el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

Konsep SDM Masa Depan

Sebagai makhluk paling sempurna di muka bumi ini, manusia telah dikaruniai otak untuk berpikir oleh Allah SWT, dan dengan otak jugalah manusia bisa beribadah dan bekerja mencari nafkah. Akan tetapi, apakah kita selama ini telah bersyukur kepadaNya dan menggunakan akal pikiran kita dengan semaksimal mungkin?

Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di dunia, masih jauh tertinggal kualitas SDM-nya dibanding negara-negara ASEAN khususnya, dan negara di dunia pada umumnya. Sampai ada sebuah plesetan tentang kualitas masyarakat Indonesia, yaitu bahwasanya otak orang Indonesia seumpama dijual, maka harganya akan lebih mahal dibandingkan otak orang-orang Jepang, mengapa? Karena otak orang Indonesia itu rata-rata masih asli, belum terpakai, sebagaimana barang kalau belum terpakai harganya akan lebih mahal dibandingkan barang yang telah terpakai. Sedangkan otak orang Jepang sudah sering digunakan untu menciptakan barang-barang baru berteknologi tinggi dan kadang mencatat rekor baru di dunia.

Oleh karena itu, tak dapat dipungkiri lagi bahwa kita memang masih kurang optimal dalam menggunakan otak ini. Dan itu merupakan salah satu faktor ketertinggalan kita. Lalu bagaimana cara mengoptimalkannya? Ada beberapa cara dalam hal tersebut, salah satunya yakni dengan mengembangkan faktor intelegensi dalam diri kita. Tiap manusia memiliki beberapa macam intelegensi, yaitu inetelegensi intelektual, emosional dan spiritual. Seandainya ketiga intelegensi itu dikembangkan secara selaras dan seimbang, insya Allah akan muncul generasi SDM yang mampu bersaing dengan negara-negara lain.

Intelegensi Intelektual

Intelegensi ini erat kaitannya dengan sistem kerja otak kita. Beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mengoptimalkan intelegensi otak ini ialah dengan membaca, melihat, mendengar dan berbicara.

Allah di dalam wahyuNya yang diturunkan pertama kepada Rasulullah SAW adalah perintah membaca. Membaca di sini bukan hanya sekedar membaca apa-apa yang terkandung di kitab (tulisan) saja, tetapi juga membaca apa-apa yang ada disekitar kita. Hal ini berkaitan juga dengan melihat, karena untuk lebih meyakinkan apa yang kita baca dari ilmu pengetahuan, seyogyanyalah kita juga melihat langsung dari apa yang terdapat pada buku tersebut. Dan memang terbukti, orang yang banyak membaca dan mengamati lebih pintar dan luas wawasannya daripada orang yang kerjanya hanya melamun atau diam saja di rumah tanpa membaca dan mengamati hal-hal yang ada disekitarnya.

Selain itu, mendengar juga bisa mendukung dalam pengoptimalisasian intelegensi intelektual, tetapi disini bukan hanya mendengar yang masuk telinga kiri lalu keluar telinga kanan saja, melainkan mendengar dengan seksama dan merekamnya di otak kita tentang sesuatu yang bermanfaat (bukan gosip-gosip yang tak menentu) untuk kemudian kita simpan di memori otak sebagai tambahan ilmu bagi kita.

Setelah membaca, melihat, mendengar, perlu juga kita berbicara. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa, untuk mengetahui tingkat kecerdasan seorang anak, dapat kita lihat dari perkembangan bahasanya, bisa jadi anak tersebut dapat mengeluarkan kata-kata yang seharusnya belum waktunya untuk diucapkan anak-anak seusianya, seperti kata-kata populer yang digunakan para mahasiswa dalam perkuliahannya, atau dia mampu berbicara dengan bahasa asing misalnya. Tetapi belum tentu juga orang yang pendiam itu lebih bodoh dari orang yang suka bicara, sekali lagi, ini dilihat dari segi bahasa dan kalimat-kalimat yang dia keluarkan, apakah kalimatnya ini berbobot atau hanyalah pepesan kosong belaka, dan bukanlah hal yang mudah untuk menyusun kalimat yang akan kita ucapkan, terutama dalam acara-acara resmi atau dalam penyampaian sebuah cerita, kita harus bisa membuat cerita yang kita sampaikan mampu membuat audiens tertarik akan cerita kita.

Dan sebagai generasi muda, kita perlu memperhatikan akan kemampuan intelegensi intelektual kita. Kita harus terus dan terus mengasah otak ini sebelum datang waktu tua, karena ibarat pisau, otak itu kalau tidak digunakan dalam waktu yang lama akan tumpul. Seperti sabda Nabi SAW,

Gunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara:
masa mudamu sebelum tuamu,
sehatmu sebelum sakitmu,
waktu luangmu sebelum waktu sempitmu,
kayamu sebelum miskinmu, dan
hidupmu sebelum matimu"

Intelegensi Sosial

Manusia selain diciptakan sebagai makhluk pribadi, juga diciptakan sebagai makhluk sosial. Tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang hidup tanpa bantuan orang lain, sekuat apapun manusia tersebut, karena itu sudah menjadi sunnatullah pada makhluknya.

