara-saudara kita dakwah, masya Allah, masya Allah. Allah yang akan menjaga anak, istri, keluarga atau harta kita," katanya. Banyak Jama'ah antusias menerima ajakan itu. Mereka lalu didaftar dan diseleksi oleh Ahli Syura. Hanya yang memenuhi syarat yang bisa khuruj".

Yang sering menjadi permasalahan adalah tentang keluarga yang ditinggalkan. Bahkan sebagian orang menuduh anggota Tabligh telah menelantarkan anak dan istri untuk kepentingan dakwah. Mereka meninggalkan anak dan istri di rumah tanpa meninggalkan nafkah. Namun tuduhan apriori ini disikapi biasa saja oleh Jama'ah Tabligh sebab menurut mereka sebelum melakukan dakwah segalanya telah diperhitungkan dengan cukup matang. Mari kita lihat wawancara yang dilakukan oleh Hidayatullah dengan Amin, salah seorang penanggungjawab Jama'ah Tabligh Surabaya.

Khuruj dilakukan secara berkelompok -antara 10 hingga 15 orang- mengunjungi daerah-daerah sesuai sasaran dakwah yang telah ditentukan. Bagaimana dengan pendanaan? Dan bagaimana pula dengan nafkah pada keluarga yang ditinggal di rumah?

"Itu sudah diperhitungkan secara matang," ujar Amin yang sudah 7 kali keliling dunia (1995 ke Eropa, 1996 ke Australia, 1997 ke Afrika, dan ke beberapa negara di Asia lainnya). "Khuruj jangan disalahtafsiri mengabaikan keluarga di rumah," timpal Muhammad Muslihuddin, salah seorang anggota Syuro Jama'ah Tabligh Indonesia.

Sebelum khuruj, keluarga di rumah terlebih dulu dicukupi nafkahnya. Atau dengan cara lain, misalnya "Bersama keluarga secara berpasangan dengan muhrim-nya, suami dan isteri serta anak-anak," tambahnya.

Soal biaya?

"Itu ditanggung pribadi masing-masing. Karena, dari setiap usaha yang dilakukan sengaja disisihkan untuk dakwah". Ustadz Amin melengkapi keterangan Muslihuddin.

Setidaknya, kata Muslihuddin, dalam sebulan ada 3 hari dan 40 hari dalam setahun yang disisihkan untuk khuruj. Jumlah waktu khuruj ini, katanya lagi, jika dibanding dengan waktu di rumah sebetulnya lebih banyak waktu yang diberikan untuk keluarga di rumah. Kalangan Jama'ah kita, lanjutnya, sudah paham. Sehingga, ketika ada keluarga, misalnya suami yang melakukan khuruj, istri dan anak di rumah sudah mahfum.

Hasil interview yang dilakukan oleh Daromi juga akhirnya mempunyai kesimpulan yang serupa. Anggota Jama'ah Tabligh tidak menelantarkan keluarga mereka. Daromi mengatakan, "Pertanyaan ini pernah saya diskusikan dengan beberapa Jama'ah Tabligh dari berbagai markas (demikian Jama'ah ini menyebut), dan yang benar menurut temen-teman saya yang di JT adalah sebelum keluar (khuruj), maka nafkah harus terpenuhi dahulu baru bisa keluar, juga harus izin dengan istri dulu. Adapun kasus-kasus seperti menelantarkan istri atau meninggalkan orang tua yang sakit adalah kasus yang terjadi karena begitu antusiasnya sebagian personil dari Jama'ah ini, sehingga menyimpang dari kaidah yang benar. Kadang ada Jama'ah yang mengasumsikan seperti halnya Nabi Ibrahim menimggalkan istrinya dan Nabi Ismail di tengah gurun dimana Allah lah yang mencukupi rizkinya, dan ini kurang benar".

Menurut Daromi dampak dari dakwah ini sangatlah positif, mampu merubah pola hidup yang hedonis menjadi religius. Mereka mengajak orang lain shalat berjama'ah, berdzikir dan lain-lain. Dia mencontohkan perubahan itu pada diri Gito Rollies, "Kalau kita lihat Gito Rollies sekarang sudah jauh berbeda dengan Gito yang dulu, karena bersentuhan dengan Jama'ah ini. Gito Rollies juga sering khuruj (menurut keterangan temen-temen saya yang aktif di JT)".

Namun dari sisi lain, kita harus menyampaikan kritik kepada Jama'ah Tabligh, sebab mereka telah mewajibkan kegiatan dakwah dengan memberikan batasan waktu 3 hari, 7 hari, 40 hari atau 3 bulan. Mengenai hal ini Daromi mengatakan, "Adapun keluar khuruj, kalau hal ini menjadi sebuah kewajiban dengan berpatokan pada 3, 7, 40 hari atau 3 bulan menurut saya menyalahi sunah rasulullah karena Rasalullah tidak mewajibkan jumlah-jumlah tersebut, apalagi jika sampai menelantarkan keluarga".

Ruwaifi' juga mengkritik penentuan hari tersebut dengan menampilkan beberapa pendapat ulama Wahabi. Berikut beberapa pendapat yang telah dikutip oleh Ruwaifi':

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: "Khuruj di jalan Allah adalah khuruj untuk berperang. Adapun apa yang sekarang ini mereka (Jama'ah Tabligh) sebut dengan khuruj maka ini bid'ah. Belum pernah ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya seseorang untuk berdakwah di jalan Allah yang harus dibatasi dengan hari-hari tertentu. Bahkan hendaknya berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa dibatasi dengan Jama'ah tertentu, atau dibatasi 40 hari, atau lebih sedikit atau lebih banyak." (Aqwal Ulama as-Sunah fi Jama'atit Tabligh, hlm. 7)

Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi berkata: "Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah, tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada al-Quran dan as-Sunah, akan tetapi berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, Syaikh mereka yang ada di Bangladesh (maksudnya India). (Aqwal Mama as-Sunah fi Jama'atit Tabligh, hlm. 6).

Tabligh, Tarekat dan Tasawwuf Muhammad Ilyas

Sesuai dengan misi Jama'ah Tabligh yang ingin mengejar fadlail, membuat mereka lebih akrab dengan wirid dan wadhifah-wadhifah yang lain. Untuk ini kita perlu mengenal bagaimana sebenarnya pandangan pendiri gerakan ini mengenai tabligh, tarekat dan tasawwuf.

Untuk mengetahui pandangan Muhammad Ilyas, mari kita simak statemen-statemen yang pernah ia sampaikan sebagai berikut, "Fungsi tarekat hanyalah untuk mendorong seseorang agar dengan senang hati mau menjalankan hukum-hukum Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah. Sedangkan fungsi dzikir, amalan-amalan hanyalah untuk mewujudkan hal-hal di atas. Namun sayang sekali kebanyakan orang menyangka tarekat, dzikir dan amalan-amalan tertentu sebagai tujuan. Apalagi ada yang berupa perbuatan bid'ah". (Mahfudhat:l4).

Statemen di atas kemudian dikritik oleh Maulawi Abu Ahmad sebagai berikut, "Jadi menurut Muhammad Ilyas fungsi dari tarekat hanyalah sebagai stimulus untuk menjalankan hukum-hukum Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan dzikir sebagai penopang saja. Setelah hal di atas terwujud maka seseorang tidak lagi membutuhkan tarekat, bahkan yang harus dilakukan selanjutnya adalah berkeliling dari satu daerah ke daerah lain untuk melakukan dakwah. Apakah pernyataan seperti ini pernah disampaikan oleh para ulama terdahulu? Jawabnya tidak".

Sebenarnya akuitas kritik di atas masih kurang, sebab mungkin Muhammad Ilyas yang menganggap tarekat dan dzikir bukanlah sebagai tujuan pokok dapat dibenarkan. Memang keduanya bukanlah tujuan, tujuan sebenarnya dari tarekat dan dzikir adalah ma'rifat kepada Allah. Begitulah tahap-tahap yang harus ditempuh dalam dunia tasawwuf. Syariat ibarat perahu, tarekat ibarat lautan, dan hakikat ibarat mutiara dalam lautan. Perahu dan lautan hanyalah alat dan tempat untuk mendapatkan mutiara. Mutiara itulah tujuan akhir bagi para mutasawwif.

Syariat adalah melakukan beberapa perintah dan meninggalkan larangan. Tarekat adalah selalu meneladani Nabi dan mengamalkan sunah-sunahnya. Ada juga yang mengatakan tarekat adalah berhati-hati dalam seluruh tindakan dan melakukan amal-amal yang berat, seperti bersifat wira'i dan continue melakukan riyadloh; meminimalisir makanan, minuman, tidur, berbicara dan banyak melakukan dzikir. Sedangkan hakikat adalah buah dari tarekat yang berupa ma'rifat kepada Allah.

Selain itu, orang yang antusias menghadiri majlis dzikir dan telah merasa cukup dengan dzikir itu; dzikir yang dilakukan tidak mampu merubah perilaku menjadi lebih baik, maka orang tersebut adalah orang yang tertipu. Sebab sebuah dzikir akan bernilai baik ketika ia bisa menjadi stimulus untuk melakukan amal yang baik. Ketika sebuah dzikir tidak mampu menjadikan seseorang menjadi lebih baik maka tidak ada nilai kebaikan dalam dzikir tersebut.

Maulawi Abu Ahmad menuduh Muhammad Ilyas telah menciptakan tarekat gaya baru. Tuduhan ini ia lontarkan karena menurut Muhammad Ilyas amalan yang baik dilakukan setelah waktu subuh adalah membaca terjemah atau mengajarkan al-Quran. Ajaran ini tertulis dalam Dustur al-A'mal halaman 20.

Sugesti di atas belum pernah disampaikan oleh ulama salaf kepada para pengamal tarekat. Selanjutnya Maulawi mengutip amalan setelah subuh yang pernah disampaikan oleh Syaikh Zainuddin Ali al-Malibari dalam Hidayatul Adzkiya', "Mengenai amalan setelah shalat subuh adalah menyibukkan diri dengan wirid, tidak boleh berbicara, selalu menghadap kiblat, muroqobah dan membaca kalimat tahlil, sesuai tarekat yang diajarkan para guru. Engkau akan melihat api dan cahaya, menyinari hati dengan cahaya terang, perangai-perangai buruk pun sirna dan kemudian menjadi ahli musyahadah. Hal ini adalah nikmat agung dari Allah. Aktifitas di atas dilakukan hingga matahari naik sepenggalan".

Dari abstraksi di atas Maulawi Abu Ahmad kemudian membuat sebuah presumpsi bahwa rutinitas pengajian dan dzikir yang dilakukan oleh Jama'ah Tabligh tidaklah seperti layaknya pengajian, sebab yang mereka kaji hanyalah buku-buku tentang fadlilah amal yang ditulis oleh para Amir dan sama sekali tidak menyinggung ilmu fiqih atau ilmu khilaf yang lain. Dzikir yang mereka lakukan pun tidak selayaknya dzikir yang dilakukan oleh para penganut sebuah tarekat.

Hal lain yang disorot oleh Maulawi Abu Ahmad adalah perkataan Muhammad Ilyas yang pernah diekspos dalam harian Gandharikah, 24 Juli 1976, "Guru tarekatku telah memberikan ijazah kepadaku untuk membimbing dan mengajar murid-murid tarekat tentang amalan-amalan tasawwuf dan berbagai macam riyadloh. Mereka kemudian aku bimbing dengan karunia dan nikmat Allah, mereka pun merasakan lezatnya berdzikir dalam waktu yang singkat. Aku sangat heran dengan keadaan mereka, yang bisa mencapai kemajuan spiritual dengan sangat pesat. Kemudian aku berfikir, sebenarnya apa faedah dari tarekat yang mereka jalani itu? Paling-paling yang mereka peroleh hanya popularitas di tengah-tengah masyarakat, karena bisa melakukan hal-hal yang aneh, luar biasa, bisa selamat dari pemeriksaan perkara, bisa mempunyai anak setelah mandul, sukses dalam perniagaan, profesi dan lain sebagainya. Kemudian para sufi itu membikin azimat-azimat dan haekal. Agar mereka dihormati banyak orang. Mereka bersusahpayah menjalani amalan tarekat dan riyadloh hanya untuk tujuan-tujuan yang rendah. Setelah merenung dan berfikir panjang, aku tidak lagi tertarik pada dunia tarekat dan aku putuskan untuk meninggalkannya".

Menurut Abu Muhammad, perkataan Muhammad Ilyas ini merupakan pelecehan terhadap para kaum sufi. Dia menyebut riyadloh yang dilakukan oleh sufiyyah hanya untuk mendapatkan popularitas, identik dengan klenik, dan tujuan-tujuan duniawi. Atau mungkin Muhammad Ilyas mengatakan hal di atas karena dia tidak memahami seluk beluk sebuah tarekat?

Jika kita analisa sekilas, perkataan Muhammad Ilyas ada benarnya. Artinya, kita harus pandai-pandai me-manage niat. Jangan sampai amal yang seharusnya murni dipersembahkan hanya untuk Allah terkontaminasi dengan kepentingan pribadi; popularitas, materi, atau kesuksesan duniawi yang lain. Banyak amal yang kemasannya amal akhirat, namun isinya adalah untuk meraih kepentingan dunia. Dengan demikian berarti tarekat dan tasawwuf telah disalahartikan. Namun kesalahan sebenarnya bukan terletak pada ajaran tarekat atau tasawwuf, melainkan kesalahan person-person yang belum mengenal dunia tarekat secara mendalam. Justru orang-orang seperti itu merupakan pasien yang harus diobati dengan tarekat dan tasawwuf. Dari sini berarti keputusan Muhalnmad Ilyas untuk hengkang dari dunia tarekat merupakan keputusan yang keliru, sebab tiada lagi jalan untuk mencapai ma'rifat selain tarekat.

Ajaran Muhammad Ilyas yang dirasa aneh masih menyisakan teka-teki besar. Karena ternyata ajaran yang tujuan awalnya adalah untuk menyatukan umat yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat justru masih sulit diterima oleh golongan-golongan lain. Yang Sunni menuduh Jama'ah Tabligh sebagai Wahabiyah dan yang Wahabi menuduh mereka sebagai golongan sesat, ahli kubur.

Maulawi Abu Ahmad menyebut Muhammad Ilyas telah mengusung benih-benih ajaran Wahabi. Sebutan tersebut bukanlah tuduhan yang aprioris melainkan sebuah sikap pragmatis, berdasarkan sebuah analisa terhadap pernyataan Muhammad Ilyas mengenai kalimat ash-sholatu was-salamu 'alaika. Muhammad Ilyas mengatakan, "Dalam ucapan ini rawan sekali terjadi kebid'ahan apalagi dalam pengucapannya dibarengi perasaan akan kehadiran Nabi saw. Dalam presumpsinya Maulawi mengatakan, "Mari kita renungkan! Statemen Muhammad Ilyas yang merupakan manifesto mengenai larangan memanggil Nabi saw dengan menganggap seolah-olah hadir dan melihat kita, meski pun dalam keadaan dilanda rindu dendam kepada beliau. Padahal ketika dalam keadaan rindu dendam berarti sudah berada di luar kontrol. Selain itu, menghadirkan bayangan Nabi merupakan salah satu penyebab rusaknya akidah dan harus dijauhi. Statemen Muhammad Ilyas ini persis dengan statemen-statemen kaum Wahabi".

Sedangkan yang Wahabi mengatakan, "Jama'ah ini dibangun di atas empat jenis tarekat sufi; Jisytiyah, Qadiriyah, Sahrawardiyah dan Naqsyabandiyah. Di atas empat tarekat Sufi inilah In'amul Hasan membaiat para pengikutnya yang telah pantas untuk dibaiat. Dari sini telah nampak Jama'ah Tabligh tidaklah menjadikan pemahaman salaf shaleh sebagai fundamen. Sehingga pemahaman yang demikian dapat dipastikan kesesatannya".

Asumsi tentang kesesatan Jama'ah Tabligh banyak disampaikan dalam fatwa ulama-ulama Wahabi. Salah satunya bisa kita lihat dalam fatwa Muhammad bin Ibrahim Ali Syeikh yang ia sampaikan pada Pangeran Khalid bin Sa'ud, "...Saya mengemukakan ke hadapan Pangeran, bahwasanya organisasi ini tidak ada kebaikan di dalamnya, karena sesungguhnya ia adalah organisasi bid'ah dan sesat. Dan dengan membaca buku-buku kecil yang dilampirkan dengan surat mereka, maka kami telah menemukan buku-buku itu mengandung kesesatan, bid'ah dan dakwah (ajakan) untuk mengibadati kubur dan syirik".

Kini menjadi pekerjaan rumah kita semua untuk menyingkap siapa sebenarnya Jama'ah Tabligh dan apa motif 'terselubung' dari pergerakan mereka? Mungkin tulisan di atas hanyalah sedikit informasi yang kami terima tentang mereka, dan kami yakin masih banyak lagi informasi yang belum kami ketahui. Oleh karena itu kami menghimbau kepada semua pihak, mari kita membicarakan ini secara transparan melalui medium-medium yang ada terutama media tulis. Bagi anggota Jama'ah Tabligh sendiri silahkan Anda berbicara dan tunjukkan kebenaran kalian jika kalian merasa benar. Tapi sekali lagi seluruh kebenaran harus disertai dengan hujjah dan argumen yang obyektif".

Sebagai sajian akhir kami akan menyampaikan beberapa catatan Ustadz Azizi yang mungkin bisa kita jadikan konklusi dari seluruh deskripsi yang telah kami paparkan di atas.

Catatan Suplemen Dari Ustadz Azizi

Dalam Majalah Misykat, rubrik Kupas Tuntas, yang diasuh oleh KH. M. Azizi Hazbullah, ia telah mengungkapkan beberapa kelebihan dan kekurangan Jama'ah Jaulah. Dari beberapa referensi dan investigasi ke beberapa tokoh Jaulah, setidaknya Kiai Azizi berhasil menyimpulkan enam pokok doktrinal yang diajarkan dalam Jaulah. Selain enam hal tersebut, kiai muda tersebut mensinyalir masih banyak ajaran-ajaran 'rahasia' Jaulah yang berpotensi mengandung kesalahan. Keenam doktrin tersebut ialah:

Tidak boleh berpolitik karena akan menyebabkan kebohongan dan pertengkaran

Menurut Ustadz Azizi orang yang tidak mau berpolitik pasti akan menjadi mangsa politik. Jadi doktrin yang disampaikan Jaulah ini sangat berbahaya, dan bahkan kemungkinan doktrin ini merupakan upaya politik untuk melemahkan hegemoni umat Islam dalam percaturan dunia. Fungsi dari pemerintahan adalah untuk merealisasikan syariat Islam. Jika umat Islam tidak memiliki hegemoni politik, maka tidak mustahil negara akan dikuasai oleh non-muslim yang akan menjegal pelaksanaan segala bentuk aktifitas keislaman.

Selanjutnya Ustadz Azizi mencoba membaca situasi di negara kita. Di mana saat ini masih banyak umat Islam yang duduk di Lembaga Pemerintahan baik Eksekutif atau Legislatif, tetapi tidak sedikit umat Islam yang justru memberikan banyak suport pada program non-muslim. Seperti bidang pendidikan dan perundang-undangan. Dalam bidang pendidikan masih terjadi ketimpangan dan disharmoni antara materi agama dan umum. Dalam kurikulum kita materi keagamaan masih memiliki porsi yang jauh di bawah standar.

Kondisi seperti ini telah kita rasakan, ketika yang duduk dalam pemerintahan adalah orang-orang Islam. Lalu bagaimana jika politik dan pemerintahan telah dikuasai oleh kelompok non-Islam? Tentu Islam akan menjadi mangsa dan korban dari politik itu sendiri.

Tidak boleh nahi munkar tetapi cukup amar ma'ruf, karena amar ma'ruf pada hakikatnya adalah nahi Munkar. Selain itu nahi munkar akan berpotensi konflik.

Larangan yang disampaikan Jaulah untuk nahi munkar merupakan pengingkaran terhadap perintah Allah. Sebab Allah tidak hanya memerintahkan nahi munkar melainkan juga amar ma'ruf. Dalam al-Qur'an Allah berfirman:

كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar". (QS. A1i Imran : 110)

كتب عليكم القتال وهو كره لكم وعسى أن تكرهوا شيئا وهو خير لكم وعسى أن تحبوا شيئا وهو شر لكم والله يعلم وانتم لا تعلمون

"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui". (QS. A1-Baqarah : 216)

Tidak boleh menyebutkan dalil tandzir (ancaman dari al-Quran dan al-Hadits), karena akan mengakibatkan orang takut.

Yang boleh hanyalah tabsyir (memberi kabar gembira tentang amaliyah dan pahalanya), sehingga pengajian-pengajian mereka yang disampaikan hanya tentang fadlail al-a'mal (keutamaan amal).

Sikap antipati Jaulah yang tidak mau membicarakan ancaman Allah dan hanya bersedia membicarakan kabar gembira dari Allah, merupakan kesalahan fatal. Sebab ketidakseimbangan (disekuilibritas) antara roja' dan khauf akan memberikan efek ghurur (tertipu), merasa dirinya yang paling baik dan kemudian menjadi ‘ujub (bangga) dengan segala amal ibadahnya. Sedangkan ‘ujub merupakan perbuatan yang akan menghilangkan pahala amal itu sendiri. Tendensi yang dijadikan justifikasi oleh Ustadz Azizi adalah firman Allah:

قل هل ننبئكم بالأخسرين أعمالا. الذين ضل سعيهم فى الحياة الدنيا وهم يحسبون انهم يحسنون صنعا. أولئك الذين كفروا بأيات ربهم ولقائه فحبطت اعمالهم فلا نقيم لهم يوم القيامة وزنا.

"Katakanlah: "Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat". (QS. al-Kahfi : 103-105).

Juga Hadits Thabrani dalam Musnadil Firdaus riwayat Abi Dunya:

لولا المؤمن يعجب بعلمه ما خليت بينه وبين الذئب ولكن الذئب خير من العجب

"Andai orang-orang Mukmin tidak takjub dengan ilmunya, maka tidak akan kuberikan kesempatan dosa baginya. Tapi perbuatan dosa yang kemudian merasa terhina itu lebih baik daripada takjub dengan ilmunya".

Dampak negatif ujub juga akan melahirkan sifat jumawa dan rasa kebanggaan terhadap pribadi, materi, keturunan dan yang lain. Selain itu, masih banyak resiko negatif yang akan ditimbulkan dari orang-orang yang hanya membicarakan kabar gembira dan fadloil tanpa diimbangi dengan kabar yang berupa ancaman-ancaman Allah. Tetapi justru metode inilah yang diaplikasikan oleh Jaulah untuk merekrut masyarakat, bergabung dengan mereka. Mereka tidak menyadari bahwa doktrin Jaulah akan mengakibatkan mereka merasa aman dan percaya diri, selamat dari rekayasa Allah, padahal Allah telah berfirman:

أفأمنوا مكر الله, فلا يأمن مكر الله إلا القوم الخاسرين

"Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi". (QS. al-A'raf : 99)

Tidak boleh berbicara tentang soal khilafiyah (perbedaan pendapat dalam hal-hal agama)

Tidak membicarakan khilafiyah juga akan berdampak sangat fatal. Sebab orang yang tidak bersedia membicarakan khilafiyah tidak akan mampu mengetahui kebenaran orang lain dan akhirnya menganggap orang yang tidak sepaham dengan mereka sebagai orang yang salah. Selain itu, Rasul juga pernah bersabda:

من ترك المراء وهو مبكل بنى الله تعالى بيتا فى أرض الجنة ومن ترك المراء وهو محق بنى الله تعالى بيتا فى أعلى الجنة

"Barangsiapa meninggalkan perdebatan dan dia salah, maka Allah akan membangun (untuknya) rumah di surga. Dan barangsiapa meninggalkan perdebatan dan dia benar, maka Allah akan membangun (untuknya) rumah di surga yang paling tinggi".

Tidak boleh meminta-minta

Larangan Jaulah berkaitan dengan meminta-minta memang sangat baik. Agama mengajarkan kita untuk mandiri, tidak meminta-minta kecuali terpaksa. Sebagaimana sabda Nabi:

قال النبي صلى الله عليه وسلم ما يزال الرجل يسأل الناس حتى يأتي يوم القيامة ليس فى وجهه مزعة لحم

"Tidak henti-henti seorang laki-laki dan perempuan yang meminta-minta sampai datang hari kiamat dan di mukanya tidak terdapat sepotong daging". (Bukhori Muslim)

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من سأل الناس اموالهم تكثرا فإنما يسأل جمرا فليستقل أو ليستكثر

"Barangsiapa meminta harta orang lain hanya untuk memperkaya dirinya maka sama dengan meminta bara api (maka dipersilahkan baginya) untuk meminta sedikit atau banyak". (HR. Muslim)

Diharuskan khuruj (keliling untuk menyebarkan) dakwah mereka

Kemudian menurut Ustadz Azizi konsep dakwah yang sebenarnya adalah murid keluar mencari guru, bukan guru yang mencari murid. Namun keluar untuk melakukan dakwah bukanlah hal yang dilarang, selama seluruh kewajiban mereka telah terpenuhi.

Selanjutnya Ustadz Azizi memberikan sugesti kepada kita untuk menjadi hamba Allah sesuai dengan porsi masing-masing. Menjadi hamba Allah yang perfect dengan cara melakukan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kita tidak diperbolehkan meninggalkan kewajiban untuk mengejar kesunahan atau bahkan hal yang mubah. Untuk ini, kita harus tahu kewajiban kita masing-masing. Jika kita diwajibkan menyabit, ya! menyabitlah. Jangan berdakwah. Jika kewajiban kita belajar, belajarlah! Jangan melakukan wirid atau berdakwah. Dan seterusnya. Dengan demikian kita benar-benar akan menjadi hamba Allah, bukan hamha dakwah. Demikian kata Ustadz Azizi mengakhiri pemaparannya.

Pandangan Habib Mundzir Al Musawa Tentang Jamaah Tabligh

Menanggapi pertanyaan pengunjung website www.majelisrasulullah.org Habib Mundzir al Musawa memberikan beberapa tanggapan seputar Jamaah Tabligh. Berikut beberapa rangkuman point-point tanggapan beliau:

Kurang Pengetahuan Syariah,

Jamaah tabligh ini baik ajarannya secara umum, namun ada beberapa hal yg perlu diperbaiki, di antaranya mereka sering meninggalkan keluarga mereka, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Tentunya merupakan kesalahan individu, tidak sepantasnya pergi berdakwah meninggalkan nafkah di rumah, dakwah hukumnya fardhu kifayah dan nafkah hukumnya fardhu ain, maka tak sepantasnya mereka meninggalkan keluarga tanpa nafkah. Namun sepanjang yang saya tahu ajaran Jamaah Tabligh itu sendiri tidak memerintahkan untuk melupakan nafkah, namun kesalahan individunya dan ada hal lain yaitu kurangnya ilmu pengetahuan mereka dalam syariah. Salah satu saudara seperguruan saya di Yaman, yaitu Hb Saleh Aljufri (Solo) ia anggota Jamaah Tabligh, sering ke Pakistan dll, tidak bermasalah dan kita tidak memusuhinya, dan kesimpulan pendapat saya bahwa Jamaah Tablig baik dan mulia programnya, namun kekurangannya adalah kurang memperhatikan ilmu syariah.

Kurang Memiliki Dasar Ilmu Fiqh

Kelemahan mereka ini kurang dalam dasar-dasar ilmu fiqih, karena ilmu fiqih sangat vital bagi da'i, apalagi mereka itu tinggal di masjid dan i'tikaf, yang lima waktu dipantau oleh masyarakat awam, kesimpulannya saya sangat gembira dengan keberadaan gerakan JT. Namun sungguh akan lebih baik jika uang dan waktu untuk dakwahnya itu mereka pakai untuk belajar ilmu syariah, karena belajar ilmu syariah adalah fardhu 'ain, dan dakwah adalah fardhu kifayah. Misalnya setiap minggunya hadir majelis taklim, atau setiap bulannya mereka mondok pada kyai atau Ustaz selama 3 hari dan belajar fiqih ibadah, lalu beberapa bulan kemudian mereka mengunjungi pesantren2 utk praktek dakwah, jika salah maka ada yg membetulkan, nah lalu terjunlah ke masyarakat sebagai Da'i atau di kalangan mereka sendiri dari para ulama nya, membuat acara taklim, misalnya hal hal seperti itu menurut saya mesti lebih didahulukan daripada berdakwah tanpa dasar ilmu, namun kita tidak anti terhadap mereka, mereka saudara2 kita yg punya semangat dalam dakwah, kita doakan saja.

Terpengaruh Wahabi

Kita tidak menilai Jamaah Tablig sesat, cuma yg diperjelas disini adalah ada beberapa hal yg mesti diperbaiki pada jamaah tabligh dari keluhan masyarakat. Sebagaimana banyak diantara personil mereka di pelbagai negara telah terpengaruh dg wahabi, sebab wahabi menggembar-gemborkan tidak fanatis madzhab, dan menganggap dirinya sesuai dg sunnah dan hadits shahih, maka sebagian jamaah tablig tertipu dg ucapan ini dan mengikuti manhaj mereka. Dengan ketertipuan itu, mereka bukan berdakwah tapi menebar fitnah, dan kebanyakan jamaah tablig di Indonesia ini dirasuki wahabi, dengan alasan tidak fanatik madzhab, padahal adalah kebodohan atas semua madzhab. Kita mengemukakan dan memperjelas hal itu, dan hal semacam itu wajar saja dan merupakan kritik membangun.

