el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

Berbaur & Berbagi di Idul Adha

Sebulan lebih yang lalu, kita baru saja melewati bulan pelatihan bulan karantina. Tentu kita berharap semoga semua amal ibadah kita, khususnya ibadah puasa di terima oleh Allah.

Kaitannya dengan ibadah puasa, Allah menerangkan salah satu tujuannya lewat firman Allah yang berbunyi:

la’allakum tattakuun

”agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa”

Ini tidak bisa dipahami bahwa orang yang melakuykan ibadah puasa berarti telah menjadi orang yang bertaqwa (seperti pemahaman sebagian orang). Jelas tidak sesuai dengan makna penggalan ayat di atas. Sebagian orang bisa-bisa saja berkesan, bahwa untuk menuju ketakwaan sangatlah mudah dan gampang, dengan cukup berpuasa. Padahal takwa meupakan derajat paling tinggi di sisi Allah.

inna akromakum ‘indallahi atqookum

Sesungguhnya orang yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah adalah orang yang bertakwa.

Allah pun memberikan janji-janji yang sangat istimewa dan luar biasa bagi orang yang takwa. Seperti yang tertera pada Al-Quran:

wa man yattaqillaha yaj’al lahu min amrihi yasiiro.

Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka segala urusannya akan dimudahkan.

Dalam surat lain Allah berfirman:

wamanyattaqillah yaj'al lahu makhroja wayarzuqhu min haistsu layah tasib

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar yang ia hadapi dan memberinya rezeki tanpa dia sangka.

Makna yang benar dalam redaksi la'allakum tattaqun adalah memberitahukan kepada kita tentang salah satu cara, dari sekian banyak, untuk menuju ketakwaan adalah dengan berpuasa. Tetapi untuk menuju ketakwaan dengan berpuasa di bulan Ramadlan mempunyai peluang yang lebih besar, dari hari biasa.

Di sinilah kenapa Allah menyebutkan redaksi la'allakum tattaqun setelah memerintahkan kewajiban berpuasa dan tidak memerintahkan kewajiban-kewajiban lain. Tentu saja hal ini didasari beberapa alasan sebagai berikut.

Pertama

Kemungkinan ikhlas karena Allah sangat besar, sebab orang yang sedang berpuasa tidak ada yang mengetahui kecuali dirinya dan Allah saja. Seandainya dia mencuri makan dan minum juga tidak ada yang mengetahui. Tetapi semua itu dia lakukan karena ketidakadaan dalam dirinya perasaan diawasi dan dilihat oleh Allah. Jika saja saat itu dia sadar akan pengawasan Allah terhadap dirinya, maka saat itu juga ia telah masuk maqom (tingkatan) ihsan seperti yang disabdakan Rasulullah Saw.

al-ihsan an ta'budallah ka annaka tarohu, faillan takun taroohu fainnahu yarooka

Ihsan adalah kamu beibadah kepada Allah seakan-akan kamu melihatnya atau kamu yakin sesungguhnya Allah melihat kamu.

Berbeda dengan ibadah-ibadah lain yang sangat mudah diketahui oelh orang lain, sehingga mungkin sekali kemasukan riya' (perasaan pamer).

Kedua

Orang yang berpuasa akan lebih berhati-hati terhadap makanan yang haram, karena makanan dan minuman yang halal saja tidak lakukan dengan tendensi karena ia takut akan siksaannya, apalagi yang haram tentu ia lebih taku dan lebih berhati-hati.

Tujuan pokok selanjutnya yang telah disebut dalam Al-Quran adalah la'allakum tasykurun artinya agar kalian bersyukur. Pertanyaannya tidakkah bersyukur itu diperintahkan pada setiap waktu dan tidak disaat bulan Ramadlan saja? Benar. Tetapi di sini ada maksud tertentu. Perintah bersyukur di sini secara umum adalah seseorang mensyukuri bahwa dirinya telah mampu melaksanakan puasa satu bulan penuh dengan segala rangkaian ibadah di dalamnya. Semua itu semata-mata hidayah dan pertolongan Allah. Seandainya tidak karenaNya, pasti tidak akan mampu. Terbukti berapa banyak orang yang secara fisik lebih kuat secara fisik, lebih kuat secara ekonomi, lebih mapan tetapi mereka tidak menunaikan puasa. Padahal mereka juga orang-orang yang beriman.

Secara khusus seorangyang diperintah bersyukur ketika waktu berbuka telah tiba, karena saat itu akan lebih terasa nikmatnya makan dan minum, setelah sehai penuh menahannya. Bagi kebanyakan orang yang biasanya akan menyadari nilai suatu nikmat kalau nikmat itu dikemudian hari dicabut oleh Allah. Betapa tak ternilai keselamatan setelah ia ditimpa musibah. Betapa nikmat cahaya listik setelah padam. Betapa tinggi nilai uang dua puluh ribu setelah lama ia tidak punya uang. Begitu pula betapa segar dan lezatnya makan dan minum setelah seharian penuh dilarang. Efek orang yang berpuasa akan lebih mudah berempati kepada orang-orang yang secara ekonomi kurang beruntung. Kalau dia sadari hal ini merupakan bagian penting dari pendidikan ibadah puasa.