Pengembangan intelegensi ini bisa dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, karena dengan bersosialisasi dengan baik bersama mereka secara otomatis bisa menambah tingkat intelegensi sosial kita. Namun sekarang ini banyak orang-orang yang kurang baik tingkat intelegensinya, terbukti dengan kurang pekanya hubungan antar sesama manusia. Misalnya, dalam satu kampung ada seseorang yang kaya raya, tapi dia tidak tahu bahwa di sebelah rumahnya ada orang yang kelaparan. Kondisi ini banyak kita temui di kota-kota besar, dimana mereka (orang-orang kaya) sibuk mengurusi kekayaannya tanpa mau peduli keadaan saudaranya yang lain, sehingga timbullah kondisi dimana yang kaya bertambah kaya, yang miskinpun malah semakin miskin, hal ini menunjukkan kurang atau tidak pekanya masyarakat Indonesia sekarang ini. Dalam masalah kepekaan sosial ini ada sebuah pepatah arab yang mengatakan:

يضرب العبد بالعصى *
وتكفيه الحرّ بالإشارة

Makna pepatah di atas kurang lebih ialah, bahwa manusia yang mengerti (dalam hal ini diibaratkan sebagai orang yang merdeka) cukuplah diperingatkan dengan isyarat, tetapi orang yang tidak mengerti (yang diibaratkan sebagai budak), untuk memperingatkannya dibutuhkan tongkat, artinya tidak cukup dengan isyarat saja. Dari pepatah di atas, tergolong orang yang merdeka atau budakkah kita?

Orang yang mempunyai tingkat intelegensi intelektual tinggi, belum tentu mempunyai intelegensi sosial yang baik pula. Hal ini dapat kita lihat di masyarakat kita, banyaknya orang-orang yang berpendidikan tinggi tetapi tingkat kepekaan mereka nihil. Seumpama orang-orang intelektual itu juga mempunyai kepedulian sosial, alangkah tentram dan makmurnya negara ini.

Intelegensi Spiritual

Pada tahapan ini, seseorang dituntut untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai rasa bersyukur kita kepadaNya atas pemberian segala nikmat ini, terutama otak. Tanpa taqarrub kepada Sang Pencipta berapapun tingginya tingkat intelegensi kita, tak akan berarti di hadapan Allah SWT.

Salah satu cara untuk pengoptimalisasian intelegensi ini adalah tidak sombong dan selalu ingat bahwa kita ini hanyalah makhluk yang lemah dihadapan Allah ta'ala. Sekaya dan sekuat apapun kita, tidak ada bandingnya dengan apa yang dimiliki oleh Allah SWT.

Salah satu cabang keilmuan ini, pertama kali dikenalkan oleh Syech Abdul Qadir Jaelani dalam kitabnya yang berjudul al-Ghunyah yang mengklasifikan tingkatan bisikan jiwa pada 6 macam, antara lain :

  1. Bisikan ruh (khowaatirul arwah), tingkatan ini dimiliki oleh orang-orang yang memiliki olah jiwa atau keimanan yang tinggi, seperti para kekasih Allah.
  2. Bisikan malaikat (khowaatirul muluk), tingkatan ini dimiliki oleh orang-orang pilihan Allah, seperti para nabi dan rasulNya.
  3. Bisikan nafsu (khowaatirun nufus), tingkatan ini adalah tingkatan dasar manusia, artinya semua manusia dianugerahi sifat dasar yang sama, dan barang siapa yang telah melewati (mujahadah) pada tingkatan ini, maka dia akan melewati tingkatan yang berikutnya yaitu bisikan syetan.
  4. Bisikan syetan (khowaatirus syayathin), adalah tingkatan terendah manusia, dimana kenyataan yang terjadi, manusia sering melakukan kejahatan-kejahatan yang umumnya bersifat amoral. Pembunuhan, perampokan, pelecehan seksual dan tingkat kejahatan yang lain adalah disebabkan karena gagalnya sistem pendidikan nasional yang selama ini memprioritaskan pengajaran yang bersifat letterlijk daripada pendidikan yang mengedepankan aspek spiritual question yang selama ini ditempuh oleh para aslaafunas sholihun.

Dari ke-4 pembagian di atas, kita bisa mengukur tingkat moralitas seseorang yang telah mengenyam pendidikan di sekolah umum. Mereka menguasai berbagai macam keilmuan tetapi moralitas mereka tidaklah setangguh para pendahulu kita yang notabene tidak pernah mengenyam bangku sekolah umum.

Dapat kita simpulkan disini bahwa, untuk menjadi orang yang pandai dan cerdas, kita tidak bisa hanya mengandalkan otak kita, perlu kiranya juga kita juga berperasaan kepada orang lain dan berta'abbud kepada Sang Kholik, agar kita tidak menjadi orang yang pinter tapi keblinger.


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.