Mirip Sufi yang tidak Mengabaikan Syariah

Mereka ini mirip sekelompok sufi, namun satu hal, mereka tak mementingkan ilmu syariah, bukan berarti para pesertanya tak ada yg ulama, justru pesertanya ada ulama, umara, aghniya, fuqara, dan seluruh lapisan masyarakat, baru saja beberapa hari yg lalu saya ke Kualalumpur, saya melihat jamaah tabligh yg akan berangkat ke K'lumpur, saya sempat ngobrol dg salah satu dari mereka, sebagaimana biasa bahwa jamaah tabligh ini sopan dan sangat santun, mereka bicara bahwa mereka akan dakwah ke Kualalumpur, tentunya dg uang tabungan sendiri, ongkos sendiri, pakaian mereka kumal, memang demikian keadaan para sufi, hal seperti itu dimaksudkan utk Qahrunnafs (menghancurkan hawa nafsu), agar berani tampil dg tdk tergubris dan tdk perlu malu didepan orang orang modern.

Saya berbicara selembut mungkin, "Sungguh jika anda berpakaian rapi dan bersih, merapikan jenggot, bukan menghilangkannya, namun rapikanlah, dan berpakaian rapilah, sungguh Rasul saw mencintai kerapihan dan kebersihan".

Maka ia menjawab, "Kami bukan Da'i ahli dunia", (maksudnya kira-kira: kami ini bukan da'i sok modern sepertimu), seraya berkata demikian sambil melirik HP Nokia E90 saya dan laptop di pangkuan saya.

Saya diam.

Lalu ia berkata lagi: "Pak ustad mau kemana?"

Saya jawab: "Dakwah juga, saya ada undangan ceramah di Universitas Islam selangor Kualalumpur untuk ceramah di Masjid Al Azhar di univ itu. Anda mau hadir?"

JT: "Insya Allah. Pak ustadz ke sana atas biaya sendiri?"

Saya: "Bukan, dengan biaya mereka yg mengundang"

JT : "Kami dakwah dengan biaya sendiri"

Saya menunduk, lalu saya berkata: "Saya hargai ketulusan anda untuk berdakwah dg uang sendiri, tapi kalau menurut saya, coba kalau uang itu anda pakai untuk mendalami ilmu syariah dan ilmu ibadah dulu, maka ilmu itu akan abadi menemani anda, anda akan dakwah kemana saja dan akan dibiayai oleh orang lain, karena anda berilmu, maka dakwah anda berkesinambungan, namun kalau seperti keadaan anda sekarang ini, bila uang anda habis maka dakwah anda berhenti, bila anda tak punya uang maka anda tak bisa dakwah, namun kalau anda berilmu maka anda bisa 24 jam dakwah sepanjang umur" lalu saya berkata lagi sambil tak melihat wajahnya: "kalau saya lebih senang menghabiskan waktu dan uang sebanyak banyaknya untuk belajar, karena setelah itu selama lamanya saya tak perlu mengeluarkan uang lagi"

Ia terdiam, dan kami terpisah karena telah waktunya masuk pesawat.

Memiliki Tujuan Mulia

Jamaah Tabligh adalah baik dan bertujuan mulia secara umum, walaupun ada beberapa hal berupa kritik yg membangun untuk personil personilnya.

Fanatisme Aliran

Mengenai boleh atau tidaknya berdakwah tanpa memiliki ilmu yang cukup, sungguh tak ada larangannya, namun dakwah ini butuh metode, bukan asal dakwah tanpa memperhatikan cara yg benar, jamaah tabligh mendakwakan mereka tidak fanatis madzhab, namun mereka sendiri fanatis madzhab dan sering menebar fitnah,'mereka masuk ke masjid yg bermadzhab syafii dan saat menjadi imam mereka tak mengeraskan basmalah, kenapa?, alasannya tidak mau fanatik madzhab, nah justru.. bila mereka masuk ke wilayah madzhab syafii maka jangan keras kepala dengan fanatik madzhabnya sendiri hingga seluruh makmum harus mengikuti madzhabnya, ini pemahaman batil dari bentuk kebodohan dalam dakwah, mereka bukan berdakwah tapi menebar fitnah,dan kebanyakan jamaah tablig di Indonesia ini dirasuki wahabi, dengan alasan tidak fanatik madzhab, padahal adalah kebodohan atas semua madzhab, sebagaimana di Masjid Kb Jeruk Jakarta, di masjid itu dahulu ada majelisnya Guru kita Al Allamah KH Syafii Hadzamiy rahimahullah, beliau itu adalah guru dari hampir semua kyai di Jakarta, sanad beliau muttashil pada para Huffadh di zamannya, seperti Al Hafidh Alhabib Salim bin Jindan, AL Musnid Alhabib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi kwitang dl, ketika sang guru besar ini sedang mengajar, maka waktu adzan dhuhur, maka jamaah tabligh langsung adzan dan iqamat dan shalat, sang guru terpaksa beringsut tergopoh gopoh menyingkir.., inilah kebodohan mereka, mana ulama mereka?, tak satupun kah ada yg tahu bahwa Rasul saw seringkali menunda iqamat shalat bila ada hajat?, dan apakah tak satupun dari mereka tahu bahwa Rasul saw bersabda : "kalian tetap dalam pahala shalat selama kalian menantikannya"..?, hadits hadits itu adalah dalil bahwa shalat fardhu sunnah ditunda bila ada majelis ilmu, agar hadirin yg datang turut mendengar pula ilmu yg diajarkan, tentunya tidak lama lama, misalnya 15 menit, atau 20 menit, dan yg makruh dalam menunda pelaksanaan shalat fardhu adalah kesibukan duniawi, bukan kesibukan ibadah pula semacam ilmu syariah, bahkan para ulama sengaja menjadikan pelajaran Ilmu syariah adalah sebelum shalat, agar makmum tak bubar, karena bila habis shalat maka masyarakat awam umumnya bubar, maka mereka tak mendengar ilmu, namun karena kebodohan mereka (kalau tidak salah yg di Masjid kb Jeruk itu adalah pusatnya bagi mereka yah..?), ternyata disana tak ada satupun yg menyangga, dan kemudian Guru Syafii Hadzamiy rahimahullah menyingkir dari masjid itu karena sudah dipenuhi kebodohan yg diselubungi kesombongan

Dakwah butuh Ilmu

Mereka mesti kita perlakukan sebagaimana kita memperlakukan saudara kita muslimin, dihimbau dg sopan dan dinasehati untuk memperdalam ilmu, sebab mereka itu para da'i, da'i adalah derajat mulia, namun da'i yg tak berilmu akan menyesatkan ummat, oleh sebab itu kita mesti mengingatkan mereka, agar mereka terus berdakwah namun memperdalam ilmunya, jangan hanya besar semangat dalam menasehati orang namun lupa bahwa menasehati orang itu butuh keluasan ilmu, karena bisa mneyesatkan banyak orang. bukan berarti mereka itu kesemuanya tak berilmu, banyak diantara para ulama dan fuqaha yg mengikuti jamaah tabligh dan khuruj, namun secara program keseluruhannya, jamaah tablig mengajak orang orang untuk berdakwah, dan kebanyakan dari kelompok mereka yg baru bertobat, hal ini sangat baik bagi personil tabligh itu sendiri, namun acapkali merusak pemahaman masyarakat, karena masyarakat banyak bertanya hukum2 kepada mereka dan mereka memberikan jawaban yg tidak benar.Dan salah satu dari program jamaah tabligh adalah tidak terpaku pada madzhab, hal ini baik maksudnya, karena demi persaudaraan muslimin antara mereka, namun buruk dampaknya bila dilakukan oleh orang yg kurang berilmu, mereka akan bercampur baur antara pemahaman syiah, sunnah, al irsyad, sufi dll hingga muncullah bentuk pemahaman yg tak menentu, mereka tidak mau mengacu kepada ulama syafii, karena tak mau fanatik madzhab, padahal justru hal yg benar adalah berpegang pada satu madzhab namun menghargai madzhab lainnya, Kebanyakan dari jamaah tabligh masuk ke masjid yg bermadzhab syafii, mengimami shalat dan tak mengucap basmalah, atau mengimami subuh dan tak berqunut, maka ini justru meresahkan masyarakat, memang betul hal hal seperti ini adalah ikhtilaf furu'iyah, tapi tidak sepantasnya dilakukan dihadapan masyarakat awam hingga mereka bingung mana sih yg benar?, karena dakwah bukan sembarang menasihati, namun butuh uslub (metode) yg jelas dan menyesuaikan diri dg keadaan masyarakat setempat. Saudaraku saya bukan memfitnah, belasan masjid yg mengadukan hal ini, dan saya mengenal jamaah tabligh bukan hanya di Indonesia, namun sejak saya menuntut ilmu di Yaman saya telah jumpa dg mereka, sejak th 1994 kami bergaul akrab dg mereka, Guru saya (Habib Umar Ibn Hafidz) pun berpendapat sama dengan yg saya sampaikan, bahwa Jamaah Tabligh mempunyai celah yg perlu diperbaiki, yaitu keterbatasan ilmu syariah dari personilnya, karena personilnya bukan ratusan, tapi jutaan, bahkan di Yaman kebanyakan Jamaah Tabligh terpengaruh faham Ibn Abdulwahhab yg memusyrikkan muslimin yg tawassul dlsb, dan sebagian di Indonesia pun demikian. Guru saya banyak bergaul dan pernah khuruj dengan Jamaah Tabligh, demikian pula ayah beliau, Al Allamah Alhabib Muhammad bin Salim bin Hafidh, beliau pernah pula hadir ke Pakistan untuk menghadiri ijtima' tahunan Jamaah Tabligh. Saya pun pernah khuruj dg jamaah tabligh di Makasar, hingga bersama sama ke Pinrang, mereka ramah, sopan dan mencintai sunnah, namun itulah barangkali ada kekurangannya, yaitu keterbatasan ilmu dari sebagian besar personilnya, hingga tercampurnya banyak pemahaman.

Saya sesekali tak mengatakan bahwa mereka ini sesat, mereka ini mencintai sunnah, programnya adalah menegakkan sunnah, maksudnya adalah dakwah semata, dan dasar utamanya adalah sufi, namun ada beberapa hal yg perlu dikoreksi.