Pada bagian atas tulisan ini disebutkan bulan ramadlan adalah bulan pelatihan dan karantina, berarti sebelas bulan lainnya adalah bulan implementasi dan pertandingan. Masyarakat miskin di negara kita berjumlah kurang lebih empat puluh juta jiwa. Mayoritas dari mereka adalah orang Islam, berarti ini menjadi sasaran empuk gerakan kristenisasi. Fakta menunjukkan gerakan ini sangat berhasil pada kalangan muslim yang secara ekonomi tidak mampu. Kita sering menyalahkan kepada mereka yang mempunyai misi jahat ini. Tidak punya etika karena mengajak vberagama kepada orang yang sudah beragama. Kadang kita juga mencemooh kepada saudara kita sendiri kenapa terlalu mudah menjual agamanya dengan harga yang murah. Sejalan dengan hadist:

Kaadal faqru annyakuna kufro

Kemiskinan klimaksnya akan membawa pada jurang kekufuran.

Tetapi masalah sebenarnya adalah apa yang telah kita perbuat untuk ikut menyelamatkan iman mereka? Kenapa bukan kita yang mencoba berpikir. Seandainya kita yang jadi mereka apa kita bisa menahan laju kekufuran yang singgah di hati kita. Secara psikologis mereka (kaum miskin) dalam hatinya pernah terlintas sebuah pernyataan,

"Kita ini sudah beribadah dengan rutin dan intensif, namun kenapa kemiskinan masih menyelimuti nasib kami."
"Bukankah semua makhluk itu ditanggung oleh Allah rezekinya."
"Kenapa saya sendiri tidak bisa merasakan hal itu?"
"Lebih baik saya tidak beragama atau pindah agama dengan harapan kehidupan ekonomi saya bertambah baik".

Sebuah pernyataan yang rasional dan wajar-wajar saja terlintas pada hati mereka yang hidup dengan berbagai tekanan ekonomi, keluarga yang timbul dari perilaku beragama seseorang secara psikologis. Harus ada cara untuk menjembatani seseorang miskin untuk tidak terlanjur bereaksi dengan apa yang ada dalam lintasan hati si miskin itu.

Sebuah teladan dari seorang kyai yang hidup di kalangan kampung perkotaan. Beliau hidup dengan berkecukupan, dan masyarakat yang hidup di sekitarnya cenderung berekonomi lemah. Untuk menahan laju kekufuran itu, sang kyai yang berkomitmen pada sebuah hadist sahih yang artinya,

"Barangsiapa yang kontinyu dalam shalat berjamaah, Allah menjamin bahwa dirinya tidak akan faqir di dunia"

Hal ini yang kemudian digembar-gemborkan di pengajian-pengajian yang beliau asuhnya. Namun apalah arti sebuah gembar-gembor yang miskin akan aplikasi. Lantas sang kyai mencoba melakukan rating terhadap para jamaah yang hadir di suraunya. Dengan kebiasaannya mengamati satu persatu para jamaah sebelum takbiratul ikhram dimulai, lantas kemudian mencari satu persatu orang yang tidak hadir di sholat fardlu itu. Hari berganti hari di bulan Ramadlan dia habiskan waktu untuk menghatamkan kitab kuning, sambil menyeleksi seberapa besar perhatian masyarakat terhadap shalat fardlu berjamaah. Sampai di hari 29, malam penghabisan, selesai sholat subuh sang kyai memberi sedikit bingkisan dan sepeser uang jajan sebagai nilai atas jerih payah mereka mempertahankan kontinuitas untuk beribadah sholat jamaah.

Itu sebuah potret kecil bagaimana Islam itu besar dengan ajaran-ajaran yang lembut, tanpa memaksakan agama kepada orang yang sudah beragama. Ketika ada dentuman-dentuman kecil yang mengancam keimanan pemeluknya, maka yang paling urgen adalah orang-orang dalam sendiri (kita kaum muslim). Kenapa harus orang lain yang mengulurkan tangan? Orang-orang muslimlah yang paling berkompeten (berkepentingan) akan saudara sendiri, untuk menolong dan menjaga agar keimanan mereka tidak goyah. Sebuah teladan kecil yang orang kemudian harus menyadari betapa islam itu besar bukan karena orang lain, melainkan orang-orang Islam itu sendiri, dengan sebuah konsep belajar dan mengamalkan apa yang sudah dipelajari, kemudian baru mengajak orang lain, malahan menjaga orang lain dalam arti agamanya, ekonominya dan tetek bengeknya.

Memang untuk menyelamatkan keimanan mereka yang berjumlah jutaan, memerlukan pengorganisasian yang rapi, SDM yang profesional, dana yang besar. Akan tetapi dalam skala kecil dan terbatas itu bisa dilakukan seperti teladan sang kyai diatas, dengan cara berempati kepada tetangga kiri dan kanan yang memerlukan uluran tangan kita, lebih-lebih momen yang paling tepat adalah hari Idul Adha untuk sekedar berkurban mengikuti syariat Nabi Ibrahim, dan selebihnya adalah berbagi bersama. Dengan demikian kita telah ikut memupuk keimanan mereka, yang berarti walaupun dengan skor yang sangat tipis kita telah memenangi sebuah pertandingan.

Selamat bertanding!


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.