el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

Khouf dan Raja dalam Keseimbangan: Analisis Jiwa ala Ibnu Ato'illah as-Sakandary

Sumber: al-Hikam
Alternatif Pembimbing: Ustadz Husein bin Aqil

Fenomena Hamba Allah dalam bertaqorrub kepada sang Rabb Azza wa Jalla

Kajian ini membahas tentang hasil olah jiwa yang biasa dialami oleh manusia pada umumnya. Pembahasan bersifat perpaduan antara klasik dan kontemporer, karena kita hidup di zaman yang sudah tidak bermoral (tidak berpakaian), malahan mungkin budaya ngetren tidak beragama. Di sana sini kriminal terjadi, maksiat bergulir sebegitu mudahnya layaknya hembusan angin ke wajah kita. Hal itu yang kemudian menjadi parameter (ukuran) bahwa kajian Analisis Jiwa dihadirkan untuk mengimbangi wacana hedonisme barat yang menerjang umat Islam.

Kajian ini diadakan, guna mengarah pada upaya pengenalan, pengarahan, dan pembentukan mental, yang pernal diajarkan Rasulullah pada para sahabatnya Radliaallahu ta'ala 'anhu. Kenyataan yang terjadi, banyak diantara mukmin ketika dihadapkan dengan ibadah kepada Sang Khaliq, sering terjadi didalamnya fenomena syariat yang tidak dibarengi dengan hakikat, begitu juga sebaliknya. Akhirnya ajaran Islam yang terlihat, sepertinya kehilangan ruhnya.

Berkata as-Syeikh al-Imam al-Muhaqqiq al-'Arif al-Mukassyif al-Waliyyu Rabbani Abi Fadzil Tajjuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin 'Atoillah as-Sakandary:

مِنْ عَلاَمَةِ الإِعْتِمَادِعَلَى العَمَلِ(1 نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَلَلِ (2

1) Yang dimaksud dengan perkataan mushonnif diatas bahwa sebagian dari tercelanya akhlak manusia adalah menyandarkan diri pada perbuatan jasadnya (tendensi), termasuk didalamnya sholawat, wirid-wirid, dan lain-lain, mereka adalah hamba Allah dan orang yang menempuh jalan Allah (muriid). Sebagian dari mereka (hamba Allah) mengharap dirinya akan masuk pada surga Allah dan menikmati segala fasilitas didalamnya, dan yang pasti mereka juga mengharap terhindar dari siksa Allah Ta'ala.

Sedangkan golongan yang lain (muriid) adalah mengharap dirinya wusul ilallah ta'ala, maksud wusul di sini kebanyakan dari kaum muslimin punya niat dalam dirinya untuk ma'rifatullah. Hal senada yang mereka juga inginkan adalah terbukanya hijab dari hatinya, artinya tidak ada batasan antara alam tiga dimensi yang kita diami ini dengan alam ghaib (metafisika), dikarenakan amal mereka yang menumpuk. Tujuan kedua golongan itu dalam Psikologi Sufi termasuk hal yang dilarang, karena mereka terlalu menghargai diri mereka sendiri. Padahal surga, neraka, makrifatullah adalah hak prerogatif Allah sendiri, tanpa ada campur tangan pihak lain.

Golongan 'Arifbillah (orang yang maqom di sisi Allah) sama sekali tidak mempunyai tendensi (ghordl) seperti dua golongan d iatas. Mereka juga tidak gegabah (menghargai diri mereka dalam mujahadah) dalam mentarget hasil jerih payah mereka (minta dunia, minta akhirat, apalagi model kasyaf/kemampuan batiniyyah dalam menganalisa suatu masalah).

Kaidah yang selama ini mereka tempuh adalah segala sesuatu yang telah mereka lakukan baik itu ibadah atau maksiat adalah murni yang menggerakkan adalah Allah, secara hakekat, adapun secara syariat peristiwa yang terjadi pada manusia itu akan dibarengi dengan sebabsebab yang mendorong manusia pada salah satu dari dua hasil/natijah, yaitu perilaku baik dan buruk. Sebagaimana tercatat dalam bacaan Raatibul Haddad:

بِسْمِ اللهِ وَالحَمْدُ لِلّهِ وَالخَيْرُوَالشّرُ بِمَشِيْئَةِ الله

Sedangkan keadaan kaum 'arifin (haaliyyah yang telah ditempa dengan berbagai pengalaman dan perjuangan yang hebat itu), menjadi tempat terealisasinya sunnatullah pada manusia, sebagaimana kaidah man jadda wajada.

2) Berkurangnya pengharapan kepada Allah, ketika terletup dalam dirinya maksiat kepada Allah. Manusia sewajarnya berharap untuk dimasukkan surga dan bebas dari adzab neraka, harapan ini biasanya dimiliki oleh para hamba Allah. Sedangkan muriid (orang yang menempuh jalan Allah) berharap dirinya akan wushul pada Allah dikemudian hari.

Tatkala maksiat seperti zina, melupakan Allah, dan meninggalkan beberapa wirid yang biasa dilakukannya, terjadi pada diri seorang hamba (awam). Sedangkan kaum 'arifin senantiasa menganggap dirinya tidak ada berkas sama sekali di hadapan Sang Rabb 'Azza wajalla. Ketika hal yang sama terjadi pada kaum 'arifin, secara spontan mereka akan membenarkan bahwa itu adalah kealpaan mereka. Akan tetapi tingkat kealpaan atau kemaksiatan itu berjalan atas izin Allah Ta'ala.

Seperti halnya ketika ketaatan atau dalam keadaan musyahadah secara batin kepada Allah, maka tidak bisa disimpulkan kalau itu sebuah perubahan atau kekuatan pada diri kaum 'arifin. Tidak ada perbedaan antara keadaan lupa atau sadar dalam diri kaum 'arifin, karena kesemuanya tenggelam dalam lautan tauhid kepada Allah Ta'ala. Hal ini bisa disimpulkan, karena tingkat ketakutan dan pengharapan seorang 'arifin pada keseimbangan yang tidak bisa dijangkau oleh hamba biasa.

Maka yang terjadi, tidak akan berkurang ketakutan (raja') seorang hamba jika terjadi maksiat, dan tidak bertambah rasa pengharapan hamba akan kebaikan (ihsan) yang diperbuatnya. Barang siapa yang tidak mendapati sifat ini dalam dirinya, maka dianjurkan untuk senantiasa memerangi hawa nafsu dengan dzikir dan riyadloh.

Kajian yang diuraikan diatas bukanlah sebuah maksud Imam Ibnu Ato'illah agar berpegang teguh dengan kaidah tersebut. Akan tetapi semata-mata merupakan dorongan moral (supreme of morality), dan upaya pembakaran semangat mereka dalam beribadah, bukan pada maksud penyucian amal yang telah mereka perbuat dan juga bukan maksud menyepelekan apa yang telah mereka peroleh dari Allah.

Kesemuanya (baik dan buruk amal manusia) adalah anugerah Allah Ta'ala, yang tidak pantas untuk ditolak. Upaya ini dilakukan, agar kita dapat menafikan segala sesuatu yang telah kita perbuat, hanya kepada Allah Ta'ala semata.


